Selasa, 26 Agustus 2014

PASAL PERTAMA KRITIKAN ATAS RIWAYAT HADITS Jalur Hadits Secara Global

Label Post:

1. Hadits ini diriwayatkan oleh Qatadah bin Di'amah as Sadusi. Yaitu dari Sa'id bin Basyir dari Qatadah dari Kholid bin Duraik dari 'Aisyah bahwa Asma' binti Abu Bakar masuk keruang Rasulullah dengan memakai pakaian yang tipis, maka Rasulullah berpaling seraya bersabda : "Wahai Asma' ! Sesungguhnya jika seorang wanita telah haidl, tidak boleh diperlihatkan darinya kecuali ini dan ini." Beliau mengisyaratkan wajah dan telapak tangannya. (hal : 28) Dikatakan pula : dari Qatadah dari Nabi secara mursal Dikatakan pula : dari Qatadah dari Nabi, dengan tambahan dalam matannya secara munkar. Riwayat diatas dalah dla'if, sebab ada Sa'id bin Basyir yang didla'ifkan bahkan dimunkarkan oleh ahli hadits seperti ibnu Ma'in, Ibnu madani dan yang lain. Kemunkaran hadits tersebut bisa dilihat dari beberapa sisi, diantaranya : 1) Dalam periwayatannya terkadang meriwayatkan dari Khalid bin Duraik dari 'Aisyah kadang pula meriwayatkan dari Khalid bin Duraik dari Umu Salamah sebagai ganti dari 'Aisyah. Hal ini menunjukkan kurang dlabith (hafal) dalam periwayatanya. 2) Terdapat kemunkaran dalam lafal haditsnya. Yaitu perkataannya tatkala Asma' masuk keruang Rasulullah, ia memakai pakaian yang tipis. Padahal tatkala Asma' datang kepada Rasulullah, ia sudah berumur 27 tahun, maka setidaknya ia sudah tahu dan menjauhi untuk memakai pakain yang tipis dihadapan Rasulullah. 3) Sesungguhnya riwayat ini menyelisihi orang yang lebih tsiqat atau lebih kuat hafalannya daripada dia. Yaitu riwayatnya Hisyam bin Abi Abdillah dari Qatadah. Dalam isnadnya tidak disebut nama Khalid bin Duraik dan juga tidak menyebutkan kisah seperti diatas. Riwayat itu adalah : dari Hisyam dari Qatadah sesungguhnya Rasulullah bersabda : "Sesungguhnya jika anak perempuan sudah haidl, maka tidak boleh baginya untuk memperlihatkan darinya kecuali wajah dan tangannya sampai ke pergelangan." 2. Hadits riwayat Luhai'ah Diriwayatkan secara isnad dari hadits Abdullah bin Luhai'ah, dengan isnad yang lain, kemudian ia menyebutkan kisah seperti yang dikemukakan oleh Sa'id bin Basyir dengan versi yang berbeda. Berkata Ibnu Luhai'ah : dari Iyadl bin Abdullah al Fihriy, sesungguhnya ia mendengar dari Ibrahim bin Ubaid bin Rifa'ah al Anshari dikabarkan dari bapaknya - aku kira - dari Asma' binti 'Umaisy sesungguhnya ia berkata : Rasulullah masuk keruangan 'Aisyah sedangkan disampingnya terdapat saudaranya Asma' binti Abi bakar dengan menggunakan kain yang tipis, maka tatkala Rasulullah melihatnya, lantas beliau berdiri dan keluar. Kemudian 'Aisyah berkata kepada Asma' : "Menyingkirlah engkau, sungguh Rasulullah melihat sesuatu yang beliau benci, maka Asma' pun menyingkir. Barulah setelah itu Rasulullah masuk kedalam. Kemudian 'Aisyah bertanya kenapa berdiri? Beliau menjawab : "Apakah engkau tidak melihat perilakunya?! Sesungguhnya tidak pantas bagi wanita Muslimah hendak memperlihatkan darinya kecuali ini dan ini." Rasulullah mengambil telapak tangannya, maka punggung telapak tangannya beliau tutup sehingga telapak tangannya tidak terlihat kecuali jari-jarinya, kemudian beliau mengangkat kedua telapak tangannya kepada kedua pelipisnya hingga tidak terlihat kecuali wajahnya. Imam Baihaqi berkata : isnadnya dla'if Hadits ini isnadnya munkar dilihat dari beberapa segi, diantaranya adalah : 1) Ahli hadits sepakat bahwa ibnu Luha'ah riwayatnya dla'if. Sebab ia sama sekali tidak pernah meriwayatkan salah satu dari abadilah yang tiga yaitu Abdullah bin Mubarak, Abdullah bin Wahb dan Abdullah bin yazid al Muqri'i. padahal ia mengambil riwayat dari abadalah ini dalam kitabnya sendiri. Begitu juga banyaknya periwayatannya yang munkar seperti dia sering salah jika bicara tentang hafalannya. (hal : 43) Ibnu Luhai'ah merupakan seorang ulama, dan seorang faqih di Mesir, akan tetapi ia tidak termasuk orang yang tsabit dalam periwayatan hadits, ia sering kali salah jika bicara tentang hafalannya. 3. Hadits riwayat ibnu Juraij Hadits ini diriwayatkan dari Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij al Maki dari ‘Aisyah (riwayatnya mu’dlal). Dalam riwayat Ibnu Juraij ada tambahan lafalz " وقبض على ذراع نفسه " Lengkapnya bunyi riwayat hadits tersebut seperti yang telah disebutkan oleh Imam Thabari dalam tafsirnya (18/93). Qasim telah bercerita kepada kami, ia berkata Husain bererita kepada kami, ia berkata : Hajjaj telah menceritakan kepadaku dari Ibnu Juraij, ia berkata : ‘Aisyah berkata : “Keponakan perempuanku dari pihak ibu yaitu (anak pr) Abdullah bin Thufail al Muzayanah masuk keruanganku, lalu Rasulullah n mau masuk kedalam, tiba-tiba Rasulullah n berpaling. Kemudian ‘Aisyah xberkata : Wahai Rasulullah!, sesungguhnya ia adalah keponakanku, dan ia juga belum dewasa!. Maka Rasulullah n bersabda : إذا عركت المرأة لم يحل أن تظهر إلا وجهها وإلا ما دون هذا “Jika seorang perempuan telah dewasa, maka tidak halal baginya menampakkan darinya kecuali wajahnya dan ini.” Rasulullah menunjukkan sebagian hastanya sampai ketelapak tangannya. Abu Ali mengisyaratkan bahwa riwayat ini munkar didalam matannya, sebab antara Ibnu Juraij dengan ‘Aisyah ada thabaqah yang terlewatkan. Abdullah bin Ahmad berkata dalam kitab “Ilal”, dari bapaknya, ia berkata : Bahwa mursal yang diriwayatkan Ibnu Juraij adalah maudlu’ (palsu). Karena Ibnu Juraij tidak memperhatikan dari mana ia mengambil riwayat hadits, hal ini bisa diketahui dari perkataannya tatkala ia meriwyatkan dengan bentuk (sighat) أخبرت / حدثت (aku diberitahu) dari fulan. Dalam kitab at Tankil disebutkan bahwa Ibnu Juraij terkenal dengan tadlis (mudalas). Seperti dalamsebuah riwayat disebutkan : “dari Ibnu Juraij dari az Zuhri” padahal antara Ibnu Juraij dengan az Zuhri ada thabaqah yang terlewati (tidak disebutkan), makanya ia kemudian terkenal dengan tadlis (menyembunyikan cacat dalam riwayat hadits). PASAL II Keterangan Ketidak-absahan Jalur Periwayatan Ini Walaupun Dikuatkan Dengan Riwayat Lain. Walau pada hakekatnya, riwayat mursal bisa di jadikan hujjah dengan syarat-syarat, diantaranya : 1. Jika sanadnya shahih 2. Dikuatkan dengan riwayat lain 3. Dikuatkan dengan perkataan Tabi’in atau hal itu diamalkan oleh kebanyakan ahli ilmu, Sementara mursal yang diriwayatkan oleh Qatadah adalah mursal yang dikuatkan dengan riwayat mursal yang lain, yaitu mursal yang diriwayatkan oleh Khalid bin Duraik, begitu juga dengan hadits Ibnu Luhai’ah yang telah disebutkan dalam penjelasan yang telah lalu. Walaupun dikalangan ulama hadits seperti al Baihaqi dan al Bani menguatkan pendapat ini dengan hadits mursal semisalnya, akan tetapi pendapat mereka yang menguatkan riwayat mursal dengan mursal yang lain seperti riwayat diatas, tidaklah bisa dijadikan sandaran, walaupun ada syarat-syarat yang mereka kemukakan. Riwayat ini tidak bisa dikuatkan dengan mursal semisalnya dan juga tidak bisa dijadikan hujjah hanya karena ada sebab/syarat-syarat yang ada. Ringkasnya : Sesungguhnya sebagian imam yang berpendapat bahwa hadits mursal bisa dikuatkan dengan mengemukakan beberapa syarat, mereka tidak mengaitkan / mensyaratkan secara mutlak dalam dasar periwayatanya. Sebagaimana syarat yang mereka kemukakan, masih terkait dengan riwayat yang munkar yang ingin dikuatkan. (hal : 125). Syaikh Al Bani mengemukakan dalam kitab “hijab al marah al muslimah”, beliau berusaha untuk menguatkan riwayat yang menyebutkan “setengah hasta”, kemudian beliau menyebutkan perkataan al Maududi yang menguatkan riwayat ini, dengan di iringi riwayat mursal yang lainnya. (hal : 126) Imam Nawawi berkata : Hadits mursal adalah hadits dla’if dikalangan para jumhur muhadditsin, Syafi’i dan kebanyakan para fuqaha’ yang lain. (hal : 127). Dijelaskan bahwa Imam Al Maududi tidak memperhatikan syarat tatkala beliau menguatkan mursal Qatadah dengan mursal Ibnu Juraij. (hal : 128) PENGUAT MURSAL, MACAM DAN SYARAT-SYARATNYA Sebagaimana yang disebutkan oleh syaikh al bani bahwa sesuatu yang berkaitan dengan penguat mursal itu ada dua macam : 1. Hendaknya riwayatnya bisa dijadikan sandaran (musnad) Dalam masalah ini tidak disyaratkan sesuautu apapun kecuali hendaknya riwayatnya tidak dla’if sekali. 2. Hendaknya ada riwayat mursal yang lain Dalam masalah ini ada 2 syarat : 1) Hendaknya sanadnya shahih sampai kepada orang yang meriwayatkan hadits mursal. 2) Hendaknya riwayatnya tidak dari syaikh yang meriwayatkan mursal yang pertama. (hal : 148) Syarat – Syarat Penguat Mursal Dengan Musnad Adapun penguat mursal dengan musnad, disyaratkan hendaknya musnadnya shahih yaitu dari riwayatnya orang yang terjaga hafalannya. Imam Syafi’I berkata : “Hendaknya ada tinjauan dari riwayat mursal dalam hadits, jika didalam periwayatannya ada seorang yang terjaga hafalannya, kemudian riwayatnya disandarkan kepada Rasulullah sebagaimana yang telah diriwayatkan, maka riwayatnya ini bisa jadi sah dan diterima.” (hal : 149) Perkataannya Imam Syafi’I seperti diatas, juga seperti perkataannya imam Nawawi yang kemudian dibuat sandaran oleh Syaikh al Bani. Perkataannya mereka ini menunjukkan bahwa musnad yang bisa menguatkan riwayat mursal adalah musnad shahih, tidak musnad yang dla’if (lemah). (hal : 150). Begitu juga dengan komentar dari Ibnu Hajar tentang perkataan Syafi’I, bahwa mursal yang ditunjukan Imam Syafi’I adalah mursal yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah, bahwa ia menjadi shahih dalam satu perkara. (hal : 153) Maksud dari perkataan imam Syafi’I atas musnad yang bisa menguatkan riwayat mursal adalah musnad yang shahih, tidak musnad yang riwayatnya dla’if (lemah), hal ini bisa dilihat dari dua segi : 1. Sesungguhnya riwayat mursal dikuatkan dengan musnad dan juga musnad yang menjelaskan tentang keshahihannya, makanya perkara ini memiliki faedah merajihkan (menguatkan) musnad lain yang bertentangan dengannya yang tidak mengandung riwayat mursal. kadang-kadang musnad bisa sampai kepada derajat hasan dengan adanya riwayat mursal yang bisa menguatkan riwayat yang lain, dan bisa mengangkat riwayat hadits sampai kepada derajat shahih, ini juga termasuk perkara yang baik. (hal : 153-154). SYARAT – SYARAT PENGUAT MURSAL DENGAN MURSAL Adapun riwayat mursal dengan mursal yang semakna dengannya, memiliki beberapa syarat, diantaranya adalah : 1. isnadnya shahih sampai kepada riwayat mursal yang kedua, sebagaimana isnadnya shahih dalam riwayat yang pertama 2. hendaknya riwayat mursal yang kedua tidak diambil dari syaikh yang meriwayatkan dalam riwayat mursal yang pertama. Didalam permasalahan ini menunjukkan bahwa syarat dalam riwayat mursal yang kedua sebagaimana yang disyaratkan dalam riwayat mursal yang pertama, yaitu : 1. Hendaknya mursal tersebut diriwayatkan dari kibar Tabi’in 2. Tidak diriwayatkan dari perawi yang terkenal kedlo’ifan (lemah) dan cacatnya. 3. Hendaknya perawinya yang tsiqah yang tidak menyelisihi orang yang hufadz (kuat hafalannya) dalam periwayatan hadits. (hal : 172) Contoh hadits mursal yang diriwayatkan oleh sighor Tabi’in adalah hadits Abu ‘Aliyah ar Riyahi, ia tertawa terbahak-bahak sewaktu sedang shalat, kemudian Rasulullah menyuruhnya untuk mengulangi wudlu’ dan shalatnya. Lengkapnya hadits tersebut adalah : ما رواه أبو عالية، قال : جاء رجل فى بصره ضر فدخل المسجد ورسول الله يصلى بأصحابه. فتردى فى حفرة كانت فى المسجد. فضحك طوائف منهم فلما قضى رسول الله الصلاة أمر من كان ضحك منهم أن يعيد الوضوء ويعيد الصلاة. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu ‘Aliyah sudah masyhur diriwayatkan secara mursal. Hadits ini juga diriwayatkan oleh al hasan, Ibrahim dan az Zuhri secara mursal pula. Orang yang melihat riwayat ini, ia akan menduga seakan-akan perawinya banyak, bukan cuma Abu ‘Aliyah, akan tetapi riwayat-riwayat tersebut sebenarnya kembali kepada riwayatnya satu orang, yaitu Abu ‘Aliyah. Sedangkan tiga perawi yang meriwayatkan hadits tersebut secara mursal seperti Hasan, Ibrahim dan az Zuhri tidak mengambil riwayat ini dari Abu ‘Aliyah secara langsung, akan tetapi mereka mengambil riwayat ini dengan perantara rowi yang lain bahkan mereka mengambilnya lebih dari satu rawi. Hal seperti inilah yang di jaga betul-betul dari imam Syafi’I, dan diantara sebab inilah belaiu kemudian tidak mau mengambil mursal dari sigharut Tabi’in. inilah yang dimaksud dengan كثرة الإحالة (banyak perubahan dalam riwayat). (hal : 173-174) Setelah ada kejelasan mengenai syarat-syarat yang bisa menguatkan hadits mursal dengan musnad atau menguatkan riwayat mursal dengan riwayat mursal yang lain, maka bisa dikatakan bahwa : “Sesungguhnya riwayat murasal yang ada dalam riwayatnya Qatadah (dalam pembahasan ini) tidak ditemukan musnad dalam periwayatannya, begitu juga dengan mursal yang lain yang semakna dengan riwayatnya Qatadah kecuali mursalnya riwayat Ibnu Luhai’ah, mursalnya Khalid bin Duraik dari ‘Aisyah dan juga riwayat mu’dlalnya Ibnu Juraij. Sedangkan mursal riwayat Ibnu Luhai’ah, Khalid bin Duraik dan Mu’dlalnya riwayat Ibnu Juraij tidak bisa untuk menguatkan hadits mursal riwayat Qatadah, dikarenakan sebab-sebab sebagaimana yang telah disebutkan didepan, diantaranya ialah : 1. Mursal riwayat Ibnu Luhai’ah tidak terdapat musnad yang shahih yang dengannya bisa menguatkan riwayat mursal yang lain, akan tetapi musnad riwayat Ibnu Luhai’ah adalah dla’if sehingga tidak bisa dijadikan penguat. 2. Sedangkan Mu’dlal riwayat Ibnu Juraij, riwayatnya lemah, bahkan ada yang mengatakan riwayatnya munkar, disebabkan : a. Ibnu Juraij tidak termasuk dari kalangan Tabi’in b. Ibnu Juraij terkenal riwayatnya dari orang-orang yang dla’if dan perawi yang cacat. Bahkan riwayatnya terkenal dengan tadlis (menyembunyikan cacat dalam riwayat hadits). Abdullah berkata : dari bapaknya (Imam Ahmad), ia berkata : “Sebagian hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Juraij riwayatnya adalah maudlu’ (palsu) karena Ibnu Juraij tidak pernah memperhatikan darimana ia mengambil riwayat hadits.” (hal : 176-177) 3. Sesungguhnya mursal Khalid bin Duraik dari ‘Aisyah juga tidak bisa dijadikan penguat mursal riwayat Qatadah, disebabkan beberapa hal : 1) Isnadnya tidak sah, sebab isnadnya terdapat Sa’id bin Basyir, sedangkan ia dlaif (lemah). 2) Mursal Khalid bin Duraik dari riwayat ‘Aisyah semakna dengan mursal riwayat Qatadah. Allah berfirman dalam surat al Ahzab : 59 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Para ulama Salaf berbeda pendapat dalam masalah zinah (perhiasan) yang dhahir (nampak) menjadi 2 perkataan : 1) Pakain, ini adalah pendapatnya Ibnu mas’ud dan orang-orang yang sependapat dengannya. 2) Wajah dan kedua tangan, seperti celak dan cincin dan yang sejenisnya. Ini adalah pendapatnya Abdullah bin Abbas dan orang-orang yang sependapatdengannya. Pada hakekatnya Allah menjadikan perhiasan tersebut menjadi dua bagian : 1) Perhiasan yang dhahir (nampak) 2) Perhiasan yang tidak nampak. Dan seorang wanita diperbolehkan menampakkan perhiasan dhahirnya kepada selain suami dan mahramnya. Sebelum turunnya ayat hijab, para wanita mukminah keluar rumah mereka tanpa mengenakan jilbab, sehingga orang laki-laki bisa melihat wajah dan tangan mereka, pada saat itu seorang wanita belum dilarang untuk menampakkan wajah dan telapak tangannya. Kemudian tatkala Allah menurunkan ayat hijab dengan firman Allah (al Ahzab : 59), maka para wanita sama menutupi dirinya dari pandangan laki-laki. (hal : 181). Begitu pula saat Zainab binti Jahsy setelah menikah dengan Rasulullah, kemudian ia menaruh satir (penghalang) dan melarang Anas bin Malik untuk melihatnya. Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk tidak bertanya kepada istri-istri Rasulullah kecuali dari balik hijab dan memerintahkan kepada para mukminah untuk memanjangkan jilbabnya. Jilbab adalah kain penutup bagi seorang wanita. Sedangkan Ibnu Mas’ud dan yang lainnya menamakannya dengan “rida’” (kain penutup). Dan orang-orang pada umumnya menamakannya dengan izar yaitu kain penutup yang besar yang bisa menutupi seluruh kepalanya dan semua badannya. Ubadah dan yang lainnya menceritakan : Sesungguhnya para wanita menutup dari atas kepadalanya dan tidak menampakkan kecuali kedua matanya, dan yang termasuk dari jenis ini adalah niqab, sesungguhnya para wanita mukminah saat itu sama berniqab. Jika pada saat itu mereka diperintahkan untuk berjilbab agar tidak kelihatan yaitu menutup wajahnya dengan berniqab, maka saat itu juga wajah dan kedua tangan termasuk dari perhiasan yang diperintahkan untuk tidak diperlihatkan kepada orang asing selain mahramnya. Ubadah as Salmani menafsiri firman Allah (al Ahzab : 59), ia berkata : Sesungguhnya seorang wanita menutupinya dari atas kepalanya dan tidak dinampakkan kecuali kedua matanya. Hal ini setelah turun ayat hijab, sedangkan para wanita, sebelum turun ayat hijab, mereka biasa keluar rumah dengan tanpa hijab sehingga wajah dan telapak tangannya kelihatan, dan itu termasuk perhiasan yang ditampakkan, seperti firman Allah (an Nur : 31) Kemudian setelah itu para wanita di perintahkan untuk menutup wajah dan kedua telapak tangannya. (hal : 181-183). KRITIKAN DIBEBERAPA TEMPAT DALAM KITAB “TANWIRUL ‘AINAIN” Pertama : ia menyandarkan riwayat untuk membaguskan riwayatnya Sa’id bin Basyir, padahal jalan ia tempuh tidaklah shahih. Seperti perkataannya (hal : 35) • Syu’bah bin Hajjaj berkata : “Bahwa ia (Sa’id bin Basyir) adalah shuduq” • Abu Hatim ar Razi berkata, dari Haiwah bin Syuraih dan Musa bin Ayyub dari Baqiyyah, aku bertanya kepada Syu’bah tentang Sa’id bin Basyir, maka ia berkata : ia Shuduq, dan yang satunya ia bertakata : tsiqah. Padahal lafalz “shuduq” menurut ulama mutaqadimin (terdahulu) dimutlakkan bagi siapa yang banyak riwayatnya – demikian pula sebagian besar ulama nutaakhir – yang berarti ‘adl, maksudnya : tidak disandarkan kepada kedustaan, walaupun terkadang terjatuh kepada kesalahan dan keraguan. Begitulah para imam dahulu, jika mereka ingin mencacat seseorang dalam agamanya, mereka masih memberikan hak dirinya dengan Tsiqah atau shuduq atau yang lainnya. (hal : 189) Seperti al Fasawi, ia dikatakan tsiqah, dan Abu Zar’ah berkata : shuduq. Padahal kebanyakan ahli hadits mendla’ifkannya bahkan sebagiamn lagi ada yang mendla’ifkan sekali. Tempat Kedua : Disebutkan dalam kitab tersebut diawal pemabahsannya dari riwayat Qatadah, yaitu riwayat Walid bin Muslim dari Sa’id bin Basyir dari Qatadah dari Khlalid bin Duaraik dari ‘Aisyah dari Nabi. Ia menyebutkan 4 ilal (cacat), yaitu : Pertama dan Kedua : Mentadlis riwayat al Walid bin Muslim dan Qatadah Ketiga : Bersikap lembut terhdap Sa’id bin Basyir Keempat : adanya sanad yang terputus antara Khalid dan ‘Aisyah Kemudian ia bekata di hal : 38 “Sesungguhnya jalur periwayatan hadis ini terdapat empat cacat, akan tetapi kecacatan tersebut tidak menghalangi untuk dijadikan penguat.” “Hadits ini meskipun dla’if akan tetapi ia diangkat karena ada syawahidnya.” Bantahan : demikianlah ibarat yang dibuat oleh pengarang, dengan menjama’ riwayat yang cacat tersebut dalam isnad ini, akan tetapi cara ini tidak bisa untuk dijadikan I’tibar. Dalam permasalahan ini terdapat penelitian dilihat dari beberapa segi, diantaranya adalah : 1. Sesungguhnya para ulama mensyaratkan didalam riwayat mursal agar riwayatnya menjadi kuat, yaitu hendaknya riwayat tersebut isnadnya shahih kepada orang yang meriwayatkan secara mursal, tidak yang mengandung kecacatan dalam isnadnya. Ini adalah syarat yang sudah jelas. Jika riwayat mursal, isnadnya dla’if, maka salah satu riwayatnya pun akan dla’if sedingga hadits tersebut menjadi dla’if dan tidak bisa diterima. Sayarat seperti ini juga disepakati oleh imam Nawawi, Imam Dzahabi, Imam Ibnu Hajar dan juga Syaikh al Bani. Sebagaimana yang telah dibicarakan pada bab sebelumnya. 2. Imam Syafi’I mensyaratkan dalam riwayat mursal supaya bisa dijadikan penguat, yaitu hendaknya riwayat mursalnya tidak dari riwayatnya orang yang dla’if dan yang majhulm sebagaimana pembahasan yang telah lalu. Jika Imam Syafi’I mensyaratkan seperti ini dalam riwayat mursal dan di tambah pula hendaknya riwayatnya dari mursal kibar tabi’in, maka dalam riwayat mudalas dan munqathi’ lebih mensyaratkan lagi daripada syarat yang terdapat dalam riwayat mursal. Yang demkian itu, sebab riwayat mursal itu lebih ringan daripada riwayat mudalas atau munqathi’ (terputus). (hal : 241-242).

0 komentar:

Posting Komentar

Tulis saran dan kritik anda di sini. Harus menggunakan login akun @yahoo, @gmail, @hotmail atau yang lainnya

Silahkan berkomentar "anda sopan kami segan"