Rabu, 24 Desember 2014

BATASAN AURAT WANITA KETIKA KHITBAH

Label Post:


A.    PENDAHULUAN
Menikah dalam ajaran Islam bukan untuk sementara waktu tapi untuk selamanya, bukan semata untuk di kehidupan dunia tapi juga untuk kehidupan akhirat kelak. Oleh karena itu, Islam menganjurkan ummatnya yang hendak melangsungkan pernikahan untuk memilih pasangan hidupnya ini demi tercapainya tujuan asasi dari pernikahan tersebut.
Apabila seoarng laiki-laki telah bulat tekadnya untuk menikah atau mengurungkannya, maka dalam hal ini antara kedua belah pihak harus sama-sama menjaga pandangannya kecuali apabila telah terjalin hubungan yang suci yaitu setelah terjadi akad nikah. Sebelum menikah dianjurkan untuk melihat terlebih dahulu calon pasangan tersebut. Rasulullah pun menyuruh kepada para sahabat ketika hendak menikah beliau menyuruhnya untuk melihat calon istri terlebih dahulu. Akan tetap disana ada batasan-batasan ketika syari’at ketika mengkhitbahnya. Penulis akan memaparkan pendapat dari kalangan ulama’ mengenai batasan-batasan aurat wanita ketika khitbah dan menyimpulkan pendapat yang rajih.
B.     PEMBAHSAN
a.       Pengertian Khitbah
Menampakan keinginan untuk menikahi perempuan tertentu dan memberitauhkannya kepada walinya.[1]
Para ulama sepakat bahwa laki-laki yang hendak menikahi seorang wanita, maka terlebih dahulu ia harus melihat wanita tersebut. Di antara dalilnya adalah sebagai berikut:
Artinya: "Abu Hurairah berkata: "Ketika saya berada di samping Rasulullah saw, tiba-tiba datang seorang laki-laki yang menghabarkan bahwa ia akan menikahi seorang wanita dari golongan  Anshar. Rasulullah saw bersabda kepadanya: "Apakah kamu telah melihat wanita tersebut?" Lakilaki itu menjawab: "Tidak", Rasulullah bersabda: "Pergilah dan lihatlah terlebih dahulu karena pada  penglihatan-penglihatan orang Anshar itu ada sesuatu" (HR. Muslim dan Nasa'i).
Dan sabda Rasulullah:
اِذَا خَطَبَ أَحَدُ كُمْ الْمَرْأَةَ فَقَدَرَأَنْ يَرَى مِنْهَا بَعْضَ مَا يَدْ عُوْ هُ إِ لَي نِكَا حِهَا فَلْيَفْعَلْ
Artinya: Jabir berkata, bahwasannya ia pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda: "Apabila seseorang melamar seorang wanita lalu ia dapat melihat sebagian yang dapat menariknya dari wanita itu, maka lakukanlah" (HR. Abu Dawud).[2]
أُنْظُرْ إلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Lihatlah dia lebih dahulu, karena nantinya akan lebih melanggengkan mawaddah dan kasih sayang antara kalian berdua
Tidak ada hadits yang menerangkan secara terperinci tentang batasan mana saja yang boleh diperlihatkan.[3]
b.      Batasan aurat wanita ketika khitbah
Kebanyakan para ahli fiqh berpandangan bahwa seorang lelaki yang hendak mengkhitbah boleh melihat  perempuan yang hendak ia khitbah sebatas wajah dan kedua telapak tangan saja. Karena dengan melihat dua bagian tersebut dapat diketahui apa yang diinginkan; kecantikan dan halus tidaknya kulitnya. Wajah menunjukkan akan cantik dan tidaknya si perempuan, karena wajah merupakan pusat dari segala kecantikan. Sedangkan kedua telapak tangan dapat menunjukkan akan halus dan tidaknya kulit tubuhnya.[4]
Para ulama telah sepakat bahwa wanita yang dilamar boleh dilihat wajah dan telapak tangannya. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai apakah anggota badan lainnya selain wajah dan telapak tangan boleh dilihat?
Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh dilihat selain dari wajah dan telapak tangannya saja. Menurut jumhur, wajah dan tangan itu sudah cukup untuk menilai wanita tersebut. Dengan melihat wajah dapat diketahui kecantikannya, dan dengan melihat telapak tangan dapat dilihat subur dan sehat tidaknya anggota badan lainnya.
Sedangkan menurut Hanabilah, boleh juga melihat anggota lainnya yang biasa nampak seperti sikut, kedua tangan dan kedua tumit. Menurut Imam Auzai, boleh melihat apa saja yang menjadi daya tariknya selain auratnya. Sementara menurut Daud dan Ibn Hazm ad-Dhahiry, boleh melihat seluruh badannya. Hal ini karena mereka memahami redaksi hadits yang telah disebutkan di atas "Lihatlah wanita itu terlebih dahulu" secara tekstual. Sehingga mereka berkesimpulan, bahwa laki-laki yang melamar boleh melihat seluruh badannya.
a)      Wajah dan telapak tangan
Pendapat jumhur, Imam Syafi’I, Imam Malik, Ishaq.[5]
Adapun selain wajah jumhur ulama mengatakan juga dengan melihat kedua telapak tangan, lain daripada itu tidak diperbolehkan. Karena selain wajah dan telapak tangan itu aurat. Mereka menggnakan dalil dari al-Qur’an surat an-Nuur ayat ke-31, Allah SWT. Berfirman:
وَلَايُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
Dan janganlah mereka menampakan perhiasan mereka kecuali yang biasa (nampak) dari mereka”. (QS. An-Nuur: 31)
Karena khitbah adalah hal yang dierbolehkan ketika ada sebuah kebutuhan yaitu hanya pada wajah dan telapak tangan, wajah menunjukkan atas kecantikan seorang wanita dan telapak tangan merupakan tanda akan kelembutan badan.[6]
b)      Yang biasa terbuka, leher, kedua telapak kaki, kedua telapak tangan, Wajah, betis.
Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.[7]
Hadits Rasulullah saw. :
اِذَا خَطَبَ أَحَدُ كُمْ الْمَرْأَةَ فَقَدَرَأَنْ يَرَى مِنْهَا بَعْضَ مَا يَدْ عُوْ هُ إِ لَي نِكَا حِهَا فَلْيَفْعَلْ
Artinya: Jabir berkata, bahwasannya ia pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda: "Apabila seseorang melamar seorang wanita lalu ia dapat melihat sebagian yang dapat menariknya dari wanita itu, maka lakukanlah" (HR. Abu Dawud).[8]
Dan juga hadits:
Dari Muhammad bin Maslamah, dai berkata: Saya mendengar Rosulullah SAW bersabda:
إِذَا أَلْقَى اللهَ عَزَّوَجَلَّ فِى قَلِب امْرِئٍ خِطْبَةَ إمْرَأَةٍ فَلَا بَأْ سَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا
Apabila Allah menyusupkan di hati seseorang kehendak untuk meminang perempuan, maka tidak apa-apa jika dia melihatnya lebih dahulu.” (Ibnu Majah-1845)
c)      Seluruh tubuhnya yang diinginkan selain aurat
Menurut pendapat Madzhab Auza’i ada dua pendapat;
Pertama: boleh melihat semua bagian tubuh yang diinginkannya, selain aurot.
Kedua: Seorang laki-laki diperbolehkan melihat bagian daging.[9]
d)     Seluruh tubuhnya
Pendapat Ibnu Hazm, imam dawud, adh-Dhahiriyah, seluruh tubuhnya tanpa kecuali. Baik itu aurat ataupun bukan.[10]
Berdalilkan hadits berikut:
Jabir bin abdillah dia berkata, bahwa Rasulullah bersabda, apabila salah  seorang diantara kamu melamar wanita, jika dia  melihat suatu darinya yang menjadi daya tarik baginya untuk menikahinya, maka hendaklah dilakukannya, maka aku melamar seorang gadis. Kemudian Aku bersembunyi untuk memperlihatnya sehingga aku melihat sesuatu padanya hal yang menarikku menikahinya dan mengawininya.” (HR. Imam Abu Dawud, Hakim dan Baihaqi)[11]
e)      Wajah saja
Pendapat ats-Tsauri.
Dalil yang mereka jadikan hujjah adalah hadits yang menerangkan tentang waita itu adalah aurat bahkan semua yang ada pada wanita adalah aurat kecuali wajah saja.
“Abdullah bin Mas’ub  mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, “wanita adalah aurat bila ia keluar rumah, setan akan menghiasinya (dihadapan laki-laki untuk menyesatkan.” (HR. Tirmidzi)[12]
Alasan mereka adalah bahwa wajah saja itu sudah cukup menjadi bukti atas kecantikannya.[13]
f)       kedua telapak tangan, kedua telapak kaki dan muka.
Pendapat Abu Hanifah. [14]
Penadapat yang paling rajih dari perselisihan diatas adalah pada wjaah dan telapak tangan, adapun ada bagian lain yang diperlukan seperti kepala, betis itu diperbolehkan. Wallahu ‘Alam bis Shawab.
C.     PUNUTUP
Masalah batasan melihat apa-apa yang tersembunyi tidak yang menjelaskan secara terperinci atau bahan tidak ada hadits yang secara mutlak menyebutkannya. Kemudian setelah diperinci kembali maka pendapat yang menuju sebuah kebenaran adalah tidak hanya sebatas wajah dan telapak tangan saja melainkan apa-apa yag boleh dilihat oleh mahramnya maka boleh jug dilihat oleh peminang. Yang perlu digaris bawahi adalah dala.m perkara ini harus menjaga kehormatan wanita itu, kalaupn memang tidak menyukainya atau ketika ia mengkhitbahnya ia menemukan sesuatau yang merupakan aib bagi dirinya maka tidak boleh ia mneyebarkan aib atau kekurangan itu pada orang lain.
Wallahu ‘alam bis Shawwab.

Daftar Pustaka:
Abdurrahman, Abu ‘Adil bin Yusuf al-‘Azazi, Tamamul Minnah fi al-Kitab wa shohih as-Sunnah, jilid ke-3, (t.t.p, Darul Aqidah, .t.t.h)
Tafsir Lil-Bab Li Ibnil ‘Adil jilid 13, hal. 101, maktabah Syamilah
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, jilid 2
Zuhaili, Az-, Wahbah, , Fiqh Islam Wa Adilatuhu, jilid 9, cet-10( Damaskus, darul fikr, -2007 M – 1428 H)
Kitab Ahkamul Nadhar Ila Amkhtubah
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, jilid 2, (t,t,p, al-Qowaaniinu al-Fiqhiyah, t.th),
al-Isyraf li ibnil Mundzir, jilid 1
Qudamah,ibnu, Al-Mughni, jilid 9
Dawud, abu, Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, jilid 4
Ahmad, Imam, Kitab Musnad Ahmad, jilid 29, maktabah Syamilah
Tirmidzi, at-, Sunan tirmidzi, jilid 3






[1] Abu Abdurrahman ‘Adil bin Yusuf al-‘Azazi, Tamamul Minnah fi al-Kitab wa shohih as-Sunnah, jilid ke-3, (t.t.p, Darul Aqidah, .t.t.h), hal. 9
[2] Tafsir Lil-Bab Li Ibnil ‘Adil jilid 13, hal. 101 maktabah Syamilah
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 2, hal. 19
[4] Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam Wa Adilatuhu, jilid 9, cet. 10, (Damaskus: darul fikr, 2007 M – 1428 H),  hal. 34
[5] Kitab Ahkamul Nadhar Ila Amkhtubah, Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, jilid 2, (t,t,p, al-Qowaaniinu al-Fiqhiyah, t.th), hal. 4, 396, al-Isyraf li ibnil Mundzir, jilid 1, hal. 19
[6] ibnu Qudamah, Al-Mughni, , jilid 9, hal. 490
[7] Abu Abdurrahman ‘Adil bin Yusuf al-‘Azazi, Tamamul Minnah fi al-Kitab wa shohih as-Sunnah, jilid ke-3, (t.t.p, Darul Aqidah, .t.t.h), hal. 20
[8] Tafsir Lil-Bab Li Ibnil ‘Adil jilid 13, hal. 101, maktabah Syamilah
[9] Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam Wa Adilatuhu, jilid 9, cet. ke-10, (Damaskus: darul fikr, th 2007 M – 1428 H),  hal. 34
[10] Abu Dawud, Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, jilid 4, hal. 186
[11] Kitab Musnad Ahmad, jilid 29, hal. 108, maktabah Syamilah
[12] Sunan tirmidzi, jilid 3, hal. 467
[13] Abu Isa berkata, “ini hadits Hasan Gharib.” Dalam kitab sunan Tirmidzi  juz 4, hal. 406, Maktabah Syamilah
[14] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, jilid 2, (t,t,p, al-Qowaaniinu al-Fiqhiyah, t.th), hal. 396

Posted By Ey-NhA SwEetBluE'S_92_find me to path!05.11

Sabtu, 13 Desember 2014

FIQIH SHOLAT.

Label Post:


Seputar masalah niat.

Niat adalah kehendak dan tekad untuk melakukan sesuatu dan tempatnya adalah didalam hati, bahkan pada dasarnya tidak ada hubungannya dengan lisan. Dan untuk memperjelas masalah ini akan saya utarakan pendapat para Ulama’ baik madzhab Maliki, Hanafi, Syafi’I dan Hanbali.

1. Hukum melafadzkan niat sebelum shalat.
Niat merupakan syarat sahnya suatu amalan, demikian pula dengan shalat. Ia merupakan inti/induknya ibadah. Hal ini telah menjadi kesepakatan para Ulama’.
            Adapun yang menjadi permasalahan bagi kita adalah tentang pengucapannya. namun pada perkara ini tidak ada dalil syar’i yang menjelaskan bahwa niat harus diucapkan sebagaimana kebanyakan dari kaum muslimin yang melakukannya.[1]
            Dalil yang ada adalah yang mewajibkan niat sebelum melakukan suatu amalan ibadah. Sebagaiman sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam:

عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطّاب رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله يقول ,” إنّما الأعمال بالنّية و إنّما لكلّ امرئ ما نوى ...... ".
            Artinya: “Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'Anhu ia berkata: saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: Sesungguhnya suatu amalan itu tergantung dengan niatnya. Dan seseorang itu tergantung sesuai apa yang ia niatkan(di dalam hatinya)……”. [2]
            Imam an-Nawawy Rahimahullah menjelaskan bahwa tempat niat itu ada di dalam hati, maka tidak ada perintah untuk mengucapkannya. Akan tetapi disunnahkan agar lisan membantu hati untuk menghadirkannya. Dan disyariatkan pula penentuan dan pembedaannya untuk melaksanakan suatu amalan, maka tidak cukup bagi orang yang ingin shalat hanya berniat saja tanpa menentukan dan membedakan shalat apa yang akan dilaksanakannya, seperti: shalat dhuhur, ‘ashr dll. [3]
            Madzhab Syafi’i, Hambali dan Maliki bersepakat bahwa disunnahkan mengucapkan niat bagi orang yang shalat karena hal itu sebagai perhatian hati. Jika apa yang diniatkan berbeda dengan apa yang diucapkan maka hal itu tidak apa-apa, karena telah diketahui bahwa yang ditentukan pada niat itu adalah apa yang ada di dalam hati. Adapun pengucapannya dengan lisan bukan merupakan niat, akan tetapi usaha untuk perhatian hati sehingga kesalahan dalam mengucapkan tidak apa-apa selama apa yang diniatkan di dalam hati sesuai dengan apa yang diinginkan.
Madzhab Hanafi menyatakan bahwa mengucapkan niat merupakan amalan yang tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam (bid’ah) akan tetapi diperbolehkan untuk menghilangkan keraguan. [4]
Al-Imam Asy-Syafi’I berkata: was-was dalam niat sholat dan thoharoh termasuk kebodohan terhadap syareat dan membingungkan akal.[5]
Hal yang sama pula telah disampaikan oleh Imam an-Nawawy Rahimahullah bahwa Imam Syarfi’i Rahimahullah telah berkata tentang haji bahwa apabila seseorang telah berniat untuk melaksanakan haji dan umrah maka diperbolehkan walaupun tidak diucapkan, namun hal ini tidak sama dengan shalat maka harus mengucapkannya. Yang dimaksukan oleh beliau adalah mengucapkan Takbir ketika akan melaksanakan shalat bukan mengucapan niat.
            Namun orang yang shalat dengan mengucapkan niat akan tetapi belum diniatkan di dalam hati maka belum dianggap melaksanakan shalat menurut Ijma’ para Ulama’. [6]
            Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menyatakan bahwa mengucapkan niat tidak diwajibkan dan tidak pula disunnahkan menurut kesepakan para Ulama’, akan tetapi merupakan suatu amalan yang bertentangan dengan syariat Islam (bid’ah). Apabila seseorang mengucapkannya diiringi dengan keyakinan bahwa hal itu merupakan bagian dari syariat Islam maka orang tersebut sangat bodoh dan sesat (terhadap ajaran dinul Islam), dan harus dita’zir atau dihukum. Hal ini dilakukan apabila telah disampaikan pada pelakunya penjelasan dan hujjah yang jelas. Bahkan jika yang dilakukan itu dapat mengganggu orang yang shalat di sebelahnya dan dilakukan berulang-ulang maka ia berhak untuk mendapatkan hukuman yang lebih berat dan keras lagi.
            Beliau juga menyatakan bahwa kebanyakan dari kaum muslimin telah berpaling dari madzhab Imam Syafi’i Rahimahullah. Beliau menyatakan bahwa seseorang yang shalat harus mengucapkannya sebelum melaksanakan shalat. Mereka mengira bahwa yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i Rahimahullah adalah mengucapkan niat, padahal para murid atau pengikut madzhabnya (yang lebih tahu tentang beliau) membantah perkataan atau persangkaan yang mereka lakukan dengan menyatakan bahwa yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i Rahimahullah adalah mengucapkan Takbir sebelum shalat dan bukan mengucapkan niat. [7]
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menyatakan bahwa apabila Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam ingin melaksanakan shalat maka beliau mengucapkan Takbir dan tidak mengucapkan sesuatu kata pun sebelumnya, termasuk niat. Adapun kebanyakan dari kaum muslimin pada saat sekarang ini telah menyalah artikan perkataan Imam Syafi’i Rahimahullah yang mengatakan bahwa sesungguhnya shalat bukanlah seperti shaum, tidaklah seseorang yang melaksanakannya kecuali harus mengucapkannya. Mereka telah menyangka bahwa yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i Rahimahullah adalah mengucapkan niat, akan tetapi ternyata yang dimaksudkan oleh beliau adalah mengucapkan Takbir ketika akan memulai shalat. [8]

2. Lafadz usholli dan nawaitu.
           
  * Betulkah lafadz  niat (ushalli....) dalam shalat merupakan sunnah ?
Al Imam An Nawawi mengatakan Abu Abdillah Al Zubairi yang termasuk ulama madzhab syafe`I, beliau telah keliru ketika menyangka bahwa imam Syafe`I telah mewajibkan untuk melafadzkan niat. Sebab kekeliruanya itu ialah kurang bisanya menangkap dan memahami perkataan  Imam Syafe`I dengan benar. Berikut ini adalah redaksi yang diutarakan imam Syafe`I “Jika seorang berniat menunaikan ibadah haji atau umroh dianggap cukup sekalipun tidak dilafadzkan, tidak seperti shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan  " النطق "an nuthqi. Az Zubairi mengartikannya dengan melafadzkan di dalam shalat, sedangkan yang dimaksud dengan  an nuthqi di sini adalah takbir.[9]
             Imam Nawawi berkata “beberapa rekan kami berkata : “orang yang mengatakan  an nuthqi dengan melafadzkan niat dalam shalat, telah keliru, akan tetapi yang dikehendaki oleh imam Syafe`i dengan An Nuthqi adalah takbir.

Kesimpulan
Dari keterangan di atas jelaslah sudah bahwa melafadzkan niat sebelum Shalat bukan ternasuk tuntunan Rasulullah maupun para Sahabat Rasulullah, dan tidak pula perkataan ulama  yang empat (Abu Hanifah imam Malik, Syafe`I, Ahmad bin Hanbal). Namun hal tersebut bersumber dari pengikut Imam Syafe`I yang salah dalam memahami ucapan beliau yaitu An Nutqi yang makna sebenarnya yang dimaksud oleh Imam Syafe`I adalah Takbir  bukan melafadzkan niat, dan Walhasil bahwa melafadzkan niat  Ushalii .... merupakan perbuatan Bidah yang harus kita jauhi .Wallohu A`lam Bisshowab

 b.Ketika berdiri

1.      Hukum mengangkat kedua tangan ketika takbir .


            Dalam menghukumi mengangkat kedua tangan ketika takbir para Ulama’ berbeda pendapat, diantaranya yaitu :
Menurut Jumhur : Hukumnya Sunnah
Menurut Abu Dawud, Jama’ah Sahabat : Hukumnya Fardlu.
Diantara mereka juga ada yang mewajibkan ketika takbiratul Ihram saja dan ada juga yang menambahkan yaitu ketika Istiftah, ketika turun untuk rukuk dan ketika bangun dari rukuk.
            Adapun sebab mereka berselisih dalam masalah ini, yaitu mereka bersandar pada dua hadits dibawah ini:
Yang pertama: Bersandar kepada hadits Abu Hurairah Radliyallahu 'Anhu: “Bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam  berkata kepadanya: “ Bertakbirklah!”, dan beliau tidak menyuruhnya untuk mengangkat kedua tangan.”
Yang Kedua: Hadits Ibnu Umar Radliyallahu 'Anhuma

" أنه كان يرفع يديه إ ذا افتتح الصلاة ". أخرجه البخاري
Artinya: “Sesungguhnya beliau(Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam) mengankat kedua tanganya ketika membuka sholat(Takbirotul Ihram).” (HR. Bukori)[10]

 

Posisi tangan ketika takbir

            Ada beberapa posisi tangan dalam bertakbir, diantaranya :
Tangan dihadapan bahu/pundak. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam

" عن ابن عمر قال : كان رسول الله صلى الله عليه و سلم  إذا قام للصلاة رفع يديه حتي   تكون حذوي منكبيه ثم كبر, فإذا أراد أن يركع فعل مثل ذ لك, فإذا رفع من الركوع فعل مثل ذلك ولا يفعله حين يرفع رأسه من السجود ".   ( رواه مسلم )
Artinya: “Dari Ibnu Umar Radliyallahu 'Anhuma beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam apabila beliau berdiri untuk sholat, beliau mengangkat kedua tangannya sampai keduanya berada di depan kedua bahunya, kemudian beliau bertakbir. Dan apabila beliau hendak ruku’ beliau berbuat seperti itu dan apabila bangun dari ruku’ beliau juga berbuat seperti itu dan beliau tidak mengerjakan yang seperti itu ketika beliau bangun darinya”. [11]
Begitu juga menurut Madzhab Syafi’ie bahwa mengangkat kedua tangannya di depan bahunya”. [12]
            Dan disebutkan dalam hadits yang lain

" عن عبد الجبار بن وائل عن أبيه أنه أبصر النبي صلى الله عليه و سلم حين فام إلي الصلاة رفع يديه حتي كانتا بحيال منكبيه. وحاذي بإبهامه أذنيه ثم كب "ر. رواه أبو داود
Artinya: “Dari Abdul Jabbar bin Wa’il dari bapaknya Radliyallahu 'Anhuma, bahwasanya dia telah melihat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam  ketika beliau berdiri untuk shalat, beliau mengangkat kedua tangannya sampai keduanya berada di depan bahunya. Dan ibu jarinya berada di depan telinganya, kemudian beliau bertakbir”. [13]
            Maksud hadits di atas yaitu: Ibu jarinya di depan telinganya, dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjadikan ibu jarinya di depan kedua telinganya.
            Imam al-Mundzir Rahimahullah berkata: “Abdul Jabbar bin Wa’il Radliyallahu 'Anhu belum pernah mendengar dari bapaknya dan keluarganya Majhul”.  [14]
            Diriwayatkan pula dari Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar Radliyallahu 'Anhuma, bahwasanya beliau mengangkat kedua tangannya di depan pundaknya ketika Iftitah, dan selain itu beliau tidak mengerjakan. (HR. Abu Dawud) [15]

Tangan dihadapan telinganya


" عن مالك بن الحويرث أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان إذا كبر رفع يديه حتي يحاذي بهما أذنيه و إذا ركع رفع يديه حتي يحاذي بهما أذنيه وإذا رفع رأسه من الركوع, فقال : سمع الله لمن حمده فعل مثل ذلك ". ( رواه مسلم)
            Artinya: “Dari Malik Al Huwairits Radliyallahu 'Anhu: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam apabila beliau bertakbir beliau mengangkat kedua tanganya sampai keduanya berada di depan telinganya, dan apabila beliau rukuk beliau mengangkat kedua tanganya sampai keduanya berada di depan telinganya, begitu juga ketika beliau bangun dari ruku’, seraya mengucapkan: “Sami’allahu Liman Hamidah“ beliau juga mengerjakan seperti itu“. [16]
Madzhab Hanafiyah mengatakan: “Hadits yang diriwayatkan oleh Malik bin Huwairits Radliyallahu 'Anhu sebagaimana disebutkan dalam shohih muslim yaitu dengan lafadz: “Sampai keduanya dihadapan sebagian telinganya”.
            Dan diriwayatkan dari Ashim bain Kalib Radliyallahu 'Anhu dari bapaknya dari Wa’il bin Hajar Radliyallahu 'Anhu sebagaiman disebutkan dalam sunan Abu Dawud Rahimahullah dengan lafadz: ”Sampai keduanya di depan telingannya”.
Imam Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan: “Yang rajih/paling benar yaitu pendapat yang pertama, yaitu mengangkat kedua tangannya di hadapan pundaknya, karena isnadnya lebih shohih’. [17]
Imam an-Nawawi berkata: “Adapun bentuk mengangkat kedua tangan. yang masyhur di kalangan madzhab kami dan jumhur yaitu: Hendaknya mengangkat kedua tanganya di hadapan pundaknya, ujung-ujung jarinya berada di depan telinganya atau di atasnya dan ibu jarinya sejajar dengan telinga bagian bawah(tempat anting-anting) dan kedua telapak tangannya  sejajar dengan pundak’. Inilah yang dimaksud dengan berada di depan pundaknya. [18]

Kesimpulan : Hukum mengangkat kedua tangan ketika takbir yaitu: ada yang mengatakan sunnah dan ada yang mengatakan fardlu.
Posisi tangan ketika takbir ada dua yaitu :
Di depan bahu/pundak.
Di depan atau sejajar dengan telinga.

2. Posisi dan tempat-tempat disyariatkan mengangkat tangan

            Ada 4 tempat yang di dalamnya disyariatkan mengangkat kedua tangan ketika takbir, adapun tempat-tempat tersebut yaitu: ketika takbiratul ihram, ketika akan ruku’, ketika bangun dari ruku’ dan ketika bangun dari tasyahud awal. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma sebagai berikut :
عن عبدالله بن عمر رضي الله عنهما قال : رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم  إذا قام في الصلاة رفع يديه حتي يكونا حذوي منكبيه وكان يفعل ذلك حين يكبر للركوع ويفعل ذلك إذا رفع رأسه من الركوع ويقول : سمع الله لمن حمده, ولا يفعل ذلك في السجود. رواه البخاري
Artinya: “ Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'Anhu berkata: “Saya telah melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, jika beliau berdiri untuk sholat, beliau mengangkat kedua tanganya sampai keduanya dihadapan pundaknya, dan beliau juga mengerjakan seperti itu ketika bertakbir untuk ruku’, dan ketika mengangkat kepalanya dari ruku’ dan beliau mengucapkan: “Sami’allahu liman Hamidah(Allah Ta'ala maha mendengar orang yang memujinya)“. Dan beliau tidak mengerjakan seperti itu ketika beliau akan sujud.” [19]
            Imam Muslim Rahimahullah berkata: “Dan ia tidak berbuat seperti itu ketika mengangkat kepalanya dari sujud.[20]
            Imam Malik dan Asy Syafi’i menambahkan: “Mengangkat tangan ketika bangun dari tasyahud awal.” Sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sebagai berikut

" عن نافع أن ابن عمر كان إذا دخل في الصلاة كبر ورفع يديه, وا إذا ركع رفع يديه, وإذا قال :سمع الله لمن حمده رفع يديه, وإذا قام من الركعتين رفع يديه ". رواه البخاري
            Artinya: “Diriwayatkan dari Nafi’Rahimahullah, sesungguhnya Ibnu Umar Radliyallahu 'Anhuma apabila beliau masuk masjid, beliau takbir dan mengangkat kedua tangannya, dan jika beliau ruku’, beliau mengangkat kedua tangannya, dan jika beliau mengucapkan: ”Sami’allahu Liman Hamidah“, beliau mengangkat kedua tangannya, dan jika beliau bangun dari dua rakaat(tasyahud awal), beliau mengangkat kedua tangannya.”(HR. Bukhori) [21]
Ibnu Hajar Al Asyqolany Rahimahullah berkata: “Yaitu ketika bangun dari Tasyahud Awal”. [22]

Pendapat para Ulama’

Imam an-Nawawy Rahimahullah berkata: “Ijma’ ummat (para Shahabat) menyatakan: “Mustahab/sunnah mengangkat tangan ketika takbiratul ihram, adapun selain takbiratul ihram di sana banyak perbedaan pendapat”.
Abu Hanifah, Jama’ah Ahlu Kuffah Rahimahumullah menyatakan: “Tidak disukai, kecuali ketika takbiratul ihram, sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Malik Rahimahullah”.
Imam Abu Dawud Rahimahullah: “Wajib mengangkat tangan ketika takbiratul ihram”. [23]
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata dalam al-Mughni: “Kami tidak mengetahui adanya ikhtilaf atau perselisihan dalam disukainya mengangkat kedua tangan ketika membuka shalat (takbiratul ihram)”.
Imam Ibnu Mundzir Rahimahullah berkata: “Ahlu ilmi tidak berselisih bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam  mengangkat kedua tangannya ketika membuka sholat”. [24]
Imam Muhammad bin Nashir Al Marwazi Rahimahullah berkata: “Ulama’ Anshor, kecuali Ahli Kuffah berijma’ bahwa disyariatkan mengangkat kedua tangan ketika ruku’ dan bangun darinya”.
Imam Ibnu Abdil Barr Rahimahullah berkata: “Tidak seorang pun meriwayatkan dari Malik Radliyallahu 'Anhu tentang meninggalkan mengangkat kedua tangan ketika ruku’ dan bangun darinya kecuali Ibnu Qossim Rahimahullah”.
Adapun orang yang memilih mengangkat kedua tangannya ketika rukuk dan bangun darinya mereka bersandar kepada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radliyallahu 'Anhuma, sebagaimana sudah disebutkan diatas.
Pengikut Imam Hanafi mereka mengerjakan apa yang diriwayatkan Mujahid Rahimahullah bahwa dia pernah shalat di belakang Ibnu Umar Radliyallahu 'Anhu dan dia tidak melihatnya mengerjakan hal yang seperti itu”.
Dari Malik bahwa Ibnu Umar Radliyallahu 'Anhuma kalau melihat seseorang tidak mengangkat kedua tangannya ketika ruku’ atau bangun darinya, maka beliau melemparnya dengan kerikil”.
            Adapun orang yang berpendapat tidak mengangkat tangan ketika akan ruku’ dan bangun darinya, mereka bersandar pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud Radliyallahu 'Anhuma sebagai berikut

" أنه رأي النبي صلى الله عليه و سلم  يرفع يديه عند الافتتاح ثم لا يعود ". أخرجه أبو داود
Artinya: “Bahwa beliau melihat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam  mengangkat kedua tangannya ketika membuka shalat, tidak mengulanginya selain itu’.(HR. Abu Dawud) [25]
            Akan tetapi hadits ini  ditolak oleh Imam Syafi’ie Rahimahullah.[26] Imam asy Syafi’i, Ahmad, Jumhur Ulama’ (para Shahabat dan setelahnya) menyatakan: “Mustahab/sunnah mengangkat kedua tangan ketika ruku’ dan ketika bangun darinya”.

 

Hukum takbir makmum masbuq yang mendapati imam  dalam keadaan ruku’.
Barang siapa yang datang dan mendapatkan imam bertakbir dengan takbiratul ihram, maka hendaklah mengikutinya seperti keadaan imam dan tidak dihitung mendapatkan satu rekaat sampai mendapatkan rukuk bersamanya baik mendapatkan rukuk itu sempurna atau kurang ( tangannya baru turun menyentuh lutut ) sebelum imam berdiri. dari Abi Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata : Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam bersabda : Jika kalian mendatangi shalat sedang kami sedang sujud maka sujudlah kalian dan janganlah menunggu, barang siapa mendapatkan satu rekaat maka dia telah mendapatkan shalat [27]
Bagi makmum yang masbuq maka baginya melakukan gerakan sebagaimana yang  diperbuat  imam ketika duduk terakhir maka hendaklah duduk bersamanya berdo’a dan tidak berdiri sampai imam salam kemudian bertakbir ketika berdiri untuk menyempurnakan shalat.[28]

Hukum membaca ta’awudz dalam shalat.

            Jumhur Ulama’ berpendapat bahwasanya membaca ta’awudz adalah sunnah dan tidak berdosa bagi orang yang meninggalkannya. Karena ta’awudz bukanlah suatu kewajiban.
Imam An Nawawi Rahimahullah berkata dalam kitabnya “al-Adzkar”:“Ta’awudz adalah mustahab/sunnah, dan bukan suatu kewajiban, apabila ditinggalkan maka tidaklah berdosa..ataupun shalatnya menjadi batal dan tidaklah diganti dengan sujud sahwi. Ta’awudz adalah sunnah di setiap shalat baik shalat wajib ataupun nawafil/sunnah disunnahkan juga untuk  dibaca dalam shalat jenazah.dan inilah pendapat yang paling benar.”
             Menurut ijma’ para Ulama: “Ta’awudz disunnahkan juga bagi pembaca al-Qur’an di luar shalat”.  Wallahu a’lam.
Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata: “Membaca ta’awudz sebelum membaca al-Quran dalam shalat adalah sunnah.”
Diriwayatkan dari ar-Razi Rahimahullah dari Imam Atho’ Rahimahullah ia berkata:  “Ta’awudz adalah wajib dibaca bagi yang membaca al-Qur’an baik ia dalam keadaan shalat ataupun di luar shalat.beliau juga mengambil pendapat dari Ibnu Sirin Rahimahullah. Ibnu Sirin Rahimahullah berkata: “Apabila ta’awudz dibaca sekali maka cukuplah dan jatuhlah kewajiban mereka berhujjah denganb dzahirnya ayat karena dapat menolak gangguan setan dan tidaklah sesuatu yang menjadikan kepada hal yang wajib kecuali ia dihukumi dengan wajib dan  taawudz adalah salah satunya.
            Sebagian Ulama’ memandang bahwa ia adalah wajib bagi Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam saja bukan bagi umatnya.
Imam Malik Rahimahullah berkata: “ Ta’awudz tidak dibaca dalam shalat wajib, namun ta’awudz itu dibaca dalam shalat di awal bulan Ramadhan.”

Ta’awudz dalam sholat

             Sebagian Ulama’ ada yang berpendapat ta’awudz dibaca ketika shalat jahriyah saja dan ada yang berpendapat dibaca ketika shalat sirr. Akan tetapi pendapat yang paling kuat adalah ta’awudz dibaca dan tidak jahr, demikian pendapat dari Ibnu Umar Radliyallahu 'Anhuma, Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafi’i Rahimahumallah, sedangkan yang berpendapat jahr adalah Abu Hurairoh Radliyallahu 'Anhu sedangkan Abu Laila Rahimahullah berkata: “Sirr ataupun jahr sama saja dan keduanya adalah benar.”

Hukum basmalah pada fatihah dalam shalat.
Para Ulama’ banyak berelisih pendapat dalam hal basmalah. Apakah ia hanya ayat dalam surat al-Fatihah  saja atau termasuk ayat pada surat-surat yang lain, atau tidak termasuk ayat baik dalam surat al-Fatihah maupun dalam surat-surat yang lain.
            Pendapat sebagian Ulama’ menggolongkan basmalah sebagai ayat yang sempurna dari setiap surat di dalam al-Qur’an. Pendapat ini dipegang oleh sebagian Shahabat Nabi shalallahu 'alai wasalam, seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu Umar, dan Ibnu Jubair Radhiyallahu 'anhum. Begitu juga dari kalangan Tabi’in, seperti Thawus, ‘Atha’, Mahkul, Ibnu Mundzir serta ulama’ yang lainnya.
            Adapun bahwa basmalah hanya ayat di dalam surat al-Fatihah adalah Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad, sebagian Ulama’ Kuffah maupun Makkah. [29]
Pendapat ini berdasarkan hadits riwayat ad-Dar Quthny dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Sallahu 'Alaihi wa Sallam beliau bersabda: ”Apabila kalian membaca alhamdulillahi rabbil ‘alamin maka bacalah bismillahir rahmanir rahim karena sesungguhnya ia(basmalah) itu ummul kitab serta as-sab’ul matsanni  dan basmalah itu meriupakan salah satui dari ayatnya.”  [30]
            Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa basmalah  itu termasuk ayat dari setiap surat al-Qur’an berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Shahabat Anas Radhiyallahu 'anhu ia berkata: “Pada suatu hari Nabi Sallahu 'Alaihi wa Sallam bersama-sama kami menjelaskan untuk kami, ketika itu beliau menundukkan kepalanya seraya tersenyum, maka kami pun bertanya: “gerangan apakah yang membuat engkau menjadi tersenyum wahai Rasulullah Sallahu 'Alaihi wa Sallam ?”, beliau menjawab: “Baru saja turun kepadaku sebuah surat(dari al-Qur’an)”, lalu beliau membaca: “Bismillahir rahmanir rahim – Inna a’thaina kalkautsar……….”[31]
            Hal ini berbeda dwengan pendapat Imam Malik yang menyatakan bahwa basmalah itu tidak termasuk ayat di dalam surat al-Fatihah  ataupun dalam surat-surat selainnya. Imam al-Qurthuby mengomentari pendapat ini dengan berkata: “Pendapat Imam Malik inilah yang benar, sebab al-Qur’an tidak ditetapkan dengan hadits-hadits Ahad akan tetapi penetapan al-Qur’an itu dengan jalan Mutawatir yang sudah tidak ada lagi perselisihan di dalamnya.”  [32]
            Ibnu Taimiyah berkata: “Pendapat pertengahan adalah pendapat yang mengatakan bahwa basmalah termasuk ayat dari al-Qur’an, disebabkab para Shahabat menulisnya di dalam mushhaf da ia tidak termasuk dari setiap surat. Sesungguhnya penulisan basmalah yang ditulis oleh para Shahabat adalah al-Qur’an itu menunjukkan bahwa ia termasuk ayat, dan penisbahan basmalah dari setiap surat sesudahnya itu menunjukkan bahwa ia itu tidak termasuk dari setiap surat pula. Dalam hadits yang shahih Nabi Sallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: “Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Aku membagi shalat menjadi 3 bagian, sepertiganya untuk-Ku, sepertiganya lagi untuk hamba-Ku dan sebagian yang lain untuk-Ku dan hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia pinta”. Maka apabila seorang hamba berkata: “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin”, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Hamba-Ku telah memujiKu”. Lalu ia berkata: “Arrahmanir rahim”, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Hamba-Ku telah memujiKu”, jika ia berkata: “Iyyakana’budu waiyyakanasta’in”, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Ayat ini setengahnya untukKu dan setengah yang lain untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia pinta”. Lalu jika ia membaca: “Ihdinash shirathal mustaqim – Shirathalladzina an’amta ‘alaihim ghairil maghdlubi ‘alaihim waladl dlallin”, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Mereka itu adalah hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia pinta.”
            Ini adalah hadits yang shahih yang menunjukkan bahwa basmalah bukan ayat dari surat al-Fatihah dan tidak ada hadits shahih  yang menentangnya, maka point yang paling penting adalah bahwa hadits tersebut hanya menunjukkan jika basmalah itu dibaca pada awal surat al-Fatihah dan tidak menunjukkan bahwa ia termasuk dari surat al-Fatihah, sehingga dari sini para ahli Qura’ atau orang yang ahli membaca al-Qur’an ada yang membaca basmalah diawal surat dan ada pula yang tidak membacanya. Meskipun keduanya diperbolehkan namun bagi mereka yang membacanya lebih baik, begitu juga bagi mereka yang mengulang-ulang bacaannya setiap awal surat adalah lebih baik daripada mereka yang meninggalkannya. Hal itu karena ia telah membaca apa-apa yang telah ditulis oleh para Shahabat di dalam mushhaf. Dan apakah mungkin para Shahabat menulis di dalam mushhaf  sesuatu yang tidak disyariatkan untuk membacanya, padahal mereka telah memisahkan antara al-Qur’an dengan yang selainnya, sampai-sampai mereka tidak menulis kata Amiin di dalam al-Qur’an, tidak juga nama-nama surat, seperlima atau sepersepuluh dari al-Qur’an dan lain sebagainya, padahal orang yang shalat disunnahkan untuk membaca Amiin setelah membaca seluruh ayat dari surat al-Fatihah.  [33]
            Dan jika dalil-dalil syar’i dikumpulkan maka akan menjadi lebih jelas hal itu menunjukkan bahwa basmalah adalah termasuk ayat dari al-Qur’an dan tidak termasuk ayat dari setiap surat yang terdapat di dalam al-Qur’an.

Mengeraskan Basmalah

            Dalam masalah ini banyak sekali perselisihan yang terjadi di kalangan para Ulama’, ada sebagian diantara mereka yang mengeraskan dan adapula yang tidak mengeraskannya.
            Imam say-Syafi’i dan para shahabatnya berpendapat: “Disunnahkan untuk mengeraskan basmalah pada shalat-shalat jahriyah, baik di dalam surat al-Fatihah ataupun surat-surat yang lainnya”. Pendapat ini berdiri di atas beberapa pendapat:
  1. Hadits Nu’aim bin Abdillah al-Mujmir Rahimahullah ia berkata: “Aku pernah shalat di belakang Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, maka ia membaca Bismillahir rahmanir rahim  lalu ia membaca ummul Kitab(al-Fatihah) sampai waladl dlallin ia membaca Amiin, maka orang-orang yang ada di belakangnya ikut membaca Amiin. Dan setiap sujud ia membaca Allahu akbar. Dan setelah salam ia berkata: “Demi jiwaku yang berada ditangan-Nya, aku adalah orang yang paling mirip shalatnya dengan Rasulullah Sallahu 'Alaihi wa Sallam dari kalian.”  [34]  Hadits ini diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan Ibnu Huzaimah, dan Ibnu Huzaimah berkata di dalam mushannifnya: “mengeraskan bacaan Bismillahir rahmanir rahim itu di dlam shalat telah shahih  dan telah diriwayatkan dari Nabi Sallahu 'Alaihi wa Sallam dengan sanad yang Tsabat(tetap) dan Muttashil(bersambung) serta tidak ada lagi keraguan diantara ahli ilmu.
  2. Hadits yang diriwayatkan oleh ad-Dar Quthny dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Sallahu 'Alaihi wa Sallam, bahwa apabila beliau membaca sedang beliau mengimami manusia, maka beliau membuka dengan Bismillahir rahmanir rahim, maka Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata: “Ia(bacaan basmalah) adalah ayat dari Kitabullah, jika kalian mau maka bacalah Fatihatul Kitab, karena ia adalah ayat yang tujuh.”  [35]  dalam riwayat yang lain: “Sesungguhnya Nabi Sallahu 'Alaihi wa Sallam apabila mengimami manusia beliau membaca Bismillahir rahmanir rahim.” Imam ad-Dar Quthny berkata: “seluruh rijal pada hadits ini tsiqah(dipercaya).” Al-Khathib berkata: “Segolongan Ulama’ meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu: “Sesungguhnya Nabi Sallahu 'Alaihi wa Sallam mengeraskan bacaan Bismillahir rahmanir rahim dan memerintahkannya”, lalu ia menyebutkan hadits ini.”  [36] 
  3. Hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ia berkata: “Apa-apa yang Rasulullah Sallahu 'Alaihi wa Sallam keraskan maka kami keraskan bagi kalian dan apa-apa yang beliau sembunyikan(pelankan) maka kami sembunyikan dari kalian.” Dalam riwayat lain: “Apa-apa yang beliau perdengarkan bagi kami maka kami perdengarkan bagi kalian dan apa-apa yang beliau sembunyikan dari kami maka kami sembunyikan dari kalian.”  [37]   maknanya adalah mengeraskan apa-apa yang beliau keraskan dan memelankan apa-apa yang beliau pelankan. al-Khatib Abu Bakar al-Hafidz al-Baghdady berkata: “Mengeraskan dengan penyebutan adalah madzhab Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, telah dihafal darinya dan telah masyhur(terkenal) darinya pula, serta telah meriwayatkan darinya lebih satu orang dari para shahabat-shahabatnya.”  [38]  al-Hafidz Abu Bakar al-Khatib berkata di depan para shahabatnya: “Yyang mengeraskan pen-jahr-an terhadap bacaan basmalah  adalah Shahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali, ‘Ammar bin Yasir, Ubai bin Ka’ab, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Umar, serta yang lainnya Radhiyallahu 'anhum. Sedang dari kalangan Tabi’in adalah Sa’id bin Musayyab, ‘Atha’, Mujahid, Ibnu Sirrin, Ikrimah, ‘Ali ibin Husain Rahimahumullah dan lain sebagainya. Sedangkan dari kalanga Ulama’ setelah Tabi’in adalah al-Hasan bin Zaid, Abdullah bin Hasan, al-Laits bin Sa’ad, Ishaq bin Rahawaih Rahimahumullah dan lain-lain.  [39]
            Adapun Imam Ahmad dan Malik Rahimahumallah, mereka berpendapat bahwa basmalah tidak dibaca jahr (dengan jelas) akan tetapi ia dibaca dengan pelan. Imam Malik Rahimahullah menambahkan bahwa basmalah kalaulah ingin dibaca dengan sirr (dengan pelan) hanya ada pada shalat-shalat nawafil (sunnah) dan tidak boleh dibaca pada shalat maktubah (wajib) atau pada shalat yang lainnya. [40]
            Imam at-Turmudzy Rahimahullah berkata: “Dan ini(membaca basmalah dengan pelan) adalah yang telah dicontohkan dan diamalkan oleh kebanyakan ahlul ilmi (Ulama’), baik dari kalangan Shahabat maupun orang-orang setelahnya dari kalangan Tabi’in. diantara para Shahabat adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali Radhiyallahu 'anhum, demikian juga yang dipegang oleh al-Hakim, Hammad, al-Auzaiy, ats-Tsaury, Ibnul Mubarrak Rahimahumullah dan lain-lain.
            Ibnu Qudamah di dalam kitabnya “al-Mughny” mengatakan bahwa hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu yang mereka jadikan dalil bahwa basmalah itu dibaca dengan jahr tidaklah di situ bukti bahwa Nabi Sallahu 'Alaihi wa Sallam mengeraskan dan tidaklah menutup kemungkinan bahwa suara Nabi Sallahu 'Alaihi wa Sallam didengar ketika bacaannyua pelan. Hal ini sebagaimana bisa didengarnya bacaan istiftah (bacaan pembukaan sebelum bacaan surat al-Fatihah), dan isti’adzah(bacaan permohonan perlindungan dari godaan syaithan) dari Nabi Sallahu 'Alaihi wa Sallam sesekali waktu beliau mengeraskan bacaannya pada shalat dhuhur (HR. al-Bukhary dan Muslim). Dan hadits Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha tidaklah di situ menunjukkan bahwa bacaan basmalah itu dibaca keras, sebab semua hadits tentang bacaan basmalah adalah dlaif(lemah). Dan bahwa seluruh perawi serta sanadnya yang tersembunyi(pelan/samar) adalah sesuatu yang shahih dan tidak ada khilaf (perbedaan pendapat). Maka hal ini menunjukkan lemahnya periwayatan tentang bacaan basmalah yang dilakukan dengan suara jahr. Dan telah sampai kepada kami ad-Dar Quthny berkata: “Tidak ada hadits yang shahih dalam hal mengeraskan bacaan basmalah.”  [41]
            Ibnu Taimiyah berkata: “Para ahli hadits telah sepakat bahwa tidak ada hadits yang sharih(jelas) dalam masalah mengeraskan bacaan basmalah, dan para ahlu sunan yang terkenal, seperti Abu Daud, at-Tarmidzy, dan an-Nasa’i tidak meriwayatkan hal ini pula, akan tetapi(hadits yang memperbolehkan membaca basmalah dengan keras) adalah hadits yang maudlu’(palsu) yang diriwayatkan oleh ats-Tsa’laby dan al-Mawardy.”  [42]
            Dalam tempat lain beliau menambahkan bahwa pakar hadits telah sepakat bahwa tidak ada hadits yang shahih dalam pembolehan hal ini(mengeraskan bacaan basmalah), lebih-lebih hadits yang mutawatir tentang hal ini juga. Dan hal ini menjadi pelarangan yang dilakukan oleh Nabi Sallahu 'Alaihi wa Sallam sebagaimana hal ini menjadi penghalang bahwa beliau mengeraskan do’a istiftah dan ta’awudz[43]

c. Ketika ruku’
1. arah pandangan mata ketika ruku’

Secara umum pandangan  mata ketika shalat adalah kearah sujud, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari al-A’la dia berkata: “Saya mendengar Makhul bercerita dari Abi Umamah dan Watsilah Radhiyallahu 'Anhuma :

" كان النبيَ صلََََََى الله عليه وسلَََم قام إلى الصّلاة لم يلتفت يمينا و شمالاورمىببصره فى موضع سجوده".
Artinya: “Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam  apabila berdiri ketika sholat, tidak menoleh kekanan atau kekiri akan tetapi mengarahkan pandangannya ke arah sujud.”
Dan Ibnu Sirin Rahimahullah berkata: ”Dahulu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam  mengangkat pandangannya ketika shalat(melihat ke atas), akan tetapi ketika turun ayat:  1-2 surat al-Mu’minun yang berbunyi
" قد أفلح المؤمؤمنون اللذين هم في صلاتهم خاشعون ".
Artrinya: “Beruntunglah orangorang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ di dalam shalatnya.” Setelah itu pandangan mata beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak pernah melebihi tempat sujud” .[44]
            Adapun dalil yang menunjukkan secara khusus tentang pandangan mata ketika ruku’, tidak kami temukan. Akan tetapi kita bila menarik kesimpulan dari hadits-hadits umum dibawah ini:

1.                  Hadits dari Aisyah Radhiyallahu 'Anha

" كان النبيَ صلََََََى الله عليه وسلَََم اذا ركع لم يؤفع رأسه ولم يصوَبه ولكن بين ذاك ". ( رواه مسلم )
Artinya: “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam apabila ruku’ tidak pernah mengangkat kepalanya, dan tidak pula menurunkan kepalanya, akan tetapi meluruskan kepalanya (antara mengangkat dan menurunkan). [45]
Juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud Rahimahullah yang berbunyi

" نهى النبيَ صلََََََى الله عليه وسلَََم عن التذبيح في الصلاة ".( رواه أبوداود )
Artinya: “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam melarang ”tadzbih” di dalam sholat.” [46] Tadzbih adalah merendahkan kepala sampai di bawah pundak.
Imam Ahmad Rahimahullah berkata: “Apabila seseorang ruku’, hendaknya memegang kedua lututnya dan merenggangkan jari-jarinya dan menahan dengan siku dan jari, satu meluruskan punggungnya dan tidak boleh mengangkat kepala atau merendahkannya.” [47]
            Diantara tata cara ruku’ yang benar adalah meluruskan punggung dan lehernya, karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam jika beliau ruku’ selalu meluruskan punggungnya dan tidak mengangkat kepala atau menurunkannya sehingga apabila ada air yang diletakkan di atasnya maka air itu tenang dan  tidak akan tumpah. Demikian juga seseorang apabila ruku’ hendaklah meluruskan punggungnya dari kepala hingga pantatnya. Dan sunnah yang demikian telah disepakati oleh para Ulama’.
Adapun ruku' sempurna adalah membungkukkan badan hingga lurus antara punggung dan lehernya hingga tampak seperti kertas yang terbentang dan lurus dengan meluruskan betisnya dan tidak menekan lututnya. [48]

2. Posisi tangan sehabis i’tidal.
Secara qoth’i, tidak ada satu pun dalil yang menerangkan tentang posisi tangan ketika I’tidal di dalam shalat. Namun para ulama’ madzhab bersepakat, bahwa ketika I’tidal seluruh posisi kembali ketempat semula, sebagaimana posisinya sebelum ruku’.[49]
Sebagaimana pula para ulama’ juga bersepakat, bahwa posisi tangan ketika berdiri dalam shalat adalah tangan kanan berada di atas tangan kiri di atas dada.[50]
1.      As-Syafi’iyah berpendapat: Sesungguhnya bangkit dari ruku’ (i’tidal) itu adalah kembali kepada keadaan sebagaimana sebelum ia ruku’.
2.      Al-Malikiyah berpendapat: I’tidal itu adalah kembali seperti semula (sebelum ruku’).
3.      Al-Hanabilah berpendapat: I’tidal itu adalah berdiri dengan sempurna, dan setiap anggota badan ketempatnya.
Dengan demikian dapat difahami bahwa posisi tangan ketika I’tidal adalah di atas dada, sebagaimana posisinya sebelum ruku’, yaitu di atas dada. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam :
عن سهل بن سعد قال : كان النَََََاس يؤمرون ان يضع الرجل يده اليمنى على الذراعه اليسرى فى الصلاة ( رواه البخارى )

Artinya: Dari Sahl bin Sa’ad ia berkata:Sesungguhnya manusia diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya didalam shalat. (HR.Al-Bukhary)[51]
Ibnu Hajar Al-Asqalany berkata: Di dalam shalat yakni diwaktu berdiri di dalam shalat.[52]
Wail bin Hujr berkata:
رأيت النبيَ صلََََََى الله عليه وسلَََم ا1ذا كان قائمافى الصَلاة قبض يمينه على شماله( رواه النسائى )

Artinya: "Saya telah melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam apabila berdiri di dalam shalat, beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. (HR. An-Nasai).[53]
Dari sini jelaslah bahwa ketika berdiri di dalam shalat, keadaan tangan adalah di atas dada (bersedekap), baik berdiri sebelum ruku’ maupun berdiri sesudahnya disebabkan keumuman hadits tersebut.
Abu Hamid berkata:
و1ذارفع رأسه اسفوى قائماحتَى يعود كلَ فقارالى مكانه( متَفق عليه )

Artinya:  "Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam apabila bangkit dari ruku’, maka ia berdiri dengan sempurna, sehingga setiap sisi kembali kembali kepada tempatnya masing-masing. (mutafaqun ‘alaihi).[54]
Ibnu Abdil Baar berkata[55]: Tidak ada khilaf (perselisihan) di dalamnya (meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri, ketika berdiri di dalam shalat) dan inilan pendapat Jumhur dari kalangan Shahabat, Tabi’in, dan juga yang disebutkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa’.[56]
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin berkata: Hadits Sahl menunjukkan bahwa tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri, baik sebelum maupun sesudahnya,  sebagaimana:
·         Tangan diletakkan di atas lantai (di atas tanah) saat sujud.
·         Tangan diletakkan di atas lutut saat ruku’.
·         Tangan di letakkan di atas paha saat duduk. dan
·         Ketika berdiri tangan diletakkan di atas dada (bersedekap).


d. Ketika sujud

1. Cara turun sujud
Para Ulama berselisih pandapat dalam masalah ini dan masing-masing pendapat dikuatkan dengan dalil dan alasan masing-masing.
1. Mendahulukan dua lutut dari dua tangan.
Pendapat ini mendasarkannya pada hadits yang datang dari sahabat Wail bin Hujr, yaitu :
حَدَّثَنَا سَلَمَةُ بْنُ شَبِيبٍ وَأَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّوْرَقِيُّ وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُنِيرٍ وَغَيْرُ وَاحِدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا شَرِيكٌ عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ قَالَ زَادَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ فِي حَدِيثِهِ قَالَ يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ وَلَمْ يَرْوِ شَرِيكٌ عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ إِلَّا هَذَا الْحَدِيثَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُ أَحَدًا رَوَاهُ مِثْلَ هَذَا عَنْ شَرِيكٍ وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ يَرَوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ وَرَوَى هَمَّامٌ عَنْ عَاصِمٍ هَذَا مُرْسَلًا وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ وَائِلَ بْنَ حُجْرٍ (الترمذي 248(
Artinya: “Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam  apabila sujud beliau letakkan dua lututnya sebelum dua tangannya dan bila bangkit beliau angkat dua tangannya sebelum dua lututnya”.[57]
Hadits tersebut menurut Imam At Turmudzi adalah Hasan Ghorib. Karena jalurnya dari Syuraik dari ayahnya.
Syaikh Nasiruddin Al Albani mendloifkannya Adapun yang menshohihkannya adalah Ibnu Huzaimah, ibnu Hibban,Al Hakim dan Adz Dzahabi.[58]
Hadits tersebut dikuatkan dengan hadits dari Ibnu Abi Syaibah dari Muhammad bin Fudail dari Abdulloh bin Sa’id dari kakeknya dari Abu Hurairoh bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam  bersabda:
إِذَا سَجَداحدكم فليبدأَ برُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْه ولايبرك كبروك الفحل ( رواه البيهقى )
Artinya: “Apabila salah seorang diantaramu hendak sujud maka mulailah dengan meletakan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan janganlah ia turun seperti unta yang berderum”  [59]
Al Qothon mendoifkan hadits ini tetapi Imam baihaqi berkata : kedoifan hadits ini tidak berdasar.[60]
Juga hadits dari Anas bin Malik RA :

انه صلّى الله عليه وسلم انحط با التكبير فسقطت ركباه يدا ه

Artinya: “Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bila hendak turun ke sujud dengan bertakbir dan kedua lututnya mendahului kedua tangannya.” [61]
Al Hakim berkata:Shohih atas syarat keduanya, yaitu Darul Quthny dan Baihaqy, dan tidak tahu Illat didalamnya,dan ada yang mengatakan bahwa hadits Wa’il sebagai penguat dari hadits ini.
Ada juga dari jalur Mushab bin Sa’id bin Abi Waqos dari Ayahnya bahwa ia berkata :

كنا نضع اليد ين قبل الركبتين قامرنا ان نضع الركبتين قبل اليد ين

Artinya :Kami meletakan kedua tangan ketika hendak bersujud lalu kami diprintahkan untuk meletakan lutut sebelum kedua tangan.
Ibnu Huzaimah Mmensohihkannya dan menganggap hadits ini telah menaskh hadits Abi Hurairoh yang mendahulukan kedua tangan, tetapi ada yang mendoifkannya karena ada rowi bernama Abu Zur’ah. Ibrohim bin Isma’il menganggapnya sebagai orang yang matruk.[62]
Disamping hadits-hdits diatas yang saling menguatkan satu dengan yang lainnya juga Ibnu Qoyyim telah menjabarkannya dengan panjang lebar dengan menyebutkan sepuluh hadits sebagai tarjih dan penguat yang sebagiannya telah disebutkan Asy Syaukani dalam Nailul Autor.
Imam Asy Syaukani merojihkan hadits yang datang dari Abi Hurairoh yang mendahulukan tangan dari hadits Wa’il yang mendahulukan lutut dari pada tangan dan tarjih ini hanya dari  dua hadist tersebut saja tanpa mentarjih dengan hadits yang disebutkan Ibnu Qoyyim seperti hadits yang datang dari jalur Hammam dengan sanad yang Mursal atau hadits yang diriwayatkan Abi Dawud dari jalur Muhammmada bin Hijadah. Lebih lanjut perselisihan dalam masalah tata cara turunnya unta dan hewan yang lain yang dipandang dari sisi bahasa dan makna hadits.
Yang berpegang pada pedapat ini diantaranya adalah Jumhur ulama, Umar bin Khotob dan anaknya, Abdulloh bin Mas’ud Ibnu Mundzir, Ibrohim An nakho’I, Muslim bin Yasar, Sufyan Ats Tsauri, Imam Ahmad bin Hanbal Ishaq dan ahlur Royi dari ahlul ‘Iroq.[63]
Imam Asy Syafi’I  berkata dalam kitabnya Al ‘Umm : Saya lebih menyukai mendahulukan lutut dari pada tangan.
Imam An Nawawi dalam Al majmu’ berkata: Yang sunnah adalah meletakan kedua lutut dari kedua tangan dan bila berdiri mengangkat kedua tangan dahulu karena mendekati posisi yang benar Demikian yang dikatakan Imamg Bukhori dan huffadz salaf terdahulu[64]. maksudnya : karena lutut lebih dekat dengan tanah dan untuk menyelisihi turunnya unta kemudian kening dan hidung.[65]
At Turmudzi berkata ; Al Khotobi berkata : Ini adalah pendapat kebanyakan para Ulama.
Imam Ar Rofi’I berkata : Yang sunnah adalah meletakan kedua lutut terlebih dahulu kemudian tangan kemudian hidung dan kening.
Sedang Al Ghozali berkata :Sujud yang paling sempurna adalah mengawalkan kedua lutut dahulu dengan tidak mengangkat tangan lalu meletakan tangan lalu kening…[66] .
Demikian juga penadapat Ibnu qoyyim dalam Zaadul ma’ad. Sedang umumnya ulama ( Irak ) beralasan dengan beberapa alasan diantaranya :
1.          Sesungguhnya unta bila menderum ia meletakan tangannya terlebih dahulu sedang kakinya tetap berdiri sedang bila bangkitakan mengangkat kakinya terrlebih dahulu dan tata cara sujud seperti ini dilarang oleh Rasulullloh SAW.
2.          Rasululloh SAW meletakkan kedua lutut terlebih dahulu lalu kening dan hidung secara berurutan karena lebih dekat dengan lantai untuk menyelisihi unta dan hewan lainnya.
3.          Jika yang diturunkan tangan terlebih dahulu mestinya lafadznya berbunyi
فاليبرك كما يبروك البعير
 Sedangkan unta meletakan tangan dahulu ke bumi pihjakannya.[67]
Al Qodi Abi Toyyib berkata : Pendapat ini adalah pendapat jumhur dan umumnya para ahli fikih.[68]
Sedangkan ulama madzahib yang sependapat adalah Abu Hanifah, Asy Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hnabal.begitu juga dari golongan Hanifiyah, Syafi’iyyah dan ahli Kuffah.[69]
Imam At Tohawi berkata : Hendaknya mengakhirkan untuk meletakkan tangan dari lutut sebagaimana mengangkat tangan dahulu ketika berdiri.[70]
Termasuk yang memegangi pendapat ini adalah Syaikh Abdulloh Bin Abdul Aziz bin Baaz dan Syaikh Utsaimin.
Syaikh Utsaimin berkata : Sebagian Ikhwan  telah mengarang sebuah buku berupa risaalah yang berjudul : “ Fathul Ma’bud Fii Wadh’I Rukbataini qobla Yadaini Fii Sujud”.Oleh karena itu yang paling sunnah adalah mendahulukan kedua lutut.

  1. Mendahulukan kedua tangan dari kedua lutut
Adapun yang berpendapat mendahulukan tangan dari lutut mengemukakan pendapat. mereka beralasan dengan hadits dari Abu Hurairoh, yaitu :
أَخْبَرَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ عِيسَى الْقُوْمَسِيُّ الْبَسْطَامِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ وَهُوَ ابْنُ هَارُونَ قَالَ أَنْبَأَنَا شَرِيكٌ عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ( النساَئ 1077
Artinya :Rasululloh SAW bersabda : Apabila seseorang diantara kamu bersujud maka janganlah bersujud seperti unta hendaklah ia letakkan tangannya sebelum lutrutnya.[71]
Imam At Turmudzi berkata : Hadits ini ghorib karena jalurnya hanya dari Abi Zanad.
Akan tetapi disohihkan oleh Syaikh Nasiruddin Al Al Bani.
Hadits ini di kuatkan dengan hadits mauquf dari Ibnu Umar beliau berkata :
كان رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ يَضَعَ َ يَدَيْه قَبْلِ رُكْبَتَيْه
Artinya: Bahwa nabi SAW apabila hendak sujud meletakkan kedua tangan terlebih dahulu sebelum lututnya[72]
Al Hakim berkata : Hadits tersebut sohih atas syarat Imam Muslimdan disepakati oleh Ibnu Huzaimah dan Ad Dzahabi.
Imam Al Auza’I berkata : Inilah yang lebih utama meletakan tangan dari pada lutut kertika hendak sujud.
Beliau menambahkan : Saya melihat orang-orang mendahulukan tangan dari pada lutut mereka.
Imam Asyaukani Berkata : Hadits yang menerangkan hal ini adalah berupa qoul dan fi’il dan tidak mungkin qoul rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyelisihi amalan beliau, walaupun hadits dari Abu Hurairoh ini mauquf akan tetapi ada penguat dari hadits yang datang dari Ibnu umar tersebut. Hadits dari Abu Hurairoh ini lebih kokoh dari hadits Wa’il bin Hujr[73]
Pengarang tuhfatul Ahwadzi berkata : Hadits yang mendahulukan lutut terlebih itu lemah karena ada seeorang yang bernama Syuraik ia banyak salah dan hafalannya kacau.
At Toifah berkata : Rasululloh mendahulukan tangan dari luutut ketika hendak sujud.
Nafi’ berkata: Ibnu Umar meletakan kedua tangan dari pada lutut beliau.
Syaikh Nasiruddin dalam sifat solat nabi : Yang paliing kuat adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairohyang mendahulukan tangan dari pada lutut,untuk menyelisihi gerakan turunnya untasebagaimana dhohirnya hadits.
Beliau juga membantah pendapat Ibnu Qoyyim yang menyebutkan bahwa matan hadits dari Abu Hurairoh ini terbalik.beliau mengatakan : Syuraik adalah orang yang jelek hafalannya dan pendapat Ibnu Qoyyim jelas-jelas salah. Bahkan saya telah menyebutkan kelemahan - kelemahan pendapat Ibnu Qoyyim dan kekurangan kitab Zaadul Ma’ad dalam satu buku saya yang berjudul At ta’liqot Al Jiyad ‘ala Zaadil Ma’ad.
Dalam kitab beliau yang lain Tamamul Minnah, sebagai kritikan buku Fikih Sunnah karangan Syaikh Sayyid Sabiq beliau menambahkan : Bahwa prilaku unta yang hendak menderum dengan mendahulukan lutut terlebih dahulu seperti dhohirnya hadits. Demikian perndapat para ahli bahasa Al Fairuz Zabadi dan Ibnu Mandzur ddalam Lisanul ‘Arob. Perkataan Ibnu Qoyyim yang mengatakan bahwa matan hadits dari Abu Hurairoh itu terbalik adalah sangkaannya ( Wahm )  dia belaka dan ini adalah pendapat pribadi Ibnu Qoyyim saja. Dan tashih dari hadits Wa’il bin Hujr yang mendahulukan lutut sama sekalii tidak berdasarbaik dari sisi hadits maupun fikih, sedangkan hadits yang mendahulukan tangan terlebih dahulu adalah pendapat ahlu hadits yang mendasarkan pada qoul dan fi’il nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam .[74]
Pendapat ini dipegangi oleh Imam Malik, Ibnu Hazm dan At Tsauri yang menyelisihi pendapat jumhur.
Abdulloh bin Abi Dawud bekata : ini adalah pendapat ahlul hadits.[75]

Pendapat Yang lebih utama

Imam Ibnu Qoyyim mengafdolkan meletakan lutut dahulu dari pada tanagn demuikian juga An Nawawi dalam Al Majmu’, dikarenakan hadits yang lebih kuat dengan meletakan lutut terlebih dahulu.
 Dan ini lebih mudah untuk melaksanakannyajika tidak berarti meninggalkan kemudahan artinya meleetakan lutut terlebih dahulu karena lutut lebih dengan lantai, kemudian meletakan tangan kemudian kening dan hidung sebagai bagian dari kepala.Adapun ketika berdiri maka yang diangkata adalah yang paling jauh dari tanah kepala lalu tangan dan baru kemudian lutut.[76]
Hal ini disebabkan juga karena hadits yang datang dari Abu Hurairoh adalah  Muthorib dan goncang dan juga karena adanya  dua periwayatan dari Abu Hurairoh yang saling bertentangan satu mendahulukan tangan dan satu yang lain mendahulukan lutut.[77]
Dan jumhur bersepakat bahwa pendapat yang mendahulukan lutut terlebih dahulu berdasar pada hadits dari Wail bin hujr itu lebih kuat dan kokoh dan menyimpulkan adanya masyruiyyah meletakan lutut terlebih dahulu dari pada tangan dan adanya pelarangan menderum seperti hewan. Diantaranya juga adalah pendapat Hanafiyah dan Syafiiyah yang memandang bahwa yang lebih afdol adalah meletakan lutut dari pada tangan.
Adapun Imam Al Auza’I lebih mengafdolkan tangaan dari pada lutut. Sedangkan Imam  Malik membolehkan keduanya[78]
Imam As Syaukani mentarjih antara 2 hadits  yang datang dari Wail dan Abu Hurairah dan menguatkan hadits yang mendahulukan tangan ketika hendak sujud.
Imam An Nawawi berkata : Tiak ada tarjih diantara keduanyakarena sam sunnhnya.
Imam  Ibnu Taimiyyah dalam Fatawa Al Kubro brkata : Dua tata cara tersebut di mufakati oleh para ulama bila berkehendak ia mendahulukan lutut dan bila ia berkehendak ia dahulukan tangan dari pada lututsholat dengan dua tata cara tersebut adalah sah, akan tetapi para ulama berselisih tentang yang lebih utama dan afdol. Adapun hadits yang datang dari Abu Hurairoh yang menyatakan mendahulukan tanagn dari pada lutut bertentangan dengan hadits beliau yang lain yang menyebutkan mendahulukan lutut terlebih dahulu.dan yang pertama adalah mansukh. والله اعلم[79]
Juga perkataan beliau : Adapun riwayat Abu Hurairoh semoga saja diriwayatkan oleh Ahmad. Yang menunjukan salah satu sisi guncangnya hadits, sedangkan Imam Ahmad RA dan pengikutnya mendahulukan lutut sbelum tangan ketika hendak sujud.
Adapun yang sependapat dengan Syaikh Nasiruddin, bahwa beliau melayangakan risalah kepada Syaikh Sayyid Sabiq atas bantahan fikih sunnah sebanyak dua kali akan tetapi tidak ditanggapi oleh beliau. Hal ini karena beliau yakin atas pengambilan dalil dan pendapat dari para ulama salaf.juga karena banyaknya hadits-hadits doif yang menguatkan dalam masalah ini sehingga karena banyaknya hadits tersebut hingga masyhur. Demikian juga pendapat Syaikh Utsaimin dalam kumpulan fatwanya.
Kemudian perkataan Imam Malik yang membolehkan kedua tata cara tersebut.dan apa yang disampaikan Syaikhul Islam dalam fatwanya kiranya cukup untuk mendjadi pijakan. Syaikh Abdul Qodir abdul Aziz dalam mengomentari kitab fatawa beliau berkata : Sebagian besar isi Majmu Fatawa beliau telah ditarjih.

 

Kesimpulan :

Bahwa sholat dengan dua tata cara tersebut adalah sah dan boleh hanyasanya yang afdol adalah mendahulukan lutut dan tidak ada tarjih sebagaimana perkataan Imam An Anawawi. Para Mufti Saudi yang tergabung dalam lajnah daimah yang diketuai oleh Syaikh Abdulloh bin Baaz dengan anggota Syaikh Abdur Rozak Afifi dan  Abdulloh bin Ghodyan telah menyimpulkan sebagai berikut : Jumhur Ulama berpendapat bahwa yang paling afdol adalah meletakan lutut terlebih dahulu daripada tangan ketika hendak turun ke tempat sujud dan mengangkat tangan terlebih dahulu ketika hendak bangkit berdiri. Hadits dari sahabat Wail bin Hujr dikuatkan oleh hadits-hadits lain yang jumlahnya sangat banyakbaik yang munqoti ataupun yang mencapai derajat mursalul hadits sampai pada rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Yang berpendapat mendahulukan tanagn adalah : Auzai , Malik dan Ibnu Hazm berdasar dari hadits Abu Hurairoh akan tetapi sanad hadits ini diperselisihkan dan Jama’ah merojihkan hadits dari Wail bin Hujr. Karena masalah ini adalah amsalah ijtihadiyah maka jalan yang terbaik adalah keluasan dan takhyir antara dua cara tersebut, adapun kesalahan yang dilakukan para pelaku yang hendak turun ke sujud adalah melakukan kedua-duanya secara bersama-sama ataupun digabung, semisal menurunkan kedua tangan ketika hendak sujud dan mengangkat lutut mendahului tanagn ketika hendak bangkit atau sebaliknya. Kami tidak mendapatkan satu keteranganpun baik dari hadits ataupun dari atsar sahabat yang membolehkan melakuakan hal tersebut, yaitu turun dengan lutut dan berdiri dengan tangan dengan mendahulukan lutut kecuali yang dilakukan para pengikut madzhab Syafi’iyyah sebagaimana diterangkan dalam Kitab Fikib ala madzahib al Arba’ah. Akan tetapi karena tidak ada dalil satupun yang menguatkan pendapat mereka maka yang kuat adalah melakuakn dari dua takhyir yang ada keterangan dari hadits dan atsar sahabat dan selain itu adalah perkara yang diadakan. Sekian.[80]
Demikian selesailah pembahan ini semoga menjadi gamblang dan terang terlebih masalah sholat maka hendaknya kita berhati-hati dan mengamalkan yang lebih mendekati kebenaran. والله اعلم

2. Cara sujud yang benar.

Hadits-hadits yang berkenaan dengan sujud


 " عَن وَئِلِ بِنْ حجر قال رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم : إِذَاسَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ. وَإِذَا نَهَضَ وَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رَكْبَتَيْهِ ". (رواه الخمسة إلا أحمد)
Artinya: “Dari Wail bin Hujr Radliyallahu 'Anhu berkata: “Aku pernah melihat Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam apabila ia sujud ia bertelekan, dua lututnya sebelum ke dua  tangannya, dan apabila ia bangkit dari sujud ia angkat ke dua tangannya sebelum kedua lututnya.” [81]

" وعن أبي هريرة رضي الله عنه قال. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَيَبْرُكُ فَلاَيَبْرُكُ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيْنُ وَالْيَضَعْ يَدَيْهِ ثُمَّ رُكْبَتَيْهِ ". (رواه أحمد ابوداود و النسآء)
Artinya: Dari Abi Hurairah Radliyallahu 'Anhu berkata telah bersabda Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam apabila salah seorang diantara kamu sujud, maka jangan ia turun seperti turunnya onta, tetapi hendaklah ia meletakan tangannya sebelum kedua lututnya.” [82]
g
" وَعَنْ أَبْي حُمَيْدِ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم : كَانَ إِذَا سَجَدَ أَحْكَنَ أَنْفَهُ وَجَبْهَتُهُ مِنَ الأَرْضِى وَ نَحَّى يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ, وَوَ ضَعَ كَفَيْهِ حَذْ وَمِنْكِبَيْهِ ". (رواه أبوداود و الترمدي و صحيحه)
Artinya: “Dan dari  Abi Humaid Radliyallahu 'Anhu, sesungguhnya Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam  apabila sujud ia letakan hidung dan dahinya pada tanah (bumi) dan ia jauhkan kedua tangannya dari pinggangnya serta meletakan kedua telapak tangannya(di atas tanah/bumi) sejajar dengan kedua pundaknya”. [83]

" وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بِنْ بُحَيْنَةَ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : اِذَا سَجَدَ يُجَنِّحُ فِيْ سثجُوْدِهِ, حَتَّى يُرَى وَضْحُ إبْطَيْهِ ". (متفق عليه)
Artinya: “Dari Abdullah bin Buhainah Radliyallahu 'Anhu, ia berkata: “bahwasanya Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam apabila sujud(seperti) bersayap dalam sujudnya itu sehingga nampak putihnya kedua ketiaknya.” [84]

Penjelasan dari Hadits-hadits tersebut

Perkataan: “Aku pernah melihat Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam apabila ia meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan apa bila bangkit beliau angkat kedua tangannya sebelum lututnya.”
Syarih berkata: “Hadits ini menunjukan diperintahkan karena meletakan kedua lutut sebelum tangan serta mengangkatnya ketika bangkit sebelum mengangkat lutut.” Adapun yang berpendapat seperti ini adalah jumhur Ulama’ dan begitu juga pada umumnya para Ulama’ di kalangan ahli fiqh, hal ini seperti diceritakan oleh Qadli Abu Thayyib.”
Akan tetapi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah beliau berkata: “Hadits Abu Hurairah Radliyallahu 'Anhu itu matannya/isi hadits terbalik(maqlub), pada sebagaian perawi-perawinya. Akan tetapi yang benar adalah :
Pada kalimat (lafadz hadits)
"وَالْيَضَعْ رَكْبَتَيْهِ قضبْلَ يَدَيْهِ".
Artinya: “Hendaklah kedua lututnya sebelum kedua tangannya” dan begitulah seperti yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah berkata: “telah diceritakan kepada kami, Muhammad bin Fudhail dari Abdullah bin Sa’id, dari datuknya, dari Abu Hurairah Radliyallahu 'Anhu dari Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam bahwasanya beliau pernah bersabda :
" إِذَاسَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَ أُ كُبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَ لاَ يَبْرُكُ كُبُرُوْكِ الْفَحْلِِ ".
Artinya: “Apabila salah seorang diantara kamu sujud, maka mulailah dengan (meletakan) kedua lututnya sebelum kedua tangannua dan janganlah ia turun/ menderum seperti turun/menderumnya unta.” [85]

 

Hal-hal yang berhubungan dengan sujud

Keadaan (Posisi) ketika melakukan sujud

" أحبر باأبو عثمان الضبيّ أحبرنا أبو محمد الجرّاحي أحبرنا ابو الئباس المحبوبي. أحبرنا بتدرار. أحبرنا أبو عامر العقدي أحبرنا فليح بن سليمان. حديثنى عباس بن سهل : عن أبى حميد الساعديّ أن النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم : كَانَ  اِذَا سُجَدَ أَمْكَنَ أَنْفَهُ وَ جِبْهَتَهُ عَلَى  الأَرْضِي وَ تَحَّى يضدَيْهِ عَنْ جَنْبِهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ حَذْ وَ مَنْكَبَيْه ". قِيْل,” هَذَا حديث حسن صحيح"
Artinya: “Dikhabarkan kepada kami Abu Utsman Adlabiyyu dikabarkan kepada Abu Muhammad Al Jarrahi, dikhabarkan kepada kami Abu Abbas Al-Mahbubiyu, dikhabarkan kepada kami Abu ‘Isa dikhabarkan kepada kami Bundaru., dikhabarkan kepada kami Abu Amir Al-aqdiy di kabarkan kepada kami Fulaih bin Sulaiman, diceritakan kepada saya Abbas bin Shal  dari Abi Humaid as-Sa’idiy bahwasanya Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam apabila beliau sujud beliau meletakan hidung dan dahinya pada tanah(bumi) dan beliau menjauhkan kedua tangannya dari pinggangnya, serta meletakan kedua telapak tangannya di  atas tanah(bumi) sejajar dengan kedua pundaknya.” (ini adalah hadits derajatnya hasan shohih) [86]
Dalam sabda yang lain pula beliau juga pernah berkata: “janganlah kamu membentangkan sikumu seperti binatang buas, hendaklah bertelekan pada telapak tanganmu dan renggangkanlah lenganmu dan sisi-sisimu, jika engkau lakukan hal itu, maka seluruh anggota tubuhmu telah sujud bersamamu.” [87]

Bagaimana posisi (keadaan) ketika turun dan bangun dalam sujud

Bahwasanya posisi(keadaan) ketika akan turun untuk sujud hendaknya ia meletakan kedua lututnya kemudian kedua tangannya kemudian baru wajahnya, hal itu kebaikan dari ketika akan bangun dari sujud hendaknya ia mulai dengan mengangkat wajahnya kemudian kedua tangannya kemudian baru kedua lututnya.Ini adalah pendapat yang disepakati oleh kedua Imam Madhzab antara Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah.
Adapun menurut pendapat yang yang disepakati oleh Imam Madzhab antara Imam asy-Syafi’i dan Imam Malik bin Anas Rahimahullah bisa anda lihat dalam footnote(garis bawah) ini. [88]

Bagaimana (posisi) meletakan ke dua tangan dalam keadaan sujud dan apa-apa yang berhubungan dengannya
Bahwasannya bagi yang  shalat ketika dalam keadaan sujud hendaknya ia meletakan kedua telapak tangannya di atas bumi(tanah). Sejajar dengan kedua pundaknya, merapatkan(menggenggam) jari-jari tangannya dan wajahnya dihadapkan ke arah kiblat. Ini adalah pendapat yang disepakati antara dua Imam Madzhab antara Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal, hal ini bisa anda lihat dalam footnote(garis bawah) di bawah ini. [89]

 

3. larangan-larangan yang ada di dalamnya; sujud seperti anjing.
Bahwasanya Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam meletakan terlebih dahulu dua tangannya  ke atas tanah, sebelum dua lututnya. [90]

" إِذَا جَسَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبَّرِكُ كَمَا يُبَرِّكُ  الْبَعِيْرُ وَالْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رَكْبَتَيْهِ ".
Artinya: “Apabila sujud salah seorang dari kalian, maka janganlah berlutut seperti berlututnya unta, maka hendaklah ia meletakkan dua tangannya sebelum dua lututnya.” [91]
Beliau mengingatkan, bahwa dua tangan itupun bersujud, sebagaimana bersujudnya wajah, oleh karena itu apabila ada diantara kalian akan meletakan wajahnya, maka hendaklah ia meletakan ke dua tangannya, dan apabila mengangkatnya maka hendaklah ia mengangkat keduanya. [92]
Kami tidak boleh mengumpulkan pakaian dan rambut(maksudnya menjadikan satu atau di ikat) agar tidak mengganggu waktu sujud. [93]

" إِذَاجَسَدَ الْعَبْدُ سَجَدَ مَعَهُ سَبْعَةُ آرَابٍ وَجْهَهُ وَكَفَّاهُ ".
Artinya: “Ketika seorang sujud maka sujudlah bersamanya tujuh anggota tubuhnya, yaitu wajahnya, dua telapak tangannya, dua lututnya dan dua yang telapak kakinya.” [94]

4. Kening Tertutup Ketika Sujud
Dalam beberapa hadits telah diterangkan tentang masalah ini diantaranya adalah sebagai berikut :
" وروي خباب بن الأوت dقال : شكونا إلى رسول الله b حتى الرمضإ جبا مناو أكفّنا فلم يشكنا".
            Artinya: “Kami mengadu kepada Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam akan panasnya pasir pada kening-kening kami dan telapak-telapak tangan kami, maka beliu tidak mengeluhkan kami.” [95]
" وروي جاببd قال : رأيت رسول الله b سجد بأعلى حيته على قصاص الشعر".
            Artinya: Aku melihat Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam sujud dengan bagian paling atas keningnya di atas tempat tumbuhnya rambut.” [96]
Maka menurut kami(an-Nawawi/Mazdhab Syafi’i) bahwa sujud di atas kening adalah wajib tanpa khilaf. Adapun yang paling utama, adalah sujud di atas keseluruhan kening atau sujud pada sebagiannya yang masih di sebut kening, demikian adalah makruh,  demikian penuturan Imam Syafii’i Rahimahullah dalam kitab Al-Umm.
Adapun memberi alas pada tempat sujud, jika alas itu adalah bagian dari pakaian(ikut bergerak saat sujud, berdiri, ruku dan lain-lain), maka itu tidak sah shalatnya tanpa khilaf.
Adapun jika alas itu adalah tidak bergerak dengan bergerak seperti kita (sujud, ruku’, berdiam dan lain-lain), walaupun itu masuk  bagian dari yang kita pakai maka sah shalatnya, karena itu terlepas, itu yang pertama kedua tidak sah, sebagaimana juga jika ujung kain yang kita pakai najis. Begitu pula tidak boleh untuk alas, walaupun tidak bergeraknya kita. Adapun sujud pada bagian yang terlepas dari kita(tidak bersambung dengan kita) maka sah tanpa khilaf. [97]
Adapun memintal/mengikat rambut agar tidak berburai ketika sujud maka itu tidak boleh, karena itu sebagaimana menghindarkan bagian pakaian kita dari tempat sujud, Sabda Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam
“Perumpamaan orang yang shalat dan mengikat rambutnya sebagaimana orang orang yang shalat  dan menghindarkan kainya dari tempat sujud.” [98]
Adapun menhindarkan kain/baju yang terjulur dari tempat sujud juga tidak boleh, sebagaimana sabda Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam, dalam hadits Ibnu Abbas Radliyallahu 'Anhu

" أمرت أن أسجد على سبعة أعظم و أن لا اكف  ثوبا ولا شعرا ".

Artinya: “Aku diperintahkan unuk sujud pada tujuh tulang dan untuk tidak mencegah baju dan rambut(yang terjukur kala sujud).” [99]


e. Ketika duduk.

1. Mengisyaratkan Dengan Jari Ketika Duduk Diantara Dua Sujud

Dalam Zaadul Ma’ad disebutkan bahwa Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam mengangkat kepalanya dengan bertakbir, tanpa harus mengangkat tangannya. Dari kondisi sujud beliau mengangkat kepalanya dulu sebelum beliau mengangkat tangan, kemudian duduk iftirosy, (yaitu membentangkan kaki kirinya lalu duduk di atasanya serta menegakkan kaki yang sebelah kanan).
An-Nasa’i Rahimahullah menyebutkan dari Ibnu Umar Radliyallahu 'Anhuma, ia berkata: “Dari sunnahnya shalat adalah menegakkan kaki kanan(telapak), lalu menghadapkan ke arah kiblat beserta jari-jarinya dan duduk di atas kaki sebelah kiri. Dan tidak didapatkan dari Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam model duduk dalam hal ini selain hal yang demikian.
Dan beliau meletakkan kedua tangannya diatas paha, dan menempatkan sikunya di atas paha(pula), ujung-ujung jari tangan sejajar dengan lutut, lalu menggenggam kedua jari, lalu melingkarkan berbentuk lingkaran(antara ibu jari dan jari tengah, perut), kemudian mengangkat jarinya, menggerak-gerakkan dan berdoa, seperti inilah yang dikatakan oleh Wa’il bin Hajar.1)
Adapun hadits Abu Dawud dari Abdillah Ibnu Zubair bahwa Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam mengisyaratkan dengan jari apabila berdo’a sambil menggerak-gerakkannya. 2)
Maka ini adalah penambahan yang perlu dikaji lagi tentag penshahihan/pembenaramnya. Muslim di dalam hadits yang panjang menyebutkan di dalam shahihnya bahwa penambahan itu tidak ada, akan tetapi, dia berkata bahwa Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam apabila duduk di dalam shalat menjdikan kaki kirinya diantara betis dan pahanya, lalu membentangkan kaki kanannya, dan meletakkan tangan kirinya diatas paha sebelah kiri, dan tangan kanan di atas paha sebelah kanan serta mengisyaratkan dengan jarinya. 3)
Dan juga pada hadits Abu Dawud tidak menunjukkan bahwa hal itu dilakukan di dalam sholat. Dan kalaulah hal itu dilakukan di dalam  shalat, sifatnya menunjukkan manfi(peniadaan) sedangkan hadits Wail bin Hajar itu bersifat penetapan. Dengan begitu ia harus didahulukan.  4)
Dalam hal tempat dibolehkannya mengangkat jari para ulama berbeda pendapat, yaitu:
1.      Menetapkan hal(mengangkat jari tangan) dan tidak membatasi tempatnya. Pendapat ini dipegang oleh Zaidah Ibnu Qudamah, Basyar Ibnul Mufadlal, Sufyan ats-Tsauri dan Sufyan bin al-Uyainah. Meskipun konteks riwayat mereka menunukkan bahwa hal itu terjadi saat tasyahud.
2.      Bahwa mengangkat jari tangan itu pada saat tasyahud. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Uyainah dalam riwayat Nasa’i (1/ 173). Syu’bah Ibnu Huzaimah di dalam shahihnya (697), dan Ahmad (4/ 319). at-Thabrani di dalam Mu’jam al kabir (22/ 34/ 80), (3) Berbeda dengan Abdurrozaq, yang  menyelisihi mereka semua berdasarkan riwayat dari ats tsauri. Ia berkata didalam “Al-mushonif” (2/ 68/ 252), dalam riwayat Ahmad (4/ 317), Thobrani di dalam mu’jam al kabir” (22/ 34/ 81): dari Ats-Tsauri dari Ashim Ibnu kilaib dari bapaknya, berkata: “Aku melihat Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam didalam sholat meletakkan kedua tangannya setara kedua telinganya, kemudian duduk dan membentangkan kaki kirinya dan meletakkan tangan kirinya di atas paha sebelah kiri, dan meletakkan tangan kanan di atas paha kanan, lalu mengisyaratkan(mengangkat) jari telunjuknya, lalu sujud dan telinganya sejajar dengan telinga“.  Syaikh al-Albany berkata: “konteks in dari pengarang sedangkan penambahannya dari Ahmad.”
            Maka penyebutannya sujud yang kedua setelah mengangkat jari telunjuk adalah kesalahan yang jelas, karena telah menyelisih, semua periwayatan-periwayatan yang lalu dari Ulama tsiqah, mereka semua tidak menyebutkan sujud setelah mengangkat jari, namun sebagian mereka menyebutan hal itu sebelum mengangkat jari, dan inilah yang betul dan mereka tidak menyebutkan sujud yang kedua.1)
Kesimpulan :
Semua hadits yang berbicara tentang mengangkat jari telunjuk bersifat umum, yaitu pada saat tasyahud
Banyaknya perselidihan yang terjadi diantara para ulama adalah tentang hanya sekedar mengangkat jari saja atau harus menggoyangkannya juga.
Bahwa Syaikh Al Bani menyebutkan bahwa para ulama’ dalam periwayatannya tidak menyebutkan adanya sujud yang kedua setelah mengangkat jari tangan.

2. Duduk antara dua sujud
Dalam duduk antara dua sujud Rasulullah memulainya dengan mengangkat kepalanya seraya bertakbir tanpa mengangkat kedua tangannya, beliau mengangkat kepalanya sebelum kedua tangannya kemudian duduk secara iftirasy, yaitu membentangkan kakinya yang kira dan duduk di atasnya serata menegakkan yang kanan.
Imam An Nasa’I menyebutkan dari Ibnu Umar ia berkata: “Di antara yang termasuk sunnah shalat adalah menegakkan kaki telapak kaki kanan dan menghadapkannya ke arah kiblat beserta jari-jarinya, dan duduk di atas telapak kaki kiri”. (Sunan An Nasa’I, no: 1159). Dan beliau belum pernah menghafal dari Rasulullah Shallallahu’alihi Wasallam selain dari sifat duduk ini. [100]
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni : Adalah  sunnah  duduk di antara duduk secara iftirasy, yaitu menekuk kaki kiri serta membentangkannya dan duduk di atasnya, dan menegakkan kaki kanan serta mengeluarkannya dari bagian bawahnya dan menjadikan telapak jari-jarinya di atas tanah dengan bersandar di atasnya dan menghadapkannya ke arah kiblat. [101]

3. Tata Cara Duduk Tasyahhud

Hadits yang pertama, yaitu:

" عن عامر بن عبد الله بن الزبير عن أبيه قال: (كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا قعد في الصلاة جعل قدمه اليسرى بين فخذه وساقه وفرش قدمه اليمنى, ووضع يده اليسرى على ركبته اليسرى ووضع يده اليمنى على فخذه اليمنى وأشار بإصبعه ".
Artinya: “Dari Amir bin Abdullah bin az-Zubair dari bapaknya ia berkata: ”bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam jika duduk di dalam shalat beliau menjadikan telapak kakinya yang kiri berada diantara paha dan betisnya dan membentangkan telapak kakinya yang kanan, dan beliau meletakkan tangannya yang kiri di atas lututnya yang kiri dan meletakkan tangannya yang kanan di atas pahanya yang kanan dan beliau berisyarat dengan jari telunjuknya.” [102]
Hadits ini adalah menunjukkan duduk pada rakaat terakhir dan ini adalah salah satu dari dua sifat duduk tasyahhud yang diriwayatkan.
Adapun hadits yang kedua adalah:

" قال أبو حميد الساعدي: (أنا كنت أحفظكم لصلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم, رأيته إذا كبر جعل يديه حذاء منكبيه, وإذا ركع أمكن يديه من ركبتيه, ثم هصر ظهره, فإذا رفع رأسه استوى حتى يعود كل فقار مكانه, فإذا سجد وضع يديه غير مفترش ولا قابضهما, واستقبل بأطراف أصابع رجليه القبلة, فإذا جلس في الركعتين جلس على رجله اليسرى ونصب اليمنى, وإذا جلس في الركعة الآخرة قدم رجله اليسرى ونصب الأخرى وقعد على مقعدته ".
Artinya: “Abu Humaid As Sa’idiy berkata: “Aku adalah orang yang paling hafal di antara kalian tentang shalat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, aku melihat beliau apabila takbir beliau menjadikan kedua tangannya berada di depan kedua pundaknya, dan apabila ruku’ beliau meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya kemudian menekuk punggungnya, dan apabila beliau mengangkat kepalanya (bangkit dari ruku’) tegak lurus sehingga semua persendian kembali kepada tempatnya semula, dan apabila sujud beliau meletakkan kedua tangannya tidak membentang dan tidak pula menggenggam, dan menghadapkan ujung-ujung jari-jari kakinya ke arah kiblat, dan apabila duduk dalam dua raka’at pertama(untuk tasyahhud) beliau duduk di atas kakinya yang kiri dan menegakkan kakinya yang kanan, dan apabila duduk dalam raka’at terakhir beliau memajukan kakinya yang kiri  dan menegakkan kakinya yang kanan dan beliau duduk di atas tempat duduknya.” [103]
Maka Abu Humaid menyebutkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menegakkan kakinya yang kanan, dan Ibnu Zubair menyebutkan bahwasanya beliau membentangkannya, dan tidak seorang pun yang mengatakan tentang itu, sesunggguhnya ini adalah sifat duduk dalam tasyahhud pertama, dan tidak seorang pun mengatakannya demikian tetapi sebagian orang ada yang mengatakan:
Duduk tawarruk dalam dua tasyahhud, ini adalah madzhab Imam Malik
Duduk iftirasy dalam dua tasyahhud, menegakkan kaki kanan dan membentangkan kaki kiri dan duduk di atasnya, ini adalah perkataan Abu Hanifah.
Duduk tawarruk dalam setiap tasyahhud yang setelahnya salam, dan iftirasy dalam tasyahhud yang lai, ini adalah perkataan asy-Syafi’i.
Duduk tawarruk dalam tasyahhud terakhir pada setiap shalat yang di dalamnya ada dua tasyahhud, sebagai pembeda antara dua duduk yang lain, ini adalah perkataan Imam Ahmad.
Adapun makna hadits Ibnu Zubair di atas bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam membentangkan kaki kanannya adalah, sesungguhnya beliau duduk di atas tempat duduknya, maka telapak kaki beliau yang kanan dalam keadaan terbentang, dan telapak kakinya yang kiri berada diantara paha dan betis beliau, dan tempat duduknya di atas tanah, maka terjadilah perbedaan dalam telapak kaki beliau yang kanan, apakah ia terbentang(mufrusyah) atau tegak(manshubah)? Dan ini -Allhu A’lam- pada hakikatnya bukanlah perbedaan, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak duduk di atas telapak kakinya, tetapi beliau mengeluarkannya di sebelah kanannya, maka jadilah telapak kakinya yang kanan antara tegak dan terbentang, maka sesungguhnya itu adalah telapak kaki yang kanan, maka ia terbentang dalam artian tidak menegakkanya tetapi duduk di atas tumitnya, dan tegak dalam artian, sesungguhnya beliau tidak duduk di atas telapak kakinya dan punggung kakinya menghadap ke tanah, maka betullah apa yang dikatakan Abu Humaid dan orang-orang yang sependapat dengan beliau, adapun perkataan Ibnu Zubair atau dikatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengerjakan begini dan begini, maka itu adalah beliau menegakkan telapak kakinya yang kanan, dan beliau sesekali membentangkannya dan itu lebih enak bagi beliau. Wallahu A’lam.[104]

4.  Menggerakan Jari Ketika Tasyahud

Banyak dari kaum muslimin yang masih memperselisihkan masalah yang mestinya sudah jelas untuk dikerjakan. Diantaranya adalah tata cara turun ke sujud, apakah mendahulukan tangan atau lutut dahulu. Sejatinya masalah ini telah berlalu sejak zaman Khulafa’ Rasyidin.
Para Ulama berselisih pandapat dalam masalah ini dan masing-masing pendapat dikuatkan dengan alasan masing-masing, yaitu:
Jumhur mengatakan tidak bolehnya menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud namun bila tetap dilakukan maka hukumnya menjadi makruh sedang sholatnya tetap sah.
Haram untuk menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud dan batallah shalatnya. Akan tetapi pendapat ini lemah yang telah diriwayatkan oleh Abi Ali dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu.
Disukai menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud.Yang berpendapat demikian adalah Syaikh Abdul Hamid al Bandaniji, Qadli Abu Thalib dan selainnya. Mereka beralasan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Wail bin Hujr Radhiyallahu 'Anhu bahwa beliau melihat salat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam ketika tasyahud dan beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkata :

" ثمَ رفع أ صبعه فرأته يحركها يدعو بها ".( رواه البيهقى )
Artinya: “Kemudian aku melihat beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengangkat dan menggerak-gerakan jarinya lalu berdoa dengannya”. (HR. al-Baihaqi) [105]
Sedangkan yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Zubair Radhiyallahu 'Anhuma  bertolak dengan hadits diatas yang berbunyi :

" أن النبيَ صلََََََى الله عليه وسلَََم كان يشير بأصبعه اذا دعا لايحركها ".( رواه أبوداود )
Artinya: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam mngisyaratkan dengan jarinya ketika berdoa dan tidak menggerak-gerakkannya.” (HR Abu Dawud)[106]
Al-Baihaqi Rahimahullah mengatakan: “Hadits ini mengandung kemungkinan bahwa maksud menggerakan jari di sini adalah berupa isyarat saja tidak dengan menggoyang-goyangkan jari sehingga hadits ini bisa bersesuaian dengan yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jubair Radhiyallahu 'Anhuma.” [107]
Para Ulama sepakat untuk menggerakan jari ketika duduk tasyahud dalam shalat akan tetapi mereka berselisih apakah digoyangkan atau tidak.
Imam Malik Rahimahullah berpendapat untuk menggerakan jari kekanan dan kekiri hikmahnya adalah mengingatkan orang yang sedang shalat sebab pangkal jari itu bersambung dengan hati sehingga hati ikut bergerak dengan begitu hati akan selalu bergerak dan ingat pada Allah Ta'ala, hikmah lainnya adalah dapat menyakiti setan sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma.
Adapun Imam Ahmad berpendapat tidak menggerakan jari. [108]
Para ulama juga memperselisihkan tentang waktu menggerakan jari
Imam As Syafi’i Rahimahullah berkata: “Mengisyaratkan jari ketika mengucapkan الا الله dan tidak menggerakkannya serta mengangkat tangan hingga bangun untuk tasyahud awal dan salam ketika tasyahud akhir.”
Imam Abu Hanifah Rahimahullah berpendapat mengangkat jari ketika membaca لا اله dan meletakkannya kembali diatas paha ketika membaca  الله الاmenangkat jari sebagi bentuk penafsiran dari Illah dan meletakkannya sebagai tafsiran dari penetapan atas Allah Ta'ala.” [109]

5. Lafadz sayyidina ketika mengucap shalawat dan Lafadz-lafadz sholawat yang masyhur

Lafadz-lafadz sholawat yang masyhur


" عن أبي مسعودٍ قال : أتانا رسول الله صلى الله عليه وسلم و نحن في مجلس سعد بن  عبادةَ, فقال له بشير بن سغدٍ : أمر نا الله أن نصلي عليك, فكيف نصلى عليك ؟ قال: فسكتَ رسول الله صلى الله عليه وسلم حَتَّى تَمَنَيْنَا اَنَّهُ لم يسأله, ثمّ قال رسول الله صلى الله عليه وسلمو قوله : ((اللّهمَّ صَلِّ علَى محمّد و على آل محمّدٍ كماَ صَلَّيْتَ عَلىَ  إبراهِيم و على آل ابرلمتفق علي ابراهيم و بارك على  محمّدٍ و على آل محمّدٍ كمَا بَرَكْتَ علَى ابراهيم و على آل ابراهيم إنك حميد مجيد)) و السلام كما قد عملتم ". (رواه أحمد و مسلم و النسائي و الترمذي و صحّحه)
Artinya: “Dari Abu Mas’ud Radliyallahu 'Anhu ia berkata: “Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam pernah datang kepada kami, yang waktu itu kami sedang duduk-duduk dengan Sa’ad bin Ubadah Radliyallahu 'Anhu, lalu Basyir bin Sa’ad berkata kepadanya: “Kami diperintahkan untuk bershalawat untuk engkau, maka bagaimana kami harus beshalawat untuk itu ? Abi Mas’ud Radliyallahu 'Anhu berkata : “Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam kemudian diam, sehingga kami merasa lebih tenang seandainya Basyir tidak bertanya, kemudian Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Katakanlah: ALLAHUMMA SHALLI ‘ALA MUHAMMAD, WAALA AALI MUHAMMAD, KAMAA SHALLAITA ‘ALA AALI IBRAHIM, WABARIK ‘ALA AALI IBRAHIM, INNAKA HAMIDUN MAJIED, sedangkan salam adalah seperti yang telah kamu ketahui.” (HR. Ahmad, Muslim, AN-Nas’i dan AT-Tirmidzi mengesahkannya) [110]
Dan bagi Imam  Ahmad Rahimahullah dalam satu lafadz yang lain, seperti itu juga, tetapi disana ada kata-kata: “Bagaimana kami bershalawat untuk mu jika kami bershalawat dalam shalat kami?

Menurut Madzhab Imam Malik dan Abu Hanifah bahwa Shalawat atas Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam  adalah sebagai berikut:

" اللّهمَّ صَلِّ علَى محمّد و على آل محمّدٍ كماَ صَلَّيْتَ عَلىَ  إبراهِيم و على آل ابرلمتفق علي ابراهيم و بارك على  محمّدٍ و على آل محمّدٍ كمَا بَرَكْتَ علَى ابراهيم و على آل ابراهيم  في العالمين إنك حميد مجيد ".[111]
Adapun menurut Madzhab Imam Ahmad bin Hambal bahwa shalawat atas Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam sebagai berikut :

" اللّهمَّ صَلِّ علَى محمّد و على آل محمّدٍ كماَ صَلَّيْتَ عَلىَ  إبراهِيم إنك حميد مجيد و بارك على  محمّدٍ و على آل محمّدٍ كمَا بَرَكْتَ علَى ابراهيم و على آل ابراهيم في العالمين إنك حميد مجيد ".
Yang kemudian pengikut-pengikut Imam Syafi’ie menambahkan lafadz “Sayyidina” di dalamnya, yang lafadznya berbunyi (سيّدنا محمّد, سيّدنَا أبراهيم[112]
Adapun lafadz shalawat yang lainya adalah sebagai berikut:

" اللّهمَّ صَلِّ علَى محمّد النبي الأمتي و على آل محمّدٍ كماَ صَلَّيْتَ عَلىَ  إبراهِيم و بارك على  محمّدٍ النبي الأمتي و على آل محمّدٍ كمَا بَرَكْتَ على آل ابراهيم في العالمين إنك حميد مجيد ".[113]
" اللّهمَّ صَلِّ علَى محمّد و على ازوجه وذريته, كما صَلَّيْتَ عَلىَ   إبراهِيم, و بارك على  محمّدٍ و على ازوجه وذريته كمَا بَرَكْتَ على ابراهيم إنك حميد مجيد ". [114]
Dan masih banyak lagi lafadz-lafadz shalawat atas Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam di dalam kitab-kitab hadits yang shahih dan hasan, yang semua lafadz-lafadz shalawat atas Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam di atas boleh digunakan berdasarkan riwayatnya yang shahih, dan karenannya Ibnu Taimiyyah Rahimahullah menerangkan/menjelaskan dalam kitabnya “al-fatawa al-Kubra”, bahwasanya orang-orang yang mengikut/memilih lafadz-lafadz do’a, dzikir dan yang lainnya yang diucapkan/diajarkan Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam dengan lafadz yang bermacam-macam, atau diriwayatkan dengan lafadz yang berbeda-beda maka hukumnya  Mustahab.[115]

Lafadz sayyidina di waktu sholat dan di luar sholat

Ulama’ berselisih dalam menghukum tambahan lafadz “Sayyidina” dari Ibnu Hajar Rahimahullah menegaskan: “Yang lebih utama hendaknya mengikuti lafadz-lafadz yang telah jelas-jelas keshahihanya, sedangkan menambahkan lafadz sayyidina dalam shalat tidak ada satu riwayatpun dari kalangan Shahabat dan juga tabi’ien yang membenarkannya.
Imam Syafi’I Rahimahullah adalah dikenal dengan orang yang paling banyak di dalam menghormati Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam, beliau berkata di dalam tulisan khutbahnya yang dijadikan pedoman/pegangan bagi pengikut madzhabnya yang berbunyi: “….. disini jelas bahwa Imam Syafi’i tidak menambah dengan lafadz “Sayyidina” didalamnya, bahkan dalam kitab fiqih 4 Imam Madzhab disebut bahwa pengikut madzhab beliaulah  yang telah menambahkan lafadz “sayyidina” di dalamnya.
Maka menambahkan lafadz ‘Sayyidina” dalam shalat tidaklah dibenarkan, karena menambah dan mengurangi atau bahkan menambah sesuatu yang telah disyariatkan adalah perbuatan dosa dan ketahuilah bahwasanya asal  ibadah adalah tauqif(Paketan).
Adapun tambahan lafadz “Sayyidina” di luar shalat di perbolehkan asalkan tidak menambahkan sesuatu yang telah disyariatkan, karena memang asal ibadah itu adalah tauqif yang tidak boleh kita mengurangi, menambah atau bahkan merubahnya.[116]

Kesimpulan :

Perlu kita ketahui bahwasanya apa saja yang Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam ucapkan atau ajarkan kepada kita dengan lafadz yang bermacam-macam ataupun diriwayatkan dengan riwayat dari sekian riwayat-riwayat yang shahih sebagai contoh dalam riwayat bahwa Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam pernah mengajarkan shalawat dengan bunyi lafadz :

" اللّهمَّ صَلِّ علَى محمّد و على آل محمّدٍ....................".
Dan ada juga riwayat lain, bahwa Nabi Mengajarkan sholawat dengan lafadz …..

" اللّهمَّ  صَلِّ علَى محمّد و على ازوجه وذريته.......".
Dari riwayat-riwayat yang ada di atas kita boleh memilihnya karena hukumnya mustahab, demikian perkataan Ibnu Taimiyah Rahimahullah di dalam kitabnya al- Fatawa al-Kubra.
Adapun menambahkan lafadz “Sayiddina” dalam shalawat di dalam shalat tidak ada satu riwayatpun dari kalangan Shahabat dan tabi’ien yang membenarkannya, adapun menambahkannya di dalam shalawat di luar waktu shalat diperbolehkan asalkan tidak mengubah makna yang asli dari ibadah yang sudah tauqif(paketan).


6. Duduk Iq’a

Duduk Iq’a adalah duduk dengan menegakan kedua telapak kaki, adapun hukumnya ada yang mubah dan ada yang dimakruhkan, dalam hadits diterangkan :
" و عن أبي هريرة قال : نهانى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ثلاث : عن نقرة كنقرة الديك واقعار  كاقعار  الكبا والتفات كالتفات الثعلب ". (رواه)
Artinya: “Dari Abu Hurairah Radliyallahu 'Anhu beliau berkata: “Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam telah melarang dari tiga hal dalam shalat: mematuk seperti matuknya ayam, duduk sebagaimana duduknya anjing, menolak sebagaimana menolehnya serigala.” [117]
Al Iq’a ada dua macam, yaitu:
  1. Menempelkan/meletakkan pantat dan kedua tangan di tanah dan mengangkat kedua ketisnya, hal ini menyerupai iq’anya/duduknya anjing, dan yang demikian di makruhkan sebagaimana disebutkan dalam hadits akan larangannya.
2. Meletakkan pantat di atas kedua tumit dan kedua lutut di tanah dan ini merupakan sunnah sebagaimana yang dimaksudkan Ibnu Abbas rama disebutkan dalam hadits

" قال : فلنا لا بن عابس في الا ئقعار على القدمين ؟ فقل : هي السنة ". (أحرجه مسلم وأبوداود والترميدي ,  وزاد وأبوداود بعد "القدمين في السجود)
Artinya: “Kami telah bertanya kepada Ibnu Abbas Radliyallahu 'Anhu perihal(duduk) iq’a di atas telapak kaki, maka beliu berkata: “hal tersebut merupakan sunnah.” 1)
Berkata imam at-Turmudzi

" لانفع بين السجدتين ".
Artinya: “Jangan kamu lakukan(iq’a) diantara dua sujud.”
Hadits ini melarang akan larangan iq’a yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas Radliyallahu 'Anhuma, beliau berkata: “Merupakan sunnah (dalam sholat) kedua tumitmu menyentuh pantatmu.”
Para Ulama’ menjelaskan dan jama’/penggabungan antara kedua hadits: yang melarang/memakruhkan iq’a dengan hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas Radliyallahu 'Anhuma yang menyatakan akan kebutuhannya dan disunnahkan.
Imam al-Baihaqi, Qodli bin ‘Iyadh, Ibnu Shaleh, an-Nawawi dan jama’ah para Muhaqidin menyatakan bahwa hadits yang melarang iq’a adalah berlaku ketika posisi duduk iq’a tersebut menyerupai iq’anya anjing.
Adapaun iq’a sebagaimana yang dijelaskna Ibnu Abbas Radliyallahu 'Anhu yang lainnya in merupakan Sunnah Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam sebagaimana pengertian diatas.

Kesimpulan :
Dijelaskan bahwa yang menyatakan hadits –hadits tertang iq’a itu marsuluh (terhapus) maka itu dikarenakan ketidaktahuannya dari sejarah-sejarah hadits tersebut.
Tidak boleh mendahulukan nash (metode penghapusan hadits) tanpa melalui metode jami (penggabungan) antara kedua haditsnya tersebut.
Ibnu Hajar Al Maliki Rahimahullah menyatakan: “Bahwasannya duduk iftirosy antara dua sujud itu lebih afdlal dari duduk iq’a, meskipun keduanya disunnahkan, karena hal tersebut lebih banyak dilakukan Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam.[118]


7.  Duduk Istirohat Di Dalam Shalat

Sholat adalah faridlah atas setiap muslim, maka melaksanakannya harus sesuai dengan apa yang telah ditetapakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Beliau bersabda

" صلّوا كما رأيتمونى أصلّي ".

Artinya: “Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat.” [119]

Pengertian duduk istirahat

            DR. Wahbah Az-Zuhaily berkata: “Duduk istirahat adalah duduk ringan setelah sujud kedua, disetiap raka’at yang akan berdiri(raka’at yang tidak ada tasyahhud”.[120]
            Syaikh Sayyid Sabiq berkata: “Duduk istirahat adalah duduk ringan yang dilakukan seseorang setelah sujud kedua dari raka’at pertama sebelum berdiri pada raka’at kedua, dan setelah sujud kedua dari raka’at ketiga sebelum berdiri ke raka’at ke empat”.[121]

Cara duduk istirahah
Para Ulama’ berbeda  pendapat tentang tata-cara duduk istirahah, adapun pendapat mereka sebagai berikut:
Madzhab asy-Syafi’i berpendapat bahwa duduk istirahah adalah dengan iftirasy, yaitu sebagaimana duduk diantara dua sujud. Hal ini berdasarkan dalil hadits dari Abu Hamid alaihis salam-Sa’idy Radhiallahu'anhu

" ثمّ ثنى رجله و قعد و اعتدل حتّى رجع كلّ عضوفي موضعه ثمّ نهض ".(رواه أبو داود و الترمذي و قال حديث حسن صحيح)
Artinya: ”Kemudian Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam melipat kakinya dan duduk serta menyempurnakan(lurus) hingga kembali setiap persendian pada tempatnya, lalu beliau bangkit.” [122]
Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Qudamah Rahimahullah, ia berkata: ”ini merupakan dalil yang jelas tentang tata-cara duduk istirahah, maka tata-cara duduk istirahah tersebut dikembalikan kepada hadits tersebut yaitu secara iftirasy.”
Al-Khallah berkata: ”Telah diriwayatkan dari Imam Ahmad Rahimahullah bahwa Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam duduk di atas dua pantatnya(duduk Iq’a) ketika duduk istirahah.”
Al-Qadli berkata: ”Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam duduk di atas telapak kaki dan pantatnya yang ditempelkan di bumi(tanah), karena bila Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam duduk dengan iftirasy(menyebabkan beliau tidak aman) dari kelupaan sehingga beliau ragu apakah duduk sajadah pertama atau kedua.”
Abul Hasan al-Midy berkata: ”tidak ada perselisihan diantara para shahabat kami bahwa Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam tidak menempelkan kedua pantatnya di bumi(tanah) ketika duduk istirahah akan tetapi bergantung(duduk iftirasy).”

Hukum duduk istirahat

            Para Ulama’ berbeda pendapat tentang hukum duduk istirahah, dan masing-masing mereka memiliki dalil yang menguatkan pendapatnya, diantara ikhtilafnya ialah:
1. Pendapat yang menyatakan sunah.
            Madzhab asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa dududk istirohah adalah sunnah. [123]  baik ia sebagai makmum ataupun imam ataupun dalam keadaan sholat sendirian.
Imam An- Nawawi Rahimahullah berkata: ”Yang benar dan masyhur dalam madzhab kami(madzhab Syafi’i) bahwasanya duduk istirahat itu disunnahkan. Demikian pula yang dikatakan oleh: Malik bin Huwairits, Abu Hamid, Abu Qatadah dan sebahagian dari kalangan Shahabat, dan ini juga pendapat  Abu Qutaibah dan selainnya dari kalangan Tabi’in’.
At- Tirmidzi Rahimahullah berkata: ”Ini juga merupakan pendapat shahabat-shahabat kami, dan pendapat ini juga merupakan madzhab Abu Dawud  dan satu riwayat dari Imam Ahmad”. [124]  Golongan ini berhujah dengan dalil diantaranya :
Imam an-Nawawy Rahimahullah berkata: ”adapun shahabat-shahabat kami berhujjah dengan hadits yang bersumber dari Shahabat Malik bin Huwairits Radhiyallahu'anhu

" أنّه رأى النييّ صلى الله عليه وسلم  يصليّ فإذا كان في وتر من صلاته لم ينهض حتّى يستوي قائدا". (رواه النخاري)
            Artinya: ”Bahwa Malik bin Huwairits Rahimahullah melihat Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam shalat, maka apabila beliau sampai pada rakaat yang ganjil(rakaat pertama dan ketiga) dari shalatnya beliau tidak langsung berdiri hingga beliau duduk dengan sempurna.” [125]
Imam an-Nawawy Rahimahullah berkata: ”ketahuilah bahwa duduk istirahah merupakan amalan Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam di dalam shalat setelah sujud kedua pada rakaat pertama dan ketiga) maka madzhab kami mensunnahkannya berdasarkan hadits-hadits shahih tersebut. Dan tidak disunnahkan duduk istirahah itu ketika sujud tilawah.” [126]
Ibnu Hajar al-Asqalany Rahimahullah berkata setelah menyebutkan hadits dari Malik bin Huwairits Radhiyallahu'anhu: ”dalam hadits tersebut dijelaskan masyru’iyyah duduk istirahah. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa duduk istirahah itu dilakukan oleh Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam karena ada sebab karena beliau telah tua atau yang lainnya beliau mengomentarinya: ”pada asalnya hadits tersebut tidak menyebutkan adanya ‘illah(sebab) sesuatu yang mengkhususkan Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam duduk istirahah, dikarenakan Malik bin Huwairits Radhiyallahu'anhu adalah seorang Shahabat yang meriwayatkan hadits “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” maka riwayat beliau  dalam menjelaskan sifat shalat Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam termasuk dalam hal ini”. [127]
al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ menyatakan bahwa Ulama’ telah bersepakat tentang duduknya seseorang yang shalat setelah bangkit dari sujud kedua pada rakaat pertama dan ketiga sebelum bangkit pada rakaat kedua dan keempat bukan termasuk dari kewajiban-kewajiban shalat dan bukan pula termasuk dari sunnah-sunnah yang ditekankan. Akan tetapi para Ulama berbeda pendapat apakah ia merupakan sunnah biasa atau bukan merupakan amalan di dalam shalat atau dilakukan bagi siapa saja yang butuh terhadap duduk istirahah tersebut dikarenakan tua, sakit, atau badan yang berat.
Tidak disebutkan duduk istirahah dalam beberapa hadits yang menjelaskan tentang sifat shalat Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam bukan berarti duduk istirahah tersebut tidak ada, minimal ada beberapa hal yang menguatkan bahwa duduk istirahah merupakan sunnah dari Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam yaitu, pada asalnya perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam adalah untuk diikuti.
Telah tetapnya hadits yang menjelaskan tentang duduk istirahah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam di dalam hadits Abu Sa’id alaihis salam-Sa’idy Radhiallahu'anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad Jayyid (baik) bahwa Abu Sa’id as-Sa’idy menjelaskan sifat shalat Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam kepada 10 orang Shahabat beliau kemudian mereka membenarkan apa yang disampaikan oleh Abu Sa’id as-Sa’idy Radhiallahu'anhu. Wallahu A’lam.  [128] Dan adapun hadits diatsa dijadikan dasar oleh madzhab Asy Syafi’i dan segolongan ahli hadits tentang sunnahnya melaksanakan duduk istirahah.

2. Pendapat yang menyatakan bukan sunah
Dan kebanyakan para Ulama’ dan sebagian besar dari mereka berpendapat bahwa duduk istirahat itu tidak disunnahkan, maka apabila seseorang mengangkat kepalanya dari sujud(kedua) ia langsung berdiri.[129]
            Imam Bukhary Rahimahullah juga meriwayatkan dari jalan yang banyak hadits yang sesuai maknanya, yaitu dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu

" عن أبي هريرة رضي الله عنه أنّ النييّ صلى الله عليه وسلم  في حديث المسيء صلاته : اسحد حتّى تطمئن ساجدا ثمّ ارفع حتّى تطمئن جالسا ثمّ اسجد حتّى تطمئن ستجدا ثمّ ارفع حتّى تطمئن جالسا". (رواه البخاري)
            Artinya: ”Dari Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu sesungguhnya Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam dalam hadits musi’(orang yang buruk shalatnya) bersabda padanya:sujudlah hingga kamu benar-benar(sempurna) sujud, kemudian bangkitlah hingga kamu benar-benar(sempurna) duduk, kemudian sujuslah hingga kamu benar-benar(sempurna) sujud, kemudian bangkitlah hingga kamu benar-benar(sempurna) duduk.“ [130]
            Dari Abu Hamid Radhiyallahu'anhu dan selainnya dari kalangan Shahabat mereka mensifati shalar Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam

" ثمّ هوى ساجدا ثمّ ثنى رجله حتّى رجع كلّ عظم موضوه ثمّ نهض ".
Artinya: ”Kemudian beliau turun untuk sujud lalu beliau melipat kakinya dan duduk hingga kembali setiap persendian pada tempatnya, kemudian beliau berdiri.“ [131]
Dari dali-dalil ini menyebutkan bahwa kebanyakan para Ulama’ berpendapat bahwa hukum duduk istirahat tidak disunnahkan, maka apabila seseorang mengangkat kepalanya dari sujud kedua dari raka’at pertama dan ketiga maka  ia langsung berdiri.[132]
Ibnul Mundzir Rahimahullah meriwayatkan pendapat ini dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas Radhiyallahu'anhum, dan Abi Zinad, Imam Malik, Ats- Tsaury, Ashhabur Ro’yi, Ahmad dan Ishaq Rahimahumullah .
Nu’man bin Abbas Rahimahullah berkata: ”aku telah banyak menemui lebih dari seorang Shahabat Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam melakukan ini (langsung berdiri tanpa duduk istirahah).”
Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah berkata: ”Banyak hadits-hadits yang menjelaskan hal ini(yaitu langsung berdiri tanpa duduk istirohat), dan beliau(Imam Ahmad) berhujjah dengan hadit musi’ yaitu hadits tentang Rasul yang mengajarkan shalat kepada seseorang yang buruk shalatnya dan disebutkan didalamnya tentang duduk istirahah.“
Sebagian Ulama’ berpendapat seandainya hal tersebut sunah maka pasti akan disebutkan dalam sifat shalat Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam yang menguatkan adalah bahwa beliau melakukannya karena hajat dan tidak ada ittifaq/kesepakatan para ulama atasnya. Al Khollal menyebutkan tentang  dasar hadits yang digunakan golongan yang mensunnahkannya, bahkan beliau sebutkan dua hadits akan tetapi beliau tidak melaksanakannya.[133]

Pendapat yang rojih
Imam Ahmad Rahimahullah berkata: “Adapun banyaknya hadits mengenai hal ini tidaklah memperkuat ataupun menghapus hadits lainnya, karena hadits tersebut berupa kabar semata dan kami telah mendapatkan perselisihan dalam maslah ini, bila hadits dari Wa’il Radliyallahu 'Anhu tersebut berupa taqrir Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam dengan banyaknya riwayat, namun tidak menunjukan kuatnya atau menghapus hadits lain. Dan tiadk dilazimkan menolak satu sunah dengan sunah lainnya. [134]
al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ menyatakan bahwa Ulama’ telah bersepakat tentang duduknya seseorang yang shalat setelah bangkit dari sujud kedua pada rakaat pertama dan ketiga sebelum bangkit pada rakaat kedua dan keempat bukan termasuk dari kewajiban-kewajiban shalat dan bukan pula termasuk dari sunnah-sunnah yang ditekankan. Akan tetapi para Ulama berbeda pendapat apakah ia merupakan sunnah biasa atau bukan merupakan amalan di dalam shalat atau dilakukan bagi siapa saja yang butuh terhadap duduk Istirahah tersebut dikarenakan tua, sakit, atau badan yang berat.
Setelah menyebutkan tiga pendapat yang berbeda sebagaimana telah dipaparkan di atas, al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ menyatakan bahwa yang tampak dari amalan duduk Istirahah adalah merupakan sunnah yang mutlaq. Adapun menjama’ dari berbagai pendapat yang bertentangan tersebut adalah bahwa duduk istirahah dilakukan bila kondisi, dan yang masyru’ adalah bagi yang membutuhkan untuk duduk tersebut.[135]
Imam ath-Thahawy Rahimahullah berkata: ”seandainya duduk istirahah itu disyari’atkan, tentulah Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam menyebutkannya sebagaimana beliau menyebutkan yang lain.”
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata: “Tidak boleh mengingkari seorang yang tidak mengerjakan dengan orang yang mengerjakannya walaupun ia seorang makmum sedangkan imamnya melaksanakan duduk tersebut karena hal ini adalah perkara ijtihad. bahwasanya mengikuti imam adalah lebih utama. Dan sebagaimana bila imam berdiri dari tasyahud awal sedang makmum belum menyempurnakannya dan ia menganggapnya sebagai sunah ataupun sebagaimana imam yang telah melakukan salam sedang makmum masih menyelesaikan do’a sebelum salam, beginilah perkara ijtihad dan yang terbaik adalah mengikuti imam.”[136]
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata: ”Seandainya duduk istirahah merupakan petunjuk dari Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam dan merupakan sesuatu yang disunnahkan, tentulah beliau akan melaksanakannya terus-menerus dan akan disebutkan di dalam hadits oleh siapa saja yang menyebutkan sifat shalat Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam, dan kesendirian beliau melaksanakan duduk ini maka hal ini tidak menunjukkan bahwa duduk istirahah termasuk dari sunnah-sunnah shalat kecuali jika beliau memberitahukan bahwasanya beliau melaksanakannya semata-mata hanya karena kebutuhan maka hal ini tidak menunjukkan bahwa duduk istirahah termasuk sunnah-sunnah shalat. Ini merupakan Tahqiqul Manath(menetapkan hukum sesuai kenyataan) dalam masalah ini.
Ini merupakan pendapat penengah yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah Rahimahullah dalam kitab “ al-Mughny ” yaitu apabila apabila seseorang yang shalat itu dalam keadaan lemah maka hendaklah ia duduk istirahah karena ia memang butuh untuk duduk, namun apabila ia dalam keadaan kuat maka ia tidak perlu untuk duduk istirahah karena memang ia tidak butuh. Dan bahwasanya Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam melakukan duduk istirahah tersebut di dalam shalatnya menjelang akhir hidupnya, yaitu ketika beliau sudah tua dan lemah.
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata juga: ”pendapat ini merupakan kesimpulan dari beberapa khabar yang telah dikumpulkan dan jalan pertengahannya dari dua pendapat yang berbeda antara yang mensunnahkan dan yang tidak.”  [137]
Imam Abu Hanifah, Malik dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad Rahimahumullah berkata: ”adapun hadits yang disebutkan oleh Malik bin Huwairits itu terjadi menjelang akhir hidup Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam ketika badan beliau telah menjadi berat atau karena sebab yang lain.”

f.  Ketika  salam

1. lafadz salam baik kekanan atau kekiri

Adapun lafadz yang masyhur dalam mengucap salam di akhir sholat yang biasa diucap kaum muslimin adalah :
االسلام عليكم و رحمة الله و بركاته
Hal ini berdasarkan hadits berikut ;
عن وائل بن حجر رضي الله عنه قال : صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم فكان يسلم عن يمينه السلام عليكم و رحمة الله و بركاته و عن شماله السلام عليكم و رحمة الله و بركاته ( رواه أبو داود بإسناد صحيح )
Diriwayatkan dari sahabat Wail bin Hujr Radhiyallahu 'anhu berkata : Aku sholat bersama Rasululloh Solallohu 'alaihi Wa Sallam maka beliau mengucapkan salam kesebelah kanan dan kesebelah kiri السلام عليكم و رحمة الله و بركاته [138]
            Dalam hadits ini terdapat penambahan yang merusak matannya, yang benar adalah lafadz salam pertama (kekanan) menggunakan lafadz (السلام عليكم و رحمة الله و بركاته ) sedangkan lafadz kedua (kekiri) adalah (السلام عليكم و رحمة الله   ) tanpa tambahan   و بركاته.[139] Adapun kedudukan hadits tersebut, memang shohih dari Abu Daud. Namun penambahan lafadz  و بركاته pada salam kedua (kekiri) terjadi kesalahan pada hadits tersebut.[140]  Untuk mengetahui kesalahan tersebut kita harus merujuk pada kitab induknya, yaitu Sunan Abi Daud, yang ternyata tidak ditemukan penambahan و بركاته pada salam kedua  yaitu bagian sebelah kiri.[141]
            Dari beberapa keterangan diatas dapat diketahui bahwa penambahan و بركاته pada salam kedua (kekiri) adalah tidak benar dan dapat disimpulkan : Lafadz salam yang ada beberapa macam hadits yang shohih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam diantaranya adalah :
.     Baik kekanan atau kekiri dengan lafadz السلام عليكم و رحمة الله و بركاته, hadits riwayat Muslim 582, Abu Daud, An Nasai dan At Turmudzi.
.     Kekanan dengan lafadz السلام عليكم و رحمة الله, sedang kekiri dengan lafadz السلام عليكم (hadits riwayat An Nasai, Ahmad dan As Siraj dengan sanad yang shohih).
.     Kekanan dengan lafadz السلام عليكم و رحمة الله و بركاته sedang kekiri dengan lafadz السلام عليكم , ini berdasarkan hadits ;
عن وائل بن حجر رضي الله عنه قال : صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فسلم عن يمينه السلام عليكم و رحمة الله و بركاته و عن يساره السلام عليكم و رحمة الله (أخرجه أبو داود، 1/262،997)
Artinya : dari Wail bin Hajar Radhiyallahu 'Anhu dia berkata, “Saya shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, maka Beliau mengucapkan salam kekanan dengan lafadz السلام عليكم و رحمة الله و بركاته dan kekiri dengan lafadz السلام عليكم و رحمة الله.” [142]
Keterangan : Hadits ini shohih, dan dishohihkan oleh banyak ahli ilmu. Ibnu Hajar berkata,“Hadits ini hasan.”
Penambahan  و بركاته pada salam kedua tidak benar dan tidak boleh diucapkan pada salam kedua.

Jadi Lafadz salam ada 3 macam yang dibenarkan yaitu :
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ
1. Baik ke kanan maupun ke kiri, seperti yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, An Nasa’I dan Tirmidzi)
2. Ke kanan dengan lafadh
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ 
Sedangkan ke kiri dengan lafadh
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
(H.R. An Nasa’I, Ahmad dan As Siroj dengan Sanad yang shoheh)
3. Kekanan dengan lafadh :
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ  وَبَرَ كَاتُهُ
Sedangkan kekiri :
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ 
(H.R. Abu Dawud, Al Baghowy dalam Syarhu Sunnah : 696) hadits Shohih
Sedangkan lafadh salam seperti yang banyak di baca manusia yaitu :
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Ke kanan dan begitu pula ketika menoleh ke kiri adalah  batil dan tidak benar.

Wallohu a'lam bis showab.
.














[1] Bidayatul Mujtahid:2/200.
[2] HR.al-Bukhary dan Muslim.
[3] Al-Wafiy:11-13.
[4] Kitabul Fiqh ‘ala Madzahibil Arba’ah:1/194-195.
[5] Al-amru bil ittiba’ wa an-nahyu ‘anil ibtida’As-suyuthi
[6] Al-majmu’ syarhul Muhadzdzab:3/233.
[7] Majmu’ Fatawa:22/221.
[8] Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibaad:1/194.
[9] Al Majmu  2/243
[10] Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusy: 2/247
[11] HR. Muslim , Shohih Muslim :390
[12] Shohih Muslim Syarh An Nawawi : 4/82
[13] HR. Abu Dawud , Sunan Abi Dawud : 724
[14] Ainul Ma’bud : 412
[15] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asyqolani : 2/461
[16] HR. Muslim , Shohih Muslim :391
[17] Fathul Barri, Ibnu Hajar Al Asyqolani : 2/461
[18] Shohih Muslim Bis Syarhi An Nawawi :4/82
[19] HR. Bukhori , Shohih Bukhori :736
[20]  Nailul Author Syaukani :1/198
[21] Ibid : 739
[22] Fathul Barri, Ibnu Hajar Al Asyqolani : 2/461
[23] Shohih Muslim Syarh An Nawawi : 4/82
[24] Al Mughni, Ibnu Qudamah :2/136
[25] Fathul Barri, Ibnu Hajar Al Asyqolani :2/458-459
[26] Ibid
[27] HR.Abu Dawud,Ibnu Khuzaimah dalam shohihnya dan Hakim dalam mustadraknya
[28]  Fiqih Sunah juz 1 hal 198 ).
[29]  Al-Majmu’ 3/280 dan al-Mughny 1/478.
[30]  Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 1/91.
[31]  Ibid.
[32]  Ibid.
[33]  Majmu’ Fatawa 22/276-278.
[34]  Hadits Nu’aim bin Mujmir, diriwayatkan oleh Ibnu Huzaimah no. 499, an-Nasa’i 2/13, Ibnu Hibban no. 1801, al-Baihaqi 2/58, al-Hakim 1/230, ia berkata: “Hadits ini shahih dengan syarat asy-Syaikhany(al-Bukhary dan Muslim).
[35]  Diriwayatkan oleh ad-Dar Quthny 1/306.
[36]  Hadits Abu Hurairah, diriwayatkan oleh ad-Dar Quthny 1/307.
[37]  Hadits riwayat Abu Hurairah, Thawus, dan ‘Atha’.
[38] Al-Majmu’ syarhul Muhadzdzab 3/291.
[39] Al-Majmu’ syarhul Muhadzdzab 3/288.
[40] Tafsir al-Qurthuby 1/96.
[41]  Semoga benar apa yang diakatan al-Muhaqqiq Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam kitabnya “al-Hadyu an-Nabiyyu” bahwa Nabi Sallahu 'Alaihi wa Sallam kadang-kadang mengeraskan basmalah dan kadang-kadang tidak melakukannya. Al-Hafidz menukil dalam “syarh al-Bukhary” dari Imam al-Qurthuby Rahimahullah makna apa yang telah diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrany Rahimahullah di dalam “al-Kabiir dan al-Ausath” dari sa’id bin Zubair Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: “Bahwasanya Rasulullah Sallahu 'Alaihi wa Sallam mengeraskan bacaan basmalah dan orang-orang musyrik memperolok-olok siulan dan tepuk tangan, mereka berkata: “Muhammad menyebut Tuhan al-Yamamah – saat itu al-Fadzah dipanggil denang Rahman – maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayar dalam surat al-Isra’(17):110 yang artinya: “Janganlah kamu mengeraskan suaramudalam shalatmu”, sehingga orang-orang musyrik mendengarnya dan menghinamu, “dan janganlah kamu merendahkannya”, yaitu dari para Shahabat, maka janganlah kamu perdengarkan bagi mereka.” (Riwayat Ibnu Jubair Rahimahullah dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma). Diriwayatkan oleh an-Naisabury di dlam “Taisir” ia berkata: “Dan ini adalah penggabungan yang bagus jika riwayat ini benar, maka ini menjadi sebab pelarangan untuk membacanya dengan keras.” Dan ia berkata juga dalam “Majmu’ Zawa]’id” yaitu: “Bahwa para perawi hadits ini tsiqah(dapat dipercaya).” Dan hal ini telah ditulis juga oleh Muhammad Rasyid Ridladi dalam kitab “al-Mughny” juz I hal. 980.
[42] Majmu’ Fatawa 22/410.
[43] Majmu’ Fatawa 22/417.
[44] . Majmu’ Fatawa: 2/559
[45] HR. Muslim
[46] HR Abu Dawud
[47]  Al Mughni : 2/176
[48] Al Majmu’ III : 366
[49] Kitaabul Fiqh ala Madzaahibil Arba’ah, Al-Jaziiry : 1/212.
[50] Fathul Baary,Ibnu Hajar : 2/464.
[51] Shahiihul Bukhaary, kitabul Adzaan : bab 87/740.
[52] Fathul Baary, Al-Asqaalany : 2/464.
[53] Ad-Diinul Khaalish : 2/218.
[54] Al-Mughny, Ibnu Qudamah : 2/507.
[55] Fathul Baary, Al-Asqalany : 2/464
[56] Majmu’ fatawa (edisi Indonesia), syaikhUtsaimin.
[57] HR Jama’ah kecuali Ahmad
[58] Al Majmu III 380
[59] HR Baihaqig
[60] Zaadul Ma’ad I 215

[61] HR Ad Daruqutni, Al Hakim dan Al Baihaqi
[62] Tuhfatul ahwadzi II: 129
[63]Nailul Autor II : 280
[64] Majmu III : 381
[65] Zaadul Maad I :215

[66] Syarhul Wajiiz I: 524
[67] Ad dinul KholisII: 240
[68] Bustanul Ahbar II: 554
[69] Tuhfatul Ahwadzi II : 123
[70] Fathul bari II : 549
[71] HR an-Nasa'I : 1077
[72] HR Jama’ah
[73] Nailul Autor II : 280
[74] Tamamul Minnah 196
[75] Al Irwa II : 77-78
[76] Al Majmu’III 380-381
[77] Nailul Autor
[78] Ibanatul Ahkam I 328
[79] Fatawa Al Kubro I : 187
[80] Fatawa Lajnah Daimah VI 434
[81] HR. Imam yang lima kecuali Ahmad
[82] HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i
[83] HR. Abu Daud dan Turmudzi, Turmudzi  menshohehkannya
[84] HR. Bukhari dan Muslim
[85] Bisa dilihat dalam kitab Bustanul Al-Ahbar Muktashor Nailul Author oleh ulama Al Azhar Asy Syeikh Faisol bin Abdul Aziz Al Mubarok, Juz : 2 (dua) dalam bab : Kaifiyatu Sujud wa nazala ial sujud” (cara sujud dan turun ke sujud)
[86] dalam sunan Tirmdzi, Juz : 2 hal : 201 dalam bab : Posisi Sujud pada dahi dan hidung di atas tanah (bumi). Hadits no : 280 hal ini sebagaimana  yang dikerjakan oleh ahli Ilmu bahwasanya hendaknya sujud seorang laki-laki pada dahi dan hidungnya, karena apabila sujud seseorang pada dahi tanpa hidungnya hal ini menurut kaum ahli ilmu berarti menghilangkan bagian dari sujud.
Dan telah di riwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dari Wail bin Hajr bahwa ia melihat Rasulullah apabila beliau sujud beliau meletakkan hidungnya di atas tanah (bumi). Hadits no : (18.861) dalam riwayat yang lain hadits no : (18.862) sujud seseorang pada hidung bersama dahinya.
[87] Ibnu Khuzaimah (1/80/2) dan Al-Maqdisi dalam Al-Muktaroh dan Al-Hakim. Kemudian di shohihkan dan disepakati oleh Imam Ar-Rahabi”.
[88] Imam Asy-Syafii berkata : Disunnahkan ketika bangun dari sujud, hendaknya ia mengangkat kedua lututnya sebelum kedua tangannya kemudian bagkit seraya menyandarkan kedua tangannya meskipun orang yang sholat dalam keadaan kuat atau seorang  wanita.
à Imam  Malik bin anas berkata : Di Sunnahkan sekali mendahulukan kedua tangannya atas kedua lututnya ketika akan turun sujud, dan hendaknya mengakhirkan keduanya dari kedua lututnya, ketika akan bangkit dari sujud, demikian pula dalam rekaat selanjutnya.
[89] Imam Malik bin Anas berkata : Disunnahkan sekali meletakkan kedua tangannya seraya sejajar dengan kedua telingannya atau jarak keduanya (lebih dekat) ketika dalam sujud serta merapatkan (menggengam) jari-jarinya seraya dihadapkan ke arah kiblat”.
à Imam Abu Hanifah  berkata : “Sesungguhnya yang paling afdhol hendaknya meletakan wajahnya diantara kedua telapak tangannya dan disunnahkan pula meletakan kedua telapak tanganya sejajar dengan pundaknya”.
{bisa dilihat dalam kitab : “Kitabul Fiqh a’lal Madhzahibi Al-Arba’ah”. Oleh : Abdurrahman Al Jazairi : 242 : I , hal : 236 Bab Kaifiyata sujud terbitan : Darul Kutub Al Ilmiyah. Tanpa tahun}
[90] Ibnu Khuzaimah (1/76/1) Daruquthni dan Al-Hakim, Di Shahihkan di sepakati oleh Az-Zahabi adapun hadits tang tidak sependapat dengan hadits ini tidak shohih hal ini dijelaskan oleh malik dari Ahmad, seperti tersebut dalam Tahkiq oleh Al-Jauzi (108/2) dan Marzawi dalam Al Masail ( 1/147/1) meriwayatkan pula dengan sanad shohih yang berasal dari Al-Auzai menyebutkan bahwa : “Aku mengetahui orang-orang meletakkan tangan-tangan mereka sebelum lutut-lutut mereka.
[91] (H.R. Abu Daud dan Ahmad dengan sanad yang shohih, dishohihkan juga oleh  Abdulhaq dalam  (Al-Kumul Kubro : 54/1). Dikatakan dupa pada kitab Tahajjud (56/1) sanad hadits ini sangat baik dari pada hadits sebelumnya, yakni hadits Wa’il yang sangat bertentangan.
Catatan : Adapun perbedaan dengan onta dalam sujud di atas ialah serupa dengan onta ketika akan berbaring. Onta ketika akan berbaring terlebih dahulu meletakan dua lututnya (dalam Iisanul Arob). Atau kamus lainnya, atau Tahawi dalam kamus Musykil asar dan Syahrul MA’aranil Asar”.

[92] (H.R. Ibnu Khuzaimah (1/79/7) dan Ahmad dan As-Siraj, dishohihkan oleh Al-Hakim dan di sepakati oleh Az-Zahabi
[93] (H.R. Bukhari dan Muslim)”
[94] (H.R. Muslim Abu Uwanah dan Ibnu Hiban.
à atau seperti yang diriwayatkan oleh Imam Qosim Sarqiti dalam (Goribil HAdits) (2/70/2) dengan sanad Shohih dari Abi Hurairah menyebut : “Jangan sekali-kali kalian berlutut seperti berlututnya onta yang berlari”.
à Dalam hal sujud ini Qosim mengatakan : “Jangan kamu menjatuhkan diri bersama-sama seperti onta yang lari dengamn tidak tenang.
à hendaklah orang yang akan sujud, turun ke tempat sujud dengan tenang menjatuhkan dua tangannya lebih dahulu barulah ke dua lututnya”.
[95] Shohih Muslim, kitab Al Masajid, bab Istihbab Taqdimi adh-Dhari fil awwali al Waqti , No 619
[96] HR. ad-Daruquthni, 1/349, didlaifkan oleh Abu Hatim dan Ibnu Muayyan dan Ibnu Al Madiniy Rahimahumullah
[97] al-Majani 2/382-384
[98] (Shohih Muslim, No 232 Kitab Ash Sholah AL Fatawa Al  Kubra 2/188)
[99] (HR. Ahmad 1/221, Bukhari 1/197 Kitabul  Adzan Bab La Yakuttu Tsauban, Muslim 1/354 Kitab Sholat, bab A’dhau As-Sujud)

1) Abu Dawud (579), Nasai 3/ 35, Ahmad (4/ 318) disahihkan oleh Ibnu Hiban dan Ibnu Huzaimah
2) Abu Dawud (9880 Nasa’I (3/ 37) disahihkan oleh Nawawi di dalam Majmu’ (3/ 454)
3) Muslim (579)
4) Zudul Ma’ad (1/ 231)
1) Tamamu’ minnah, hal : 214-215
[100] Zaadul Ma’ad Fie Hadyi Khairil ‘Ibad, juz I, hlm 230
[101] Al Mughni Ibnu Qudamah, juz II, hlm 205

[102] HR. Muslim no:579 V/68
[103] HR. Bukhari no:828 II/567
[104] Diterjemahkan dari Zaadul Ma’aad Fii Hadyi Khairil ‘Ibaad,juz I, hal 132-133 karangan Ibnu Qayyim Al Jauziyah.

[105] Al Baihaqi II : 132
[106] Aunul Ma’bud III : 280
[107] Al Majmu’ III 416
[108]Ibanatul Ahkam I: 328-329
[109]Fikih Ala madzahib Al Arbaah I: 240
[110] Nailul Author II, 320
[111] kitab Al Fiqh Ala Madzhahib Al Ar ba’ah, 241
[112] Nailul Author : 320
[113]Sifat Sholat Nabi, 171-178
[114] diriwayatkan Muslim bab Sholawat atas Nabi setelah tasyahud dan Bukhari didalam kitab “da’awat”, 6.360
[115] al-fatawa al-Kubra hal.190-193
[116] al-Qaulul Mubin fie Akhthail Mushallin: 153-154
[117] HR. Ahmad
1) Diriwayatkan oleh Muslim No 995 dalam sholat dalam bab  HR Turmudzi No 366 dalam, HR. Nasai 2/ 243 dalam pembukuan sannadnya terputus
[118] Lebih jelasnya bisa merujuk kedalam kitab : Salsabil fi Ma’rifatid Dalil  صلح بن  ابرهيم 1/204 _205, Nailul Author 2/ 310-311 (Muh Asy Syukori), Jami’ul Ushul 5/ 413, Syarku sunnah al Imam al Bagawi 31157, Tuhfatul Ahwadzi 2/ 145-146
[119] HR. Bukhari
[120] Fiqhul Islam Wa Adillatuhu, Juz I hal 712
[121] Fikih Sunah 1/143
[122] HR. Abu daud dan at-Tarmidzy, ia berkata:hadits hasan shahih
[123] Fikih Sunah 1/143
[124] Al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab 3/404.
[125] HR. Bukhari bab. Kitabus Salam
[126] Al-Adzkar hal. 113.
[127] Fathul Baary 2/564.
[128] Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ juz VI hal. 445-447 dan Tamamul Minnah al-Albany.
[129] Majmu’ Syarhul Muhadzab juz III / 404
[130] HR. Bukhary
[131] HR. Abu Daud dan at-Tarmidzy, at-Tarmidzy menyatakan hadits ini hasan shahih
[132] Majmu’ Syarhul Muhadzab juz III / 404
[133] Fathul Bari II / 563-564
[134] Majmu’ Syarhul Muhadzab juz III / 406

[135] Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ juz VI hal. 445-447
[136] Majmu’Fatawa juz XXII / 452
[137] Al-Mughny II / 213.
[138] HR Abu Dawud dengan sanad yang sohih
[139]  lihat sifat shalat Nabi, hal 187
[140] Bulughul Maram halaman 77 dan Syarahnya Subulus Salam halaman 375
[141] ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud cetakan Al Anshori di Delhi, yaitu Syarh Abi Daud karangan Syaikh Muhammad Asyraf bin Amir bin ‘Ali bin Haidar Ash Shodiqi Al ‘Azim Abady. Mukhtashor dari Al Maqshud Fii Halli Sunan Abi Daud oleh Syaikh Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azim Abady, juz I halaman 380, disitu tidak terdapat tambahan و بركاته pada salam kedua, tapi hanya disebutkan pada salam pertama saja.jugaNaskah Mukhtashor Sunan Abi Daud oleh Al Hafidz Al Mundziry, juz I halaman 459. disebutkan didalamnya tambahan و بركاته pada salam pertama saja.

[142] Dikeluarkan oleh Abu Daud no 1/997, 262

Posted By Ey-NhA SwEetBluE'S_92_find me to path!17.11

Silahkan berkomentar "anda sopan kami segan"