Jumat, 27 Juni 2014

Jangan Galau, Allah Bersama Kita..!

Label Post:

Zaman sekarang berbagai masalah makin kompleks. Entah itu komplikasi dari masalah keluarga yang tak kunjung selesai, masalah hutang yang belum terbayar, bingung karena ditinggal pergi oleh sang kekasih, ataupun masalah-masalah lain. Semuanya bisa membuat jiwa seseorang jadi kosong, lemah atau merana.
“Galau!!” merupakan sebuah kata-kata yang sedang naik daun, di mana kata-kata itu menandakan seseorang tengah dilanda rasa kegelisahan, kecemasan, serta kesedihan pada jiwanya. Tak hanya laku di facebook atau twitter saja, bahkan di media televisi pun orang-orang seakan-akan dicekoki dengan kata-kata “galau” tersebut.
Pada dasarnya, manusia adalah sesosok makhluk yang paling sering dilanda kecemasan. Ketika seseorang dihadapkan pada suatu masalah, sedangkan dirinya belum atau tidak siap dalam menghadapinya, tentu jiwa dan pikirannya akan menjadi guncang dan perkara tersebut sudahlah menjadi fitrah bagi setiap insan.
...Jangankan kita manusia biasa, bahkan Rasulullah pun pernah mengalami keadaan keadaan galau pada tahun ke-10 masa kenabiannya...
Jangankan kita sebagai manusia biasa, bahkan Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wasallam pun pernah mengalami keadaan tersebut pada tahun ke-10 masa kenabiannya. Pada masa yang masyhur dengan ‘amul huzni (tahun duka cita) itu, beliau ditinggal wafat oleh pamannya, Abu Thalib, kemudian dua bulan disusul dengan wafatnya istri yang sangat beliau sayangi, Khadijah bintu Khuwailid.
Sahabat Abu Bakar, ketika sedang perjalanan hijrah bersama Rasulullah pun di saat berada di dalam gua Tsur merasa sangat cemas dan khawatir dari kejaran kaum Musyrikin dalam perburuan mereka terhadap Rasulullah. Hingga turunlah surat At-Taubah ayat 40 yang menjadi penenang mereka berdua dari rasa kegalauan dan kesedihan yang berada pada jiwa dan pikiran mereka.
Jangan Galau, Innallaha Ma’ana!
Allah Ta’ala berfirman, “Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kami” (QS. At Taubah: 40)
Ayat di atas mungkin dapat menjadikan kita agar lebih merenungi lagi terhadap setiap masalah apapun yang kita hadapi. Dalam setiap persoalan yang tak kunjung terselesaikan, maka hadapkanlah semua itu kepada Allah Ta’ala. Tak ada satupun manusia yang tak luput dari rasa sedih, tinggal bagaimana kita menghadapi kesedihan dan kegalauan tersebut.
...Allah telah memberikan solusi kepada manusia untuk mengatasi rasa galau yang sedang menghampiri jiwa...
Adakalanya, seseorang berada pada saat-saat yang menyenangkan, tetapi, ada pula kita akan berada pada posisi yang tidak kita harapkan. Semua itu sudah menjdai takdir yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk makhluk-makhluk Nya.
Tetapi, Allah Ta’ala juga telah memberikan solusi-solusi kepada manusia tentang bagaimana cara mengatasi rasa galau atau rasa sedih yang sedang menghampiri jiwa. Karena dengan stabilnya jiwa, tentu setiap orang akan mampu bergerak dalam perkara-perkara positif, sehingga dapat membuat langkah-langkahnya menjadi lebih bermanfaat, terutama bagi dirinya lalu untuk orang lain.
Berikut ini adalah kunci dalam mengatasi rasa galau;
1. Sabar
Hal pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika menghadapi cobaan yang tiada henti adalah dengan meneguhkan jiwa dalam bingkai kesabaran. Karena dengan kesabaran itulah seseorang akan lebih bisa menghadapi setiap masalah berat yang mendatanginya.
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar” (Qs. Al-Baqarah 153).
Selain menenangkan jiwa, sabar juga dapat menstabilkan kacaunya akal pikiran akibat beratnya beban yang dihadapi.
2. Adukanlah semua itu kepada Allah
Ketika seseorang menghadapi persoalan yang sangat berat, maka sudah pasti akan mencari sesuatu yang dapat dijadikan tempat mengadu dan mencurahkan isi hati yang telah menjadi beban baginya selama ini. Allah sudah mengingatkan hamba-Nya di dalam ayat yang dibaca setiap muslim minimal 17 kali dalam sehari:
“Hanya kepada-Mulah kami menyembah, dan hanya kepada-Mulah kami meminta pertolongan” (QS. Al Fatihah 5).
...ketika keluhan itu diadukan kepada Sang Maha Pencipta, maka akan meringankan beban berat yang kita derita...
Mengingat bahwa manusia adalah makhluk yang banyak sekali dalam mengeluh, tentu ketika keluhan itu diadukan kepada Sang Maha Pencipta, maka semua itu akan meringankan beban berat yang selama ini kita derita.
Rasulullah shalallahi alaihi wasallam ketika menghadapi berbagai persoalan pun, maka hal yang akan beliau lakukan adalah mengadu ujian tersebut kepada Allah Ta’ala. Karena hanya Allah lah tempat bergantung bagi setiap makhluk.
3. Positive thinking
Positive thinking atau berpikir positif, perkara tersebut sangatlah membantu manusia dalam mengatasi rasa galau yang sedang menghinggapinya. Karena dengan berpikir positif, maka segala bentuk-bentuk kesukaran dan beban yang ada pada dalam diri menjadi terobati karena adanya sikap bahwa segala yang kesusahan-kesusahan yang dihadapi, pastilah mempunyai jalan yang lebih baik yang sudah ditetapkan oleh Allah Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya;
“Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Qs Al-Insyirah 5-6).
4. Dzikrullah (Mengingat Allah)
Orang yang senantiasa mengingat Allah Ta’ala dalam segala hal yang dikerjakan. Tentunya akan menjadikan nilai positif bagi dirinya, terutama dalam jiwanya. Karena dengan mengingat Allah segala persoalan yang dihadapi, maka jiwa akan menghadapinya lebih tenang. Sehingga rasa galau yang ada dalam diri bisa perlahan-perlahan dihilangkan. Dan sudah merupakan janji Allah Ta’ala, bagi siapa saja yang mengingatnya, maka didalam hatinya pastilah terisi dengan ketenteraman-ketenteraman yang tidak bisa didapatkan melainkan hanya dengan mengingat-Nya.
...Bersabar, berpikir positif, ingat Allah dan mengadukan semua persoalan kepada-Nya adalah solusi segala persoalan...
Sebagaimana firman-Nya:
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tenteram” (Qs Ar-Ra’du 28).
Berbeda dengan orang-orang yang lalai kepada Allah, yang di mana jiwa-jiwa mereka hanya terisi dengan rasa kegelisahan, galau, serta kecemasan semata. Tanpa ada sama sekali yang bisa menenangkan jiwa-Nya.
Tentunya, sesudah mengetahui tentang faktor-faktor yang dapat mengatasi persoalan galau, maka jadilah orang yang selalu dekat kepada Allah Ta’ala. Bersabar, berpikir positif, mengingat Allah, serta mengadukan semua persoalan kepada-Nya merupakan kunci dari segala persoalan yang sedang dihadapi. Maka dari itu, Janganlah galau, karena sesungguhnya Allah bersama kita.



                      

Posted By Ey-NhA SwEetBluE'S_92_find me to path!07.05

Rabu, 04 Juni 2014

QO’IDAH ATS-TSANIYAH MAFHUM MUKHALAFAH

OLEH: ENAKUSUMAWATI MARDIA NINGSIH

Ditulis Guna Memenuhi Tugas: USHUL FIQH

Pengampu: Ustd. FAJRUN MUSTAQIM

بسم الله الرحمن الرحيم

QOIDAH ATS-TSANIYAH

MAFHUM MUKHALAFAH

BAB I

PENDAHULUAN

Perbedaan penemuan hukum (istinbat al-ahkam) terjadi akibat beberapa faktor, baik internal maupun eksternal. Salah satu faktor penyebab perbedaan tersebut, secara internal, adalah perbedaan metode ulama Usul dalam memahami makna nass, al-Qur’an dan Hadis, melalui lafaz (turq dilalah al-alfaz).

Ada dua metode (manhaj) yang berkembang tentang lafaz tersebut - juga dikenal sebagai dua aliran besar dalam Usul al-Fiqh - yaitu, Metode Hanafiyah dan Metode Mutakallimin yang masing-masing memiliki rumusan tersendiri. Dengan demikian, perbedaan persepsi dalam penemuan hukum, seperti telah diungkapkan, terkesan wajar dan dianggap lumrah. Tulisan ini akan membahas konsep lafaz yang dirumuskan oleh Syafi’iyah dan Jumhur Ulama.

A.   LATAR BELAKANG MASALAH

B.   RUMUSAN MASALAH

1.      Dilalah  Mafhum 

2.      Macam-macam Dilalat Al-Mafhum

3.      Definisi Mafhum Mukhalafah dan Mafhum Muwafaqoh

4.       Macam-macam Mafhum Mukhalafah Beserta Pengertiannya

5.      Berhujjah Dengan Mafhum Mukhalafah

6.      Syarat-Syarat Mafhum Mukhalafah

C.   TUJUAN PEMBAHASAN

BAB II

PEMBAHASAN

1)      Dilalah Mafhum

“Penunjukan lafaz yang tidak dibicarakan atas berlakunya hukum yang disebutkan atau tidak berlakunya hukum yang disebutkan”

   Atau defenisi lain:

                   “Apa yang dapat dipahami dari lafaz bukan menurut yang dibicarakan”

   Tegasnya, dilālat al-mafhūm itu adalah penunjukkan lafal nash atas suatu ketentuan hukum yang didasarkan atas pemahaman dibalik yang tersurat.

   Contohnya Q.S al-Isra’ (17): 23:

“jangan kamu mengucapkan kepada kedua ibu bapakmu ucapan “uf” dan janganlah kamu membentak keduanya”.

         

Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan kata kasar “uf” dan menghardik orang tua. Dari ayat itu juga dapat dipahami adanya ketentuan hukum yang tidak disebutkan (tersirat) dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul orang tua dan perbuatan lain yang menyakiti orang tua.

2)      Macam-macam Dilalah Al-Mafhum

Dilalat Al-Mafhum di bagi manjadi dua:

a)  Mafhum Muwafaqoh

b)  Mafhum Mukhalafah

3)      Definisi Mafhum Muwafaqoh Dan Mafhum Mukhalafah

a)      Pengertian Mafhum Muwafaqoh

Mafhum muwafaqah yaitu penunjukan hukum yang tidak disebutkan untuk memperkuat hukum yang disebutkan karena terdapat kesamaan antara keduanya dalam meniadakan dan menetapkan [1]. Menurut pengertian yang lain mafhum muwafaqah ialah mafhum kesesuaikan, yaitu jika hukum yang diperoleh sesuai dengan hukum dari lafaz yang disebutkan ( manthuq ) [2]. Pengertian secara sederhana tentang mafhum muwafaqah yaitu makna yang hukumnya sama dengan mantuq ( dalil yang terdapat dalam teks).

  Misalnya dalam QS. Al Isra’ 23 .


“ Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia” ( SQ 17:23)

Dari mantuq (dalil yang disebutkan dalam nash) hukum yang dapat ditarik dari ayat ini adalah haram mengucapkan “ ah” . dari ayat ni dapat juga di gunakan mafhum ( yang di fahami ) haram hukumnya menyakiti orang tua lebih dari kata-kata “ah” terlebih memukulnya.

Seperti firman Allah:


“ sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala ( Neraka) .

Secara dalil yang disebutkan dalam nash ( mantuq ) di atas, ayat ini menjelaskan tentang haram memakan harta anak yatim, alasanya kerena larangannya karena tindakan tersebut dapat merusak atau melenyapkan harta anak yatim dengan cara yang batil. Dari keterangan diatas dapat di ketahui bahwasannya mafhum muwafaqahnya adalah larangan setiap perbuatan yang dapat merusak, dan menghabiskan harta anak yatim dengan cara yang batil..

b)      Pengertian Mafhum Mukhalafah

Mafhum Mukhalafah: Yaitu penunjukkan lafal atas sesuatu ketentuan hukum yang tidak disebutkan merupakan lawan atau kebalikan dari apa yang disebutkan oleh nash. Disebut dengan mukhlāfah karena hukum yang tidak disebutkan berlawan dengan hukum yang disebutkan.

 Dan mengenai mafhum mukhalafah itu ulama Hanafiyah tidak memandang sebagai salah satu metode penafsiran nash-nash syara atau menetapkan hukum. Alasan mereka adalah :  Banyak nash syara yang apabila diambil mafhum mukhalafahnya akan rusak pengertiannya, Sifat-sifat yang terdapat pada nash syara dalam banyak hal bukan untuk pembatasan hukum, melainkan untuk targib dan terhib, Seandainya mafhum mukhalafahnya itu dapat dijadikan hujah syara maka suatu nash yang telah menyebutkan suatu sifat tidak perlu lagi disebut nash yang menerangkan hukum kebalikan hukum dari sifat tersebut. Akan tetapi menurut jumhu ushulliyyin mafhum mukhalafah dapa dijadikan sebagai hujjah syara’.

4)      Macam-Macam Mafhum Mukhalafah

Mafhūm mukhālafah ini terdiri dari lima macam berikut ini:

a.       Mafhum Sifat

 Mafhum Sifat adalah menetapkan hukum yang dikaitkan dengan sifat yang terdapat pada lafal dan menetapkan sebaliknya bila berlawanan dengan sifat dimaksud. Contohnya, dalam surat An-Nisa’(4): 25:

“Barangsiapa diantara kamu  yang tidak mampu untuk mengawini wanita merdeka mukmin, maka ia boleh mengawini wanita beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki”.

Mantuq dari ayat ini ialah boleh menikahi hamba sahaya mukmin bila tidak mampu menikahi wanita merdeka mukmin. Mafhūm sifatnya dari ayat ini ialah tidak boleh menikahi hamba sahaya yang tidak mukmin.

Allah Berfirman QS. Al An’am 145

  ]              أو دما مسفوحا﴾       

“darah yang mengalir “

 mantuqnya mengharamkan darah yang mengalir dan mafhum mukholafahnya membolehkan darah yang tidak mengalir pada pendapat yang pertama.

Rosulullah bersabda:

في سائمة الغنم الزكاة

“Dan kambing- kambing yang digembala ada zakatnya”

Dalam hal ini mafhumnya bahwa kambing- kambing yang tidak digembala tidak wajib zakat  menurut pendapat yang pertama.

Kemudian Rosulullah bersabda :

مطل الغني ظلم

                                  

“orang kaya yang mengulur-ulur hutang maka dia telah berbuat dzalim”

Ini menunjukkan bahwa apabila orang itu fakir maka tidak dzalim pada pendapat yang kedua.

b.      Mafhūm syarat

Mafhum Syarat adalah Menetapkan hukum kebalikan dari yang disebutkan yang dikaitkan dengan syarat. Tegasnya bila syarat terpenuhi maka berlaku hukum dan bila tidak terpenuhi maka tidak dapat ditetapkan hukum sebaliknya. Contohnya firman Allah dalam surat al-Thalaq (65):  6:


“jika perempuan (yang dicerai) itu dalam keadaan hamil maka berilah nafkah mereka sampai mereka melahirkan”.

Mantuq ayat ini menetapkan bahwa wajib memberi nafkah bagi perempuan yang dicerai dengan syarat bila ia dalam keadaan hamil. Mafhūm syarat ayat ini tidak wajib memberi nafkah pada isteri yang diceraikan bila ia tidak sedang dalam keadaan hamil, ini merupakan pendapat Syafi’i, Hanabilah, dan Malikiyah. 

c.       Mafhūm al-gayah/ limit waktu

Mafhum AL-Ghoyah atau Limit Waktu adalah Menetapkan hukum yang dikaitkan dengan hinggaan atau limid waktu. Tegasnya, menetapkan lawan hukum bagi sesuatu yang tidak disebutkan melalui batasan yang terdapat pada mantuq. Contohnya ialah firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 230:


“Jika suami mentalak isterinya (talak tiga), tidak halal baginya bekas isterinya hingga bekas isterinya itu menikah dengan laki-laki lain”.

Mantuq ayat ini ialah tidak boleh menikahi isteri yang telah ditalak tiga sampai ia menikah dengan laki-laki lain. Mafhūm al-gayahnya bila bekas isteri itu telah menikah dengan laki-laki lain dan bercerai dengan laki-laki itu serta habis masa iddahnya, maka ia boleh menikah kembali dengan bekas isterinya tersebut, ini merupakan pendapat Jumhur. Sedangkan Hanafiyah tidak menganggap hokum terseut.

d.      Mafhūm al-Adad

 Mafhum Al-Adad adalah penetapan hukum yang merupakan kebalikan dari ketentuan hukum yang disebutkan dengan dikaitkan dengan jumlah atau bilangan. Contohnya dalam surat al-Nur (24): 2: 

“Pezina perempuan dan pezina laki-laki hendaklah masing-masing mereka dicambuk sebanyak seratus kali”.

Mantuq ayat ini adalah wajib hukumnya mencambuk pezina baik laki-laki maupun perempuan sebanyak seratus kali. Mafh­m adadnya ialah tidak sah cambukan terhadap pezina tersebut bila cambukannya itu lebih atau kurang dari seratus kali.

e.       Mafhūm laqab atau Mafhum Al-Ism

Mafhum Laqab atau Mafhum Al-Ism adalah  menetapkan  atau menyebutkan suatu ketentuan hukum atas suatu nama atau jenis tertentu dan tidak berlakunya hukum itu untuk sebaliknya (orang lain). Misalnya, dalam Firman Allah surat Ali Imran ayat 97:


“… mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu bagi orang yang mampu pergi ke Baitullah…”

Mantuq ayat ini menjelaskan bahwa mengerjakan haji itu adalah pergi ke baitullah di Makkah al-Mukarramah. Mafhûm laqabnya adalah tidak sah dan tidak diterima pergi menunaikan haji ke tempat lain selain ke Baitullah.

5)    Berhujjah Dengan Mafhum Mukhalafah

Di kalangan ulama sepakat untuk dapat beramal dan berhujah dengan mafhūm sifat, syarat, adat dan gayah, kecuali mafhūm laqab. Karena menurut mereka mafhūm laqab tidak mungkin kita menghasilkan ketentuan hukum kebalikannya. Ulama berbeda pendapat tentang kekuatan hukum yang ditetapkan melalui beberapa bentuk mafhum dalam kaitannya dengan teks hukum. [[3]]

1.      Jumhur ulama berpendapat bahwa nash-nash hukum memberi petunjuk tentang hukum atas sesuatu kejadian bila dikaitkan kepada sifat, syarat, bilangan atau batas waktu, mempunyai kekuatan untuk menetapkan hukum atas kejadian yang memiliki sifat, syarat, bilangan atau batas waktu tersebut. Begitu pula nash hukum tersebut mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum yang sebaliknya jika tidak terdapat sifat, syarat, bilangan atau batas waktu yang sudah berlalu. Alasan kalangan jumhur ulamaa:

a.       Yang mudah dipahami dari ungkapan bahasa Arab dan tradisi penggunaan ‘ibaratnya adalah bahwa mengaitkan sesuatu dengan sifat, syarat, bilangan dan batas waktu. Untuk menunjukkan berlakunya hukum bila terdapat kaitan tersebut ; juga menunjukkan tidak berlakunya hukum tersebut bila kaitan itu tidak terdapat dalam satu keadan.

b.      Kaitan yang terdapat dalam nash syara’ baik dalam bentuk sifat, syarat, bilangan atau batas waktu, bukanlah tanpa arti. Ia mempunyai maksud tertentu, yaitu menetapkan hukum dalam kejadian lain, kecuali bila ada penjelasan tersendiri yang menyatakan adanya maksud lain dari kaitan tersebut. Dalam keadaan demikian memang tidak berlaku mafh­m mukhalafah.

2.      Kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa nash syara’ yang menunjukkan hukum pada suatu kejadian bila dikaitkan pada suatu sifat, syarat, bilangan atau batas waktu maka mempunyai kekuatan hukum terhadap kejadian yang disebutkan sifat, syarat, bilangan atau limit waktu itu saja secara manthuq. Adapun nash hukum yang tidak ditemukan sifat, syarat, bilangan dan batas waktu maka tidak dapat diketahui hukumnya dari mafhum mukhalafahnya, tetapi harus melalui dalil lain. Hal ini berarti kita tidak dapat menetapkan hukum apapun hanya melalui  mafhûm mukhâlafah saja. Adapun yang menjadi alasan dari kalangan Hanafiyah adalah:

a.       Tidaklah umum dalam ungkapan bahasa arab bahwa mengaitkan hukum dengan sifat, syarat, bilangan atau limit waktu berarti menunjukkan berlakunya hukum ketika ada kaitannya itu, dan hukum tidak berlaku bila kaitan itu tidak ada. Cukup banyak ungkapan bahasa arab yang dikaitkan dengan salah satu dari kaitan itu (sifat, syarat, bilangan dan limit waktu) tetapi tidak mengandung daya mahfûm (tersirat). Umpamanya firman Allah yang berikut ini:

يـايـهـاالـذ يـن امـنـوا  لا تـا كلـوا الـربــوا ا ضـعـا فــا مـضا عـفـة ...

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba’ secara berlipat ganda…”

Mantuq ayat ini, larangan riba’ diberi kaitan dengan sifat berlipat ganda. Meskipun demikian riba’ tetap saja haram sekalipun dilakukan tidak dengan cara berlipat ganda.

b.     Banyak nash syara’ yang menunjukkan suatu hukum yang diberi kaitan dengan suatu kait, namun hukum itu tetap saja berlaku meskipun kaitan itu tidak ada. Shalat dalam perjalanan tetap dapat diqashar meskipun orang yang melakukannya tidak lagi dalam keadaan takut diserang dalam peperangan, padahal kebolehan qashar shalat itu diberi syarat kalau takut mendapat serangan dari orang-orang kafir. Allah berfirman dalam surat al-Nisa’ (4): 101:


“Bila kamu melakukan perjalanan di atas bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat bila kamu khawatir diserang oleh orang-orang kafir…”

Bila mengamalkan mafhûm mukhâlafah dari ayat ini tentu tidak boleh lagi mengqashar shalat di waktu tidak ada lagi peperangan. Qashar shalat masih berlaku meskipun peperangan tidak ada lagi, berarti mafhûm mukhlâfah tidak diamalkan dalam pemahaman ayat ini.

6)      Syarat-Syarat Mafhum Mukhalafah

Ulama yang membolehkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah mengemukakan beberapa syarat dalam menggunakan mafhum mukhalafah sebagai hujjah. Syarat tersebut:

1.      Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq: Q. S Isra’(17): 31:


“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan”

Mafhumnya, kalau bukan karena takut kemiskinan di¬bunuh, tetapi mafhum mukhalafah ini berlawanan dengan dalil manthuq, ialah: Q.S Isra’(17): 33)


“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”

Contoh yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah: Q.S Isra (17): 23


“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia”

Yang disebutkan, hanya kata-kata yang kasar mafhum mukhalafahnya boleh memukuli. Tetapi mafhum ini berla¬wanan dengan mafhum muwafaqahnya, yaitu tidak boleh memukuli.

2.      Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.

Contoh: Q.S An-Nisa’ ayat 23

“Dan anak tirimu yang ada dalam pemeliharaanmu”

Dan perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam peme¬liharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan, se-bab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.

3.      Yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan.

Contoh:

“Orang Islam ialah orang yang tidak mengganggu orang-¬orang Islam lainnya, baik dengan tangan ataupun dengan lisannya (Hadits)”.

Dengan perkataan “orang-orang Islam (Muslimin) tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan Islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai di antara orang-orang Islam sendiri.

4.      Yang disebutkan (manthuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain.

Contoh: Q.S Al-Baqarah ayat 187

“Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di masjid”

Tidak dapat dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri. [[4]]

BAB III

KESIMPULAN

Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa di kalangan Ulama Ushul terdapat perbedaan dalam memahami dan melihat lafal nash dan cara penunjukkan dilalahnya dalam kaitannya dengan kesimpulan hukum yang akan diambil atau ditetapkan. Perbedaan ini bukan saja dari segi penyebutan istilah yang digunakan, tetapi juga mereka berbeda dalam hal pengamalan atau penerapannya.

Jika kalangan Hanafi membagi dilalah lafal nash kepada empat macam bentuk dilâlah, yaitu ; ‘ibârat nash, isyârat al-nash, dilâlat al-nash dan iqtidlâ’ al-nash, maka kalangan Syafe’i membaginya kepada dua macam, yaitu ; dilâlat manthûq dan dilâlat mafhûm. Dilihat mafhûm dibagi pula kepada dua macam yaitu ; mafhûm muwâfaqah dan mafhûm mukhâlafah. Sebetulnya bila dicermati antara istilah yang digunakan oleh Hanafi dan Syafe’i, sekalipun berbeda, tetapi dari segi maksudnya ada kesamaannya. Jika Hanafi menyebut dilâlat ‘ibârat al-nash, maka Syafe’i menyebutnya dengan dilâlat manthûq.

Adapun dilâlat  isyârat al-nash, dilâlat al-nash dan iqtidlâ’ al-nash pada dasarnya sama dengan mafhûm. Hanya saja Syafe’i membedakan atau membagi dilâlat mafhûm kepada muwâfaqah dan ‘mukhâlafah. Terhadap mahfûm mukhâlafah ini memang terjadi perbedan pendapat antara Hanafi dan Syafe’i, terutama di dalam kehujahan dan pengamalannya, seperti telah diuraikan di atas.

[1] Amir Syarifudin “ Ushul Fiqh” Jakarta Timur, h 143..

[2] . Modul ushul fiqh “http://www.scribd.com/doc/51198325/32/Macam-macam-Mafhum”

[3] Amir Syarifuddin, Ibid., h. 152

[4] http://ridwan202.wordpress.com/2008/08/14/mantuq-dan-mafhum-dalam-ilmu-ushul-fiqh/

Posted By Ey-NhA SwEetBluE'S_92_find me to path!11.20

Maqashid Syariah



Oleh: Ena Kusumawati Mardia Ningsih

Membahas tentang tujuan hukum Islam maka tidak bisa lepas dari teori dan konsep tentang maqasid al-syariah dalam Islam. Teori ini telah berkembang sejak awal turunnya wahyu, dalam arti tujuan dan maksud dari adanya syariah (agama Islam) telah menyatu dengan berbagai aturan yang ada di dalam wahyu tersebut, baik wahyu tersebut dalam bentuk Al-Qur’an maupun Al-Hadits.

1.      Pengertian

Secara etimologi, term Maqashid Asy-Syariah berasal dua kata yaitu kata maqashid dan al-syariah. Maqasid adalah jamak dari yang berasal dari fiil قصد yang berarti mendatangkan sesuatu, juga berarti tuntutan, kesengajaan dan tujuan.

Secara etimologis kata Syari’ah berakar kata syara’a (ع ر ش) yang berarti “sesuatu yang dibuka secara lebar kepadanya”. Dari sinilah terbentuk kata syari’ah yang berarti “sumber air minum”. Kata ini kemudian dikonotasikan oleh bangsa Arab dengan jalan yang lurus yang harus diikuti.

Secara terminologis, Muhammad Ali al-Sayis mengartikan syari’ah dengan jalan “yang lurus”. Kemudian pengertian ini dijabarkan menjadi: “Hukum Syara’ mengenai perbuatan manusia yang dihasilkan dari dalil-dalil terperinci”. Syekh Mahmud Syaltut mengartikan syari’ah sebagai hukum- hukum dan tata aturan yang disyariatkan oleh Allah bagi hamba-Nya untuk diikuti

Menurut Faruq Nabhan, secara istilah, syari’ah berarti “ segala sesuatu yang disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Sedangkan menurut Manna al-Qaththan, syari’ah berarti segala ketentuan yang disyariatkan bagi hamba-hamba-Nya, baik menyangkut aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalat.

Dari pengertian yang diungkapkan oleh para ahli dapat dirumuskan bahwa syari’ah adalah aturan-aturan yang berkenaan dengan prilaku manusia, baik yang berkenaan dengan hukum pokok maupun hukum cabang yang bersumber dari al-Quran dan hadis Nabi saw.

Namun demikian, perlu difahami bahwa meskipun syari’at Islam itu tidak berubah, tetapi dapat diterapkan dalam berbagai situasi dan kondisi, sebab petunjuk-petunjuk yang dibawakannya dapat membawa manusia kepada kebahagiaan yang abadi.

Tujuan-tujuan syariat dalam Maqashid al-Syari’ah menurut al-Syatibi ditinjau dari dua bagian.Pertama, berdasar pada tujuan Tuhan selaku pembuat syariat. Kedua, berdasar pada tujuan manusia yang dibebani syariat. Pada tujuan awal, yang pertama, berkenaan dengan segi tujuan Tuhan dalam menetapkan prinsip ajaran syariat, dan dari segi ini Tuhan bertujuan menetapkannya untuk dipahami, juga agar manusia yang dibebani syariat dapat melaksanakan, juga agar mereka memahami esensi hikmah syariat tersebut.

2.         Sejarah Perkembangan Maqashid Syariah

Seperti halnya tabiat perkembangan ilmu-ilmu lain yang melewati beberapa fase mulai dari pembentukan hingga mencapai kematangannya, ilmu Maqashid Syariah pun tidak lepas dari sunnah ini. Ia tidak lahir secara tiba-tiba di dunia dan menjadi sebuah ilmu seperti saat ini, tetapi ia juga melewati fase-fase seperti di atas. Untuk lebih memudahkan dalam melihat fase perkembangan ini, maka ada dua fase dalam perkembangan ini: fase pra kodifikasi, dan fase kodifikasi.

a)   Fase Pra Kodifikasi

Maqashid syariah sebenarnya sudah ada sejak nash al Qur’an diturunkan dan hadits disabdakan oleh Nabi. Karena maqashid syariah pada dasarnya tidak pernah meninggalkan nash, tapi ia selalu menyertainya. Seperti yang tercermin dalam ayat “wa ma arsalnaka illa rahmatan lil’alamin”, bahwa Allah Ta’ala menurunkan syariatNya tidak lain adalah untuk kemaslahatan makhlukNya.

Oleh karena itu, setelah Nabi saw. wafat dan wahyu terputus, sementara persoalan hidup terus berkembang, dan masalah-masalah baru yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi menuntut penyelesaian hukum, maka para sahabat mencoba mencari sandarannya pada ayat-ayat al Qur’an maupun hadits. Jika mereka tidak menemukan nash yang sesuai dengan masalah tadi pada al Qur’an maupun hadits, maka mereka akan berijtihad mencari hikmah-hikmah dan alasan dibalik ayat maupun hadits yang menerangkan tentang suatu hukum, jika mereka menemukannya maka mereka akan menggunakan alasan dan hikmah tersebut untuk menghukumi persolan baru tadi.

Pada umumnya, para sahabat tidak mengalami kesulitan dalam menghukumi suatu persoalan baru yang muncul, karena mereka sehari-hari telah bergaul dengan Rasulullah saw. Mereka mengetahui peristiwa-peristiwa yang menjadi sebab diturunkannya sebuah ayat, mereka melihat bagaimana Nabi. menjalankan sesuatu atau meninggalkannya dalam situasi dan kondisi yang berlainan. Mereka mengerti alasan kenapa Nabi saw. lebih mengutamakan sesuatu dari pada yang lain dan seterusnya, yang hal ini semua pada akhirnya mengkristal dan melekat dalam diri mereka hingga kemudian membentuk rasa dan mempertajam intuisi serta cara berpikir mereka seuai dengan maqashid syariah.

Di antara peristiwa-peristiwa baru yang muncul ketika masa sahabat dan tidak terjadi pada saat Nabi saw masih hidup antara lain; sebuah kisah tentang sahabat Umar ra. yang mendengar bahwa sahabat Hudzaifah telah menikah dengan seorang perempuan Yahudi, kemudian sahabat Umar ra meminta sahabat Hudzaifah untuk menceraikannya. Karena sahabat Hudzaifah mengetahui bahwa pernikahan dengan ahli kitab diperbolehkan, maka iapun bertanya kepada sahabat Umar ra, a haramun hiya? (apakah perempuan itu haram bagi saya?). Sahabat Umar ra. kemudian menjawab: tidak. Tapi saya kuatir ketika sahabat-sahabat lain melihat kamu menikahi perempuan Yahudi tersebut, mereka akan mengikutimu, karena pada umumya perempuan-perempuan Yahudi lebih cantik parasnya, maka hal ini bisa menjadi fitnah bagi perempuan-perempuan muslim, serta menyebabkan munculnya free sex dan pergaulan bebas dalam masyarakat karena banyaknya perempuan muslim yang tidak laku.

Contoh lain; kesepakatan para sahabat untuk melarang Abu Bakar ra bekerja dan berdagang untuk mencari nafkah bagi keluarganya ketika ia menjabat sebagai khalifah. Mereka bersepakat untuk mencukupi kebutuhan hidup Khalifah serta keluarganya dari uang negara, demi kemaslahatan rakyat sehingga ia tidak sibuk memikirkan urusannya sendiri dan menterlantarkan kepentingan rakyatnya. Contoh lain lagi, suatu waktu, Umar ra menjumpai orang yang menjual dagangannya di pasar dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga umum. Maka ia kemudian mengancam orang tersebut dengan mengatakan; terserah kamu mau memilih, apakah barang daganganmu kamu naikkan seperti harga umum di pasar ini, atau kamu pergi membawa barang daganganmu dari pasar ini . Hal ini dilakukan Umar ra karena untuk menjaga stabilitas harga dan kemaslahatan umum.

Dan masih banyak lagi contoh lain seperti pembukuan al Qur’an, pembuatan mata uang dan sebagainya, yang mencerminkan kelekatan para sahabat dengan maqashid syariah.
Begitu pula ketika masa tabi’in, mereka bergerak dan melangkah pada jalan yang telah dilalui oleh guru-gurunya yaitu para sahabat. Sehingga corak yang terlihat dalam penggunaan maqashid syariah untuk menyelesaikan masalah-masalah baru pada masa ini masih sama dengan masa sebelumnya.

Misalnya tentang masalah tas’ir (penetapan harga untuk menjadi patokan umum) ketika harga kebutuhan-kebutuhan naik. Rasulullah saw. sendiri enggan menetapkan harga meskipun waktu itu harga-harga naik, dengan memberi isyarat bahwa tas’ir mengandung unsur tidak rela dan pemaksaan terhadap orang untuk menjual harganya.

Namun, Sa’id bin al Musayyab, Rabi’ah bin Abdul Rahman dan lain-lain mengeluarkan fatwa boleh tas’ir dengan alasan kemaslahatan umum, serta menjelaskan alasan keengganan Rasul untuk tas’ir adalah tidak adanya tuntutan yang mendesak waktu itu, karena naiknya harga-harga di masa Nabi lebih dipicu oleh perubahan kondisi alam, yaitu kemarau panjang yang terjadi waktu itu. Sementara pada masa tabi’in, kenaikan harga dipicu oleh merebaknya penimbunan barang, kerakusan para pedagang, serta melemahnya kecenderungan beragama, sehingga hal ini menuntut penetapan harga umum untuk menjaga keseimbangan dan menghindari praktek penimbunan. Masih banyak contoh yang lain yang dilakukan oleh para tabiin. Sayangnya, pemahaman yang dimiliki para tabi’in dalam menggunakan maqashid syariah tidak dibarengi dengan kesadaran mereka untuk membukukan ilmu ini sehingga menjadi khazanah umat berikutnya agar mudah dipelajari.

b)   Fase Kodifikasi

Menurut al Raisuni; barangkali orang yang paling awal menggunakan kata maqashid dalam judul karangannya adalah al Hakim al Tirmidzi (w. 320 H), yakni dalam bukunya al Shalatu wa Maqasiduha. Tapi jika kita menelusuri karangan-karangan yang sudah memuat tentang maqashid syari’ah, maka kita akan menemukannya jauh sebelum al Tirmidzi. Karena Imam Malik (w. 179 H) dalam Muwattha’nya sudah menuliskan riwayat yang menunjuk pada kasus penggunaan maqashid pada masa sahabat.

Kemudian setelah, itu diikuti oleh Imam Syafi’i (w. 204 H) dalam karyanya yang sangat populer al Risalah, dimana ia telah menyinggung pembahasan mengenai ta’lil ahkam (pencarian alasan pada sebuah hukum), sebagian maqashid kulliyyah seperti hifzhu al nafs dan hifzhu al mal, yang merupakan cikal bakal bagi tema-tema ilmu maqashid. Setelah Imam Syafi’i, muncul al Hakim al Tirmidzi, disusul Abu Bakar Muhammad al Qaffal al Kabir (w. 365H) dalam kitabnya Mahasinu al Syariah, yang mencoba membahas alasan-alasan dan hikmah hukum supaya lebih mudah dipahami dan diterima oleh manusia.

Kemudian datang setelahnya al Syaikh al Shaduq (w. 381H) dengan kitabnya Ilalu al Syarai’ wa al Ahkam, yang mengumpulkan riwayat-riwayat tentang ta’lilu al ahkam dari ulama-ulama Syiah, dan al ‘Amiri (w. 381H) dalam kitabnya al I’lam bi Manaqibi al Islam, meskipun kitab ini membahas tentang perbandingan agama, namun ia menyinggung tentang Dlaruriyyat al Khams (lima hal pokok yang dijaga dalam agama, yaitu; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) yang merupakan tema pokok dalam ilmu maqashid syariah.

Setelah itu datang Imam Haramain (w. 478H) dalam kitabnya al Burhan yang menyinggung tentang dlaruriyyat, tahsiniyat dan hajiyat, yang juga menjadi tema pokok dalam Ilmu Maqashid. Kemudian datang Imam Ghazali (w. 505H) yang membahas beberapa metode untuk mengetahui maqashid, dan menawarkan cara untuk menjaga maqashid syariah dari dua sisi al wujud (yang mengokohkan eksistensinya) dan al ‘adam ( menjaga hal-hal yang bisa merusak maupun menggagalkannya).

Kemudian imam al Razi (w. 606H), lalu imam al Amidi (w. 631H), dan ‘Izzuddin bin ‘Abd al Salam (w. 660H), kemudian al Qarafi (w. 684H), al Thufi (w. 716H), Ibnu al Taimiyyah (w. 728H), Ibnu al Qayyim al Jauziyyah (w. 751H), baru setelah itu disusul oleh imam al Syatibi. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa dalam ilmu maqashid syariah, imam Syatibi melanjutkan apa yang telah dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya. Namun apa yang dilakukan oleh imam Syatibi bisa menarik perhatian banyak pihak karena ia mengumpulkan persoalan-persoalan yang tercecer dan dibahas sepotong-sepotong oleh orang-orang sebelumnya menjadi sebuah pembahasan tersendiri dalam kitabnya al Muwafaqat dimana ia mengkhususkan pembahasan mengenai maqashid ini satu juz (yaitu juz dua) dari empat juz isi kitabnya. Ia juga mengembangkan dan memperluas apa yang telah dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya mengenai maqashid ini, juga menyusunnya secara urut dan sistematis seperti sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sehingga lebih mudah untuk dipelajari.

Hal inilah yang menjadi kontribusi signifikan imam Syatibi dalam ilmu maqashid syariah, sehingga amal yang dilakukannya menyadarkan banyak pihak tentang pentingnya maqashid ini, serta memberi inspirasi banyak orang untuk membahas maqashid syariah ini lebih jauh, hingga Ibnu ‘Asyur (w. 1393H) pada akhirnya mempromosikan maqashid syariah ini sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri.

  3.      Macam-macam maqashid al-syari’ah

A.    Memelihara segala sesuatu yang dharuri bagi manusia dalam kehidupannya

Urusan yang dharuri iru adalah segala sesuatu yang diperlukan untuk hidup manusia yang apabila tidak diperoleh akan mengakibatkan rusaknya sendi-sendi kehidupan sehingga akibatnya akan timbul kekacaunan.[5]

Urusan yang dharuri itu ada 5 macam yaitu:

a)     memelihara agama (Hifzh Al-din)

            Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dapat dibedakan menjadi tga peringkat:

ð  peringkat dharuriyat

Yaitu: memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan, yang termasuk dalam peringkat primer, seperti melaksankan sholat lima waktu, kalau sholat itu diabaikan maka akan terancam eksistensi agama.

ð peringkat hajiyyat

Yaitu mewlaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan , seperti sholat jamak dan qashar bagi orang yang sedang berpergian, jika ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak mengancam eksistensi agama namun hanya akan mempersulit bagi orang tersebut.

ð Peringkat tahsiniyyat

Yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia. Misalnya menutup aurat, membersihkan badan dan lain-lain.

b)      Menjaga Jiwa(Hifz Al Nafs)

Juga terbagi kedalam tiga bagian:

ð tingkat dharuriyat

Seperti memenuhi kebutuhan pokok  berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Jika ini diabaikan maka akan terancam hidup manusia itu sendiri.

ð Tingkat hajiyyat

Seperti diperbolehkan berburu binatang utuk menikmati makanan yag lezat dan halal, tapi jia ini diabaikan maka tidak akan mengancam hidup tetapi hanya mempersulit hidupnya.

ð tingkat tahsiniyyat

Seperti ditetapkanya tata cara makan dan minum. Jika ini tidak terlaksana maka tidak akan mengancam eksistensi jiwa dan juga tidak akan mempersulit kehidupan seseorang.

c)      memelihara akal (Hifzh al-aql)

Dilihat dari segi kepentingannya maka dapat dibedakan menjadi tiga pula yaitu:

ð tingkat dharuriyat

seperti diharamkan minuman keras. Jika ini tidak diindahkan maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.

ð tingkat hajiyyat

seperti dianjurkan menuntut ilmu. Sekiranya hal itu tidak dilakukan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit seseorang dalam kaitanya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.

ð tingkat tahsiniyyat

menghidarkan diri dari mengkhayal ataumendengarkan sesuatu yan tidak berfaidah. Hal ini erat kaitanya denganetika dan tidak akan mengancameksisitensi akal secara langsung.

d)     memelihara keturunan (Hifzh al-Nasl)

           Ditinjau dari segi kebutuhannya dapat dibedakan menjadi tiga bagian yakni:

ð  tingkat dharuriyat

seperti disyariatkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan maka eksistensi keturunan akan terancam.

ð tingkat hajiyyat

seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu akad nikah maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl.

ð tingkat tahsiniyyat

Seperti disyariatkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Jika hal ini diabaikan maka tidak akan mengancam eksisitensi keturunan dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan.        

e)     Memelihara Harta (Hifzh  al-Mal)

Dilihat dari segi kepentingannya, maka dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu:

ð tingkat dharuriyat

seperti syariat tentang cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan ini dilanggar maka akibatnya akan terancam eksistensi harta.

ð tingkat hajiyyat

seperti jual beli dengan cara salam. jika ini tidak dipakai maka hanya akan mempersulit orang yang memerlukan modal.

ð tingkat tahsiniyyat

seperti ketentuan tentang menghindarkan diri daripengecohan atau penipuan. Hal ini juga berpengaruh pada sah tidaknya jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat kedua dan pertama.

B.  Menyempurnakan segala yang dihayati manusia

Urusan yang dihayati manusia itu ialah:segala sesuatu yang diperlukan manusia untuk memudahkan urusan dan menangguhkan kesukaran.

 C. Mewujudkan keindahan bagi perseorangan dan bagi masyarakat.

Yang dikehendaki dengan urusan–urusan yang mengindahkan ialah: segala yang diperlukan oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan dan keseragaman hidup. Apabila tuntutan ini terpenuhi maka tidak akan mengalami kerusakan peraturan hidup. Contohnya dalam soal akhlak dan adat istiadat.

4. Tingkatan maqashid al-syari’ah.

1). Kebutuhan dharuriyat

            Ialah: tingkatan kebutuhan yang harus ada atau disebut degan kebtuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka akan terancam keselamatan umat manusia.

            Menurut Al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori kebutuhan dharuriyat ini yaitu: seperti yang telah disebutkan diatas, yakni: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan harta. Untukmemelihara lima pokok inilah syariat islam diturunkan.

2). Kebutuhan Hijayat

            Kebutuhan Hijayat ialah: kebutuhan-kebutuhan sekunder, dimana bila terwujudkan sampai mengancam keselamatan seseorang atau umat. Namun akan mengalami kesulitan sehingga syariat islam menghilangkan segala kesulitan itu, yaitu dengan adanya hukum rukhsyah (keringanan).

            Misalnya: islam membolehkan tidak puasa bagi orang yang melakukan perjalanan dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari yang lain dan begitu juga halnya dengan orang yang sakit.

            Begitu juga dalam lapangan muamalat, yaitu: diperbolehkannya banyak bentuk transaksi yang dibutuhkan manusia, seperti: mudharabah(berniaga dengan modal orang lain dengan perjnjian bagi laba), syirkah, muzaraah dan lain-lain.

            Jadi kebutuhan hajiyat ini yaitu: kebutuhan sekunder yang bila tidak terpenuhi maka tidak sampai mengancam kemaslahatan umat, tapi akan mendatangkan kesukaran dan kesulitan.

3). Kebutuhan Tashiniyat

            Yaitu: tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi maka tidak akan mengancam salah satu dari yang lima pokok diatas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa  kebutuhan pelengkap seperti: hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata.

5.      Peranan maqashid al-syari’ah dalam pengembangan hukum

Pengetahuan tentang maqashid syaria’ah, yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi Al-Quran dan hadits. Metode istimbat seperti Qiyas, Istihsan dan masalah mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas Maqashid al-syari’ah.

 

 DAFTAR PUSTAKA

Djamil, Faturrahaman . Filsafat Hukum Islam,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1997)

Hukum islam .wordpress.com //2007/08/29/maqashidul-syari’ah/-tembolok

Abi Hasan Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Juz III (Mesir: Dar al-Fikr wa al-Nasyr wa al-Tusi, 1979).

Manna al-Qaththan, al-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam (t.tp: Muassasah al-Risalah, t.th.).

Muhammad Ali al-Sayis, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihad wa Athwaruhu (Kairo: Risalah al-Buhuts al-Islamiyah, 1970).

Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975). Muhammad Faruq Nabhan, al-Madkhal al-Tasyri’ al-Islami (Beirut: Dar al-Shadir, t.th.). Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi (Cet. VIII; Kairo: t.p, 1992).

Yusuf al-Qardawy, As-Sa’ah wa al-Murunah fi asy-Syari’ah al-Islamiyah,diterjemahkan oleh Agil Husin al-Munawar dengan judul Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam (Cet. I; Semarang: Dino Utama Semarang, 1993).

Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, juz 8, hal. 175

Imam al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, juz 1, hal. 161

Syaikh Mahmud Syaltut, Al-Islaam, 'Aqiidah wa Syarii'ah, hal. 12

Posted By Ey-NhA SwEetBluE'S_92_find me to path!11.12

Hukum Keluar Flek Sebelum Melahirkan

Label Post:



Ena Kusumawati Mardia N

            Banyak ibu-ibu muda yang menanyakan tentang flek ( bercak darah ) yang keluar dari vagina sebelum melahirkan, apakah itu termasuk darah haid, atau istihadhah, atau darah nifas ? Tentunya mereka membutuhkan jawaban yang jelas, karena masalah ini menyangkut kewajiban mereka melaksanakan ibadah sholat,  puasa dan lain-lain.
            Apa yang dimaksud dengan keluar flek?
Keluar flek atau serinhg disebut spotting adalah keluarnya sedikit bercak darah dari vagina berwarna merah atau kecoklatan, yang bisa jadi tidak sampai mengotori celana dalam. Keluarnya flek ini merupakan pendarahan ringan yang bisa terjadi kapan saja pada saat hamil, terutama pada trimester pertama. Sekitar 20% wanita hamil mengalami spotting pada trimester pertama. Keluarnya flek ini adalah sesuatu yang normal dan tidak berbahaya jika tidak disertai gejala lain, seperti nyeri di perut, pingsan atau lemas serta tidak berlangsung lama, biasanya kurang dari satu hari.
Salah satu penyebab keluarnya flek yang tidak membahayakan adalah melekatnya sel telur yang sudah dibuahi ke dinding rahim, atau karena ada perubahan hormon yang kadang-kadang terjadi di akhir kehamilan .
            Pada trisemester kedua dan ketiga, jika flek keluar, kadang penyebabnya karena luka atau infeksi pada leher rahim, atau ada kelainan pada plasenta yang menutupi leher rahim, atau plasenta terlepas dari dinding rahim, atau terjadi pelebaran leher rahim, atau karena ibu hamil sedang kecapaian, atau bahkan tanda dari keguguran.
            Bagaimana Hukum Flek ( bercak darah )  ini ?
            Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya :
Pendapat Pertama : menyatakan bahwa darah yang keluar sebelum melahirkan adalah darah rusak atau darah istihadhah. Ini adalah pendapat al-Hanafiyah ( al Kasani, Badai’ as shonai’, Beirut, Daar al Kutub al ilmiyah, juz : 1, hlm : 41 ).
Pendapat Kedua : menyatakan bahwa ini adalah darah haid. Ini adalah pendapat al-Malikiyah. (Ibnu Juzai, al Qawanin al Fiqhiyah, Kairo, Daar al hadits, 2005 ,hlm : 35 )

Pendapat Ketiga, adalah pendapat ulama Syafi’iyah : Darah yang keluar sebelum melahirkan, mempunyai dua kemungkinan ;
Pertama, darah tersebut bersambung terus dengan waktu melahirkan, maka darah tersebut dikatagorikan darah nifas.
Kedua, darah tersebut tidak bersambung dengan waktu melahirkan, tetapi terputus sebelum itu, maka darah ini tidak termasuk darah nifas. Apakah termasuk darah haid atau darah rusak ( istihadah ) ? Menurut qaul qadim ( pendapat imam Syafi’i sebelum ke Mesir ): darah tersebut adalah darah rusak (istihadah) seperti pendapat al Hanafiyah. Adapun menurut qaul jadid ( pendapat imam Syafi’i setelah di Mesir ) : darah tersebut termasuk darah haid, seperti pendapat al Malikiyah. (al Mawardi, al Hawi al Kabir, Beirut, Daar al Kutub al Ilmiyah,1994, juz : 1, hlm : 438,  as Syarbini, Mughni al Muhtaj, Beirut, Daar al Kutub al Ilmiyah, 1994, Juz 1, hlm : 277 )
Pendapat Keempat : menyatakan bahwa darah tersebut adalah rusak ( istihadhah ), kecuali jika keluar dua atau tiga hari sebelum melahirkan, maka termasuk darah nifas, tentunya harus disertai dengan tanda-tanda melahirkan seperti kontraksi. Ini adalah pendapat Hanabilah. ( Ibnu Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi,  Juz : 1, hlm : 371 )
Sebab perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini
Yang menyebabkan para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini adalah perbedaan mereka di dalam mendefiniskan darah nifas :
 Menurut al-Hanafiyah bahwa darah nifas adalah : darah yang keluar setelah melahirkan. Adapun darah yang keluar bersamaan dengan melahirkan atau sebelum melahirkan adalah darah rusak atau istihadah
Sedang menurut Malikiyah bahwa darah nifas adalah darah yang keluar ketika dan sesudah melahirkan. Adapun darah yang keluar sebelum melahirkan, menurut pendapat yang benar di kalangan mereka adalah darah haid.
Adapun menurut as- Syafi’iyah bahwa darah nifas adalah : darah yang keluar ketika dan sesudah melahirkan. Tetapi Syafi’iyah mengecualikan darah yang bersambung dengan darah haid, maka hal itu dimasukkan dalam katagori haid, karena menurut mereka, orang hamil bisa saja keluar haid darinya.
Adapun menurut Hanabilah, nifas adalah darah yang keluar karena melahirkan.       
            Sebagian ulama menyatakan bahwa darah flek ini, jika keluar sebelum melahirkan tanpa disertai dengan kontraksi atau tanda-tanda melahirkan, maka dihukumi sebagai darah yang rusak ( darah istihadha ), maka hendaknya dia membersihkannya seperti membersihkan najis dari badannya, kemudian tetap melakukan sholat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya. Tetapi jika keluarnya flek tersebut disertai kontraksi sebagai tanda mau melahirkan, maka dikatagorikan darah nifas sehingga dia wajib meninggalakan sholat dan puasa serta ibadah-ibadah yang disyaratkan di dalamnya suci.
Untuk sifat kehati-hatian, kita mengambil pendapat yang menyatakan bahwa darah flek yang keluar sebelum melahirkan selama tidak diikuti proses kelahiran yang sebenarnya, dikatagorikan darah istihadah, walaupun kadang-kadang disertai dengan kontraksi atau adanya pembukaan pada tempat keluarnya anak, seperti pembukaan pertama, kedua dan seterusnya. Karena kadang sudah ada kontraksi dan pembukaan pertama, namun tidak terjadi kelahiran kecuali setelah satu atau dua minggu sesudahnya. Alangkah jauh jaraknya dengan waktu kelahiran, tentunya hal ini sangat susah diterima sebagai darah nifas.
Batasan sebelum melahirkan itu berapa hari ? Ulama Hanabilah sebagaimana yang telah disebut di atas, menyebutkan jika darah tersebut keluar dua atau tiga hari sebelum melahirkan, maka termasuk darah nifas. Tetapi batasan tersebut tidak mempunyai landasan yang kuat, maka yang lebih tepat adalah jika keluarnya flek tersebut bersambung dengan proses kelahiran yang sesungguhnya, seperti keluar darah flek pada pagi hari langsung bersambung terus dengan kontraksi yang luar biasa kemudian terjadi kelahiran pada siang atau sore harinya, maka darah flek tersebut bisa dikatagorikan darah nifas, karena bersambung secara utuh dengan proses kelahiran.   
Oleh karenanya, wanita hamil yang keluar darah flek yang tidak bersambung secara utuh dengan proses kelahiran, hendaknya dia membersihkan darah tersebut dan wudhu ketika hendak melakukan sholat, dan boleh dia membaca al Qur’an, dan melaksanakan puasa sebagaimana biasanya. Karena pada asalnya, ibadah adalah sesuatu yang wajib dia kerjakan secara yakin, dan tidak boleh meninggalkannya kecuali dengan sesuatu yang yakin juga, yaitu ketika benar-benar telah melahirkan. Selama darah tersebut ada kejelasan, maka tidak boleh menjadikannya untuk meninggalkan sholat serta ibadah-ibadah lainnya.
Bagaimana jika seorang wanita yang hamil mengira bahwa darah flek yang keluar adalah darah nifas, tetapi ketika dia sudah terlanjur meninggalkan sholat selama seminggu atau lebih, ternyata proses kelahiran tidak kunjung datang ? Jawabannya bahwa dia berkewajiban untuk mengqadha’ sholatnya yang ditinggalkan tersebut paa hari-hari lainnya setelah dia melahirkan dan darah nifasnya sudah berhenti. Wallahu A’lam.
 






Posted By Ey-NhA SwEetBluE'S_92_find me to path!10.57

Silahkan berkomentar "anda sopan kami segan"