Menurut Abu
Bakar Jabir al-Jaza'iri (Minhajul Muslim:235), seorang muslim wajib menjenguk
saudara muslim lainnya bila sakit. Sebagaimana sabda Nabi Shallallâhu 'Alayhi
wa Sallam, "Berilah makanan pada orang yang kelaparan, jenguklah orang
yang sakit, dan bebaskanlah tawanan." Disunnahkan pula agar mendo'akan
kesembuhan dan bersabar dalam menghadapinya. Lalu bagaimanakah kewajiban ini
berlaku bagi wanita bila yang sakit adalah laki-laki? Apakah hal itu tetap diwajibkan,
atau sebaliknya?
Hal ini tetap
dibolehkan walau yang sakit laki-laki bukan mahram. Hal ini sebagaimana telah
dibahas oleh Imam al-Bukhâriy dalam bab, "Iyâdatu an-Nisâ' ar-Rijâl"
(Bab wanita menjenguk laki-laki yang sakit), beliau katakan, "Bahwa Ummu
Darda' pernah menjenguk seorang laki-laki Anshar dari jama'ah masjid yang
sedang sakit."
Di samping
itu, telah diriwayatkan dari Aisyah, ia menceritakan, "Ketika Rasulullah
Shallallâhu 'Alayhi wa Sallam tiba di Madinah, Abu Bakar dan Bilal terserang
demam. Lalu aku menjenguk mereka berdua. Aku bertanya, "Wahai ayah, apa
yang anda rasakan? Juga pada Bilal, apa yang anda rasakan? Karena setiap kali
terserang demam, Abu Bakar mengatakan, "Setiap orang memang ingin terus
berkumpul dengan keluarganya. Sedang kematian itu lebih dekat daripada sepasang
sandalnya. Demikian pula yang terjadi dengan diri Bilal, bila sedikit reda
demamnya, biasa ia mengatakan, "Sekiranya saja aku bisa bermalam satu
malam saja di sebuah lembah, sementara di sekelilingnya terdapat rumput yang
wangi dan keagungan." Kemudian aku menemui Rasulullah Shallallâhu 'Alayhi
wa Sallam dan menceritakan hal itu pada beliau. Mendengar hal itu, beliau
berdo'a, "Ya Allah, Jadikanlah kami ini mencintai Madinah sebagaimana
kecintaan kami pada kota
Makkah atau bahkan lebih. Ya Allah, berikanlah kesehatan baginya. Berikanlah
makanan pokok yang kami makan, dan hilangkanlah demamnya serta buanglah
penyakit itu sejauh-jauhnya."." (HR. al-Bukhâriy, Muslim dan Baihaqi)
Mengomentari
hadits ini, Ibnu Hajar (Fathul Bâri:10/117) berpendapat, bahwa kebolehan wanita
menjenguk laki-laki sakit walau ia bukan mahram adalah dengan syarat-syarat dan
rambu-rambu syar'i yang telah banyak dijelaskan. Di antaranya, boleh dilakukan
dengan syarat adanya pembatas dan aman dari fitnah.
Tidak Khalwat
Tidak
berkhalwat adalah rambu-rambu paling pokok dan umum yang harus ditaati. Nabi
Shallallâhu 'Alayhi wa Sallam bersabda,
لاَ َيخْلُوَنَّ
رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْ َمحْرَمٍ
"Tidak
dibolehkan seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali bila
bersamanya ada mahram." (HR. al-Bukhâriy, Muslim)
Imam
An-Nawawiy berkata, "Sudah menjadi kesepakatan para ulama, haramnya
seorang laki-laki ajnabi berkhalwat bersama wanita ajnabi. Demikian juga bila
bersama keduanya ada anak kecil berumur dua atau tiga tahun. Tetap diharamkan,
karena keberadaan anak itu seperti tidak ada. Demikian juga diharamkan, bila
banyak laki-laki berkumpul bersama seorang wanita ajnabiyah. Lain halnya, bila
seorang laki-laki berkumpul bersama banyak wanita ajnabiyah, seperti ini
dibolehkan." Dan beliau berkata, "Keharaman khalwat ini tentunya
berlaku juga dalam shalat atau yang lainnya. Hanya dikecualikan bila dalam
kondisi darurat, seperti ditemukannya seorang wanita ajnabiyah sendirian di
jalanan yang ditakutkan adanya fitnah bila ditinggalkan. Maka dibolehkan
menemaninya, bahkan diwajibkan, sebagaimana kejadian Aisyah dalam kisah ifki."
Bicara Bila Diperlukan
Tidak
diragukan, diperbolehkannya berbicara pada orang yang bukan mahram adalah
sebatas apa dibutuhkan. Di antara kebutuhan itu adalah keperluan untuk nasihat
atau amar ma'ruf nahi mungkar, Sebagaimana hadits yang telah diriwayatkan oleh
Anas bin Malik, ia berkata,
مَرَّ النَِّبيُّ -
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِامْرَأَةٍ عِنْدَ قَبرٍْ وَهِيَ تَبْكِيْ،
فَقَالَ: "اتْقِي اللهَ وَاصْبرِيْ"
Suatu ketika
Nabi-Shallallâhu 'Alayhi wa Sallam-melewati seorang wanita yang sedang menangis
di samping kuburan. Maka beliau berkata padanya, "Bertaqwalah pada Allah
dan bersabarlah." (HR. Muttafaqun Alaih)
Sekali Lagi, Bolehnya Bicara
Sebatas Keperluan Saja
Abu Hurairah
Radhiyallâhu 'Anhu berkata, bahwa Nabi Shallallâhu 'Alayhi wa Sallam telah
bersabda tentang cara mengingatkan imam shalat bila lupa, "Ucapan tasbih
itu bagi laki-laki, dan tepuk tangan itu bagi wanita." (HR. Muttafaqun
'Alayh)
Banyak ulama
menyebutkan, alasan tepuk tangan bagi wanita karena suara wanita itu aurat,
bahkan ditakutkan dengan suara itu banyak laki-laki tidak khusyu' shalatnya
karena sibuk dengan suara itu. Maka para wanita diperintahkan agar menjaga
suaranya dalam shalat, karena ditakutkan akan adanya fitnah bagi laki-laki.
(at-Tamhid: 21/10, Aunul Ma'bud: 3/152, Syarh sunan Ibnu Majah: 1/2)
Bahkan Salam Pun Hati-hati
Memang salah
satu sunnah, bila seorang muslim bertemu dengan muslim lainnya, adalah
mengucapkan salam padanya. Tapi hal itu tentu dibedakan bila diiucapkan pada
lawan jenis, karena bisa jadi bukannya kebaikan yang didapat, justru malah
timbul fitnah di antara keduanya. Maka ucapan salam pada lain jenis diucapkan
hanya bila tidak dikhawatirkan akan timbul fitnah. Dalam sebuah hadits
disebutkan, "Dari Asma, bahwa Nabi Shallallâhu 'Alayhi wa Sallam suatu
ketika melewati masjid dan sekelompok wanita banyak yang duduk-duduk
disekitarnya. Maka Nabi Shallallâhu 'Alayhi wa Sallam menyampaikan salam dengan
tangannya. Lalu bersabda, "Janganlah kalian kufur nikmat, janganlah kalian
kufur nikmat (yaitu perkataan pada suami, "Aku tidak pernah melihat
kebaikan sedikit pun darinya.")."
Wallâhu A'lam. (fm)
0 komentar:
Posting Komentar
Tulis saran dan kritik anda di sini. Harus menggunakan login akun @yahoo, @gmail, @hotmail atau yang lainnya