Jumat, 07 Februari 2014

HADITS KE-4 DARAH HAIDH YANG MENPEL DI PAKAIAN

Label Post:

بسم الله الرحمن الرحيم
Hadits Dirosah Maktabiyah
Oleh: Enakusumawati Mardia ningsih

أَخْبَرَنَا أَبُو سَعِيدٍ : يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى الإِسْفَرَائِينِىُّ أَخْبَرَنَا أَبُو بَحْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِىُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْمُنْذِرِ عَنْ جَدَّتِهَا أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِى بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ دَمِ الْحَيْضِ يُصِيبُ الثَّوْبَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« حُتِّيهِ ثُمَّ اقْرُصِيهِ بِالْمَاءِ ثُمَّ رُشِّيهِ وَصَلَّى فِيهِ ».
A.     Ma’na Hadits
Dikabarkan kepada kami dari Abu Sa’id : Yahya bin Muhammad bin  Yahya Al-israiniyu dari Abu Bahrin Muhammad bin Hasan dari Bisyru bin Musa dari Al-Humaidi dari Sufyan bin U’yainah dari Hisyam bin ‘Urwah dari Fathimah binti Al-mundziri dari kakeknya  Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shidiq RadhiAllahu ‘Anhuma: Sesungguhnya ada seorang wanita yang bertanya kepada Rasulullah Shalallahu’Alihi Wasalam tentang darah haidh yang mengenai pakaian, Rasulllah bersabda: Gosoklah, kemudian keriklah dengan kuku, kemudian percikanlah degan air dan sholatlah dengan kain terebut. (H.R An-Nasai).[1]
A.     Sarh Hadits
Gosoklah kain tersebut, kemudian basahi & basuhlah dgn air, setelah itu shalatlah dengannya. Ia berkata; Dalam bab ini juga ada riwayat dari Abu Hurairah & Ummu Qais binti Mihshan. Abu Isa berkata; Hadits Asma tentang mencuci darah haid derajatnyahasanshohih.
Para ulama telah berbeda pendapat tentang darah yg mengenai kain lalu dipakai shalat sebelum dicuci. Sebagian ulama dari tabi'in berkata; Apabila darah tersebut seukuran (sebesar) dirham, lalu ia mengenakannya sebelum dicuci, maka ia harus mengulangi shalatnya. Sedangkan sebagian yg lain berkata; Apabila darah itu lebih besar dari ukuran satu dirham, maka ia harus mengulangi shalatnya. Pendapat ini dipegang oleh Sufyan Ats Tsauri & bin Al Mubarak. Namun sebagian ulama yg lain dari kalangan tabi'in & selainnya tak mewajibkan untuk mengulangi shalatnya, meskipun darah itu lebih banyak (besar) dari uang dirham. Pendapat ini dipegang oleh Ahmad & Ishaq. Syafi'i berkata; Wajib mencucinya meskipun darahnya kurang dari seukuran uang dirham. Dan Ia berpegang teguh dengan itu.[2]
B.     Derajat Hadits
Status Hadits ini menurut An-Nasai Hadits Shohih.
C.    Fawaid Hadits
1)      Najisnya darah haidh, dan tidak dimaafkan meskipun sedikit, maka harus dibersihkan dari badan, pakaian, dan yang lainnya, sebab Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyuruh untuk mencucinya, sebagaimana kebiasaan beliau dalam menghilangkan najis-najis;
2)      Sesungguhnya menghilangkan najis dari badan, pakaian, dan tempat adalah syarat sahnya shalat; maka tidak sah shalat jika masih ada najis padahal ia mampu untuk menghilangkannya. Oleh karena itu, beliau menyuruh untuk menghilangkannya sebelum mengerjakan shalat;
3)      Wajibnya mengerok darah yang mengering agar hilang, lalu dikerok lagi dengan jari yang sebelumnya dibasahi air, kemudian mencucinya sehingga hilang semua sisa-sisa najisnya. Demikian urut-urutan tata-cara menghilangkan najis yang sudah mengering. Sebab jika urut-urutan tersebut dibalik, maka justeru akan menyebar najisnya, bagian yang tadinya tidak najis justeru malah ikut menjadi najis;
4)       Bolehnya shalat dengan pakaian bekas kena darah haidh, sebab jika sudah dibersihkan dengan 3 tahapan tersebut secara benar, maka menjadi suci kembali. Adapun badan dan keringat wanita yang sedang haidh, maka tetap suci. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak menyuruh untuk mencuci pakaian yang dipakai oleh wanita haidh kecuali sekedar yang terkena darah haidh tersebut;
5)      Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: “kemudian shalatlah dengan pakaian tersebut”, merupakan dalil bahwasannya najis yang sudah kering tidak bisa dibersihkan/disucikan kecuali dengan 3 tahapan tersebut. Jika 3 tahapan tersebut tidak dilakukan secara benar, maka tetap tidak suci, najis, dan tidak sah shalat dengannya; Adapun darah manusia pada umumnya – dan turunannya semisal nanah– yang keluar dari badan, maka jumhur/mayoritas ulama –bahkan ada hikayat ijma’ ulama– ia adalah najis akan tetapi dimaafkan jika sedikit. Maka, berbeda antara darah haidh dan darah istihadhah, tidak dimaafkan adanya darah haidh dan istihadhah meskipun sedikit;
6)       Hadits ini menjadi dalil bahwa yang wajib hanyalah menghilangkan najisnya saja, tidak ada syarat berapa kali dalam mencucinya, apabila sekali basuh sudah hilang maka bekas tersebut sudah suci; inilah yang rajih/kuat dari berbagai pendapat ulama. Tentang ini akan kami paparkan insya Allah.
7)       Sebagian ulama –diantaranya adalah ulama Hanabilah– menyatakan boleh mengganti dzat pencuci najis dengan selain air.
Tidak boleh mencuci dari najis kecuali dengan air, dengan dzat lain tidak cukup, baik dikerok, lalu dikerok dengan sesuatu yang basah, atau dijemur, diangin-anginkan. Mereka mengatakan: “Sesungguhnya air adalah yang sudah ditentukan oleh syariat untuk menghilangkan najis, tidak dengan yang lain, meskipun dzat lain lebih kuat dalam menghilangkan najis. Oleh karena itu, nash menyebut air sebagai dzat pencuci najis. Dan inilah pokok dalam menyucikan dari najis, jika ada dzat lain yang bisa, tentu akan disebutkan oleh kitab dan sunnah.
Adapun Syaikhul Islam ibn Taimiyah, beliau berpandangan bahwa mensucikan sesuatu dari najis terkadang bisa dengan air, adapun orang yang berpandangan harus dengan air dan selain air tidak cukup, maka ia harus menunjukkan dalilnya, padahal tidak ada dalil yang menguatkan pandangan mereka ini. Dan di dalam hadits ini disebutkan air tidak serta-merta berarti harus dengan air saja, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah membolehkan penggunaan air dalam menghilangkan najis, seperti dalam masalah istijmar, juga dalam masalah ujung bawah pakaian muslimah: “Tersucikan dengan apa-apa yang tersentuh berikutnya oleh ujung pakaian tersebut”. HR. Tirmidzi 143, dan sabda beliau tentang sandal “gosoklah dengan debu, karena debu bisa mensucikannya.” HR. Abu Daud 386. Dan inilah yang benar, wallahu a’lam.[3]





[1] . Sunan Al- Kubra Lilbaihaqi Wa Fi Dzilihi Al-Jawahir An-Naqi, Bab Izalatu Najasaht Bil Ma’i Duna, juz 1, halaman 13.
[3] . Taudhihul  Ahkam  bin  Bulughil  Maram:  Abu  Muhammad  Hissan  ibn  Shadiq

Posted By Ey-NhA SwEetBluE'S_92_find me to path!22.43

Fawaid Hadits – Faedah Hadits: Membersihkan Bekas Mani dan Darah Haidh

Label Post:

بسم الله الرحمن الرحيم

Oleh: Enakusumawati Mardia ningsih
Hadits 25. Membersihkan Bekas Mani
Dari Aisyah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mencuci mani, kemudian keluar menuju shalat dengan memakai baju tersebut, dan aku melihat bekas cuciannya”. Muttafaqun ‘alaih.
            Dalam riwayat Muslim: “Aku mengeriknya dari baju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu beliau shalat memakainya”.
Dan dalam lafadz Muslim juga: “Aku mengerik (mani) yang telah kering di bajunya dengan kuku-ku”.
            Fawaid Hadits:
1. Sucinya air mani, karena Aisyah tidak mencucinya, tapi hanya mengeriknya.
2. Adapun hadits yg menyebutkan mencuci mani, tidak menunjukkan kenajisan mani, karena sama dengan ingus, bila kena ingus, kita cuci bukan karena najisnya, tapi karena menjijikan. Dan ini hanya menunjukkan sunnah saja.
3. Istri yang shalihaat adalah yang melayani suaminya dengan baik.
4. Ibnul Mulaqqin berkata: “hadits ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama bahwa cairan lembab dari kemaluan wanita (keputihan) tidak najis.
Hadits 27. Darah Haidh Menempel di Baju
            Dari Asma bintu Abi Bakr radliyallahu ‘anhuma, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang darah haidh yang mengenai baju: “hendaklah ia mengeriknya, kemudian menguceknya dengan air, kemudian mencucinya, kemudian shalat padanya”. Muttafaq ‘alaih
            Fawaid Hadits:
1. Najisnya darah haidh walaupun sedikit.
2. Menghilangkan najis dari badan atau pakaian sebelum shalat adalah wajib.
3. Darah haidh yang kering wajib dikerik terlebih dahulu, kemudian digosok lalu dicuci.
4. Menghilangkan najis adalah dengan menghilangkan dzatnya sampai hilang bau, rasa, dan warnanya.
5. Menghilangkan najis harus dengan air, tidak mencukupi dengan selain air kecuali bila ada dalil.
            Hadits 28. Darah Haidh Menempel Tidak Bisa Hilang
            Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Khaulah berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana bila darah (haidh) tidak bisa hilang?” Beliau bersabda: “Cukup untukmu air dan tidak berpengaruh bekasnya”. HR Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Syaikh al Bani.
            Fawaid Hadits:
1. Wajibnya mencuci darah haidh yang mengenai baju dan badan.
2. Kewajiban mencucinya adalah dengan air.
3. Apabila baju telah dicuci namun masih tersisa bekasnya, maka tidak berpengaruh.
4. Islam adalah agama yang mudah, tidak memberikan beban kecuali sesuai dengan kemampuan.
5. Badan wanita haidh dan keringatnya adalah suci.

Posted By Ey-NhA SwEetBluE'S_92_find me to path!22.27

Sabtu, 01 Februari 2014

MUSLMAH NAIK OJEK, BOLEHKAH ?????

Label Post:


بسم الله الرحمن الرحيم

OLEH : ENA KUSUMAWATI MARDHIA N.
1)     Muslimah Naik Ojek, Bolehkah???
Sebenarnya belum ada mubarrir (alasan yang membolehkan) wanita naik sepeda motor bersama dengan laki-laki yang bukan mahramnya.
Masalahnya bukan hanya khalwat (berduaan), tetapi posisi duduk di atas sadel sepeda motor itu membuat pengemudi dan yang bonceng itu harus menempel. Meski masih dilapisi dengan pakaian masing-masing. Ini jelas lebih parah dari -misalnya- duduk berduaan di sebuah ruangan. Karena bila di dalam ruangan, masih ada batas jarak antara keduanya. Sedangkan naik sepeda motor, posisinya menempel dan itu sulit dihindari. Apalagi bila mengerem mendadak, maka sudah pasti sentuhan tubuh akan terjadi.
Namun kondisi tata kota seperti di Jakarta yang ibarat sebuah kampung besar memang menyulitkan orang untuk bepergian dengan hanya mengandalkan bus dan sejenisnya. Kebanyakan rumah tinggal itu adanya di dalam gang atau jalan kecil yang aksesnya ke jalan yangada angkutan umum itu relativ jauh. Sehingga masih dibutuhkan angkutan yang lebih kecil untuk menyambung transportasi masuk ke perumahan.
Dahulu ada becak yang banyak berjasa mengantarkan ibu-ibu pergi dan pulang dari pasar sekalian membawa barang belanjaan. Tapi di DKI Jakarta becak kini sudah dihapuskan dan peranannya digantikan dengan ojek.
Padahal bila dilihat dari sisi ikhtilat, becak lebih terlindungi. Karena posisi penumpang dan penarik becak itu dipisahkan sehingga berlainan tempat. Oleh karena itu bila seorang wanita naik becak, tidak akan duduk berduaan dengan penarik becak.
Dalam hal ini, maka ojek bukanlah kendaraan yang memenuhi syarat untuk dinaiki oleh penumpang wanita, karena umumnya para pengemu-di ojek itu laki-laki. Dan karena itu ikhtilat antara non-mahram ini menjadi hal yang tidak mungkin dihindari.
Sehingga kalaupun ingin dicarikan mubarrir, haruslah dengan alasan yang sangat kuat dan tingkat kedaruratannya harus jauh lebih tinggi. Menurut hemat, jarak yang 100-200 meter itu tidak bisa dijadikan alasan secara umum. Juga alasan takut terlambat sampai di tempat pun tidak bisa dijadikan alasan yang kuat. Dengan demikian, para wanita harus diupayakan sedapat mungkin untuk tidak naik ojek bila bepergian, karena sebagai kendaraan tumpangan umum bagi muslimah, ojek itu belum mencukupi syarat.
Dalam kondisi darurat memang bisa saja dilakukan, tapi darurat itu adalah sesuatu yang sifatnya sangat penting bahkan genting. Dan tentu saja darurat itu tidak terjadi setiap hari. Ini adalah pe-er dan tantangan tersendiri bagi para muslimah yang harus dicarikan jalan keluarnya dengan cara yang sebaik-baiknya

Oleh :
Ena Kusumawati MN.
----------

2).  Wanita Berkendara Dengan Pria Bukan Mahrom
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya tentang masalah ini dengan redaksi: “Bagaimana hukum seorang wanita yang berkendara dengan sopir laki-laki yang bukan mahromnya untuk mengantarkannya keliling kota? Dan bagaimana hukumnya jika beberapa wanita dengan sopir yang bukan mahrom ?”
Beliau menjawab:
Seorang wanita tidak boleh mengendarai kendaraan sendiri bersama seorang sopir yang bukan mahromnya bila tidak disertai orang lain, karena ini termasuk kategori kholwah (bersepi-sepi). Telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
Janganlah seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali ada mahromnya bersamanya” (HR. Muslim 1341)
Dalam sabda beliau lainnya menyebutkan:
“Tidaklah seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita (yang bukan mahromnya) kecuali setan yang ketiganya”. (HR. Tirmidzi 2165, Ahmad 115)
Tapi jika ada laki-laki atau wanita lain yang bersamanya, maka itu tidak apa-apa jika memang tidak dikhawatirkan terjadi fitnah. Sebab kholwah itu menjadi gugur (tidak dikategorikan kholwah) dengan adanya orang ketiga atau lebih. Ini hukum dasar dalam kondisi selain bepergian jauh (safar). Adapun dalam kondisi bepergian jauh, seorang wanita tidak boleh melakukannya kecuali bersama mahromnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw;
Tidaklah seorang wanita menempuh perjalanan jauh (safar) kecuali bersama mahromnya
(HR. Bukhori 1862 Muslim 1341)
Tidak ada perbedaan antara safar melalui jalan darat, laut, maupun udara. Wallahua’lam.





Posted By Ey-NhA SwEetBluE'S_92_find me to path!19.30

Silahkan berkomentar "anda sopan kami segan"