Sabtu, 21 Desember 2013

HUKUM TAHLILAN

Label Post:





Tahlilan bagi kebanyakan masyarakat Indonesia merupakan hal baik dan termasuk dari ajaran Islam yang hendaknya senantiasa dilaksanakan dan dilestarikan. Terlebih lagi para ulama dan tokoh juga menyerukan akan disyari’atkannya perbuatan ini. Mereka memandang tahlilan dari satu sisi dapat dinilai sebagai suatu “keberhasilan besar” para muballigh, para ulama dan aulia terdahulu, yang harus disyukuri dan dilestarikan serta dibenahi dan disempurnakan, bukan disalah-salahkan dan “diprogramkan dan diperjuangkan” untuk dihapus total. (Tahlilan Dalam Perspektif Al-Qur’an dan As-Sunnah : Xiii).

Mengenai hal ini Imam Syafi’i “berkata dalam kitabnya, “….dan aku membenci al ma’tam, yaitu proses berkumpul / bergabung (di tempat keluarga mayit) walaupun tanpa tangisan, karena hal tersebut hanya akan menimbulkan bertambahnya kesedihan dan membutuhkan biaya, padahal beban kesedihan masih melekat (di keluarga mayit)”. (Al-Umm, Juz I, hlm. 279)
Mahmud Al-Alusi berkata,”Adapun jika membaca Al-Qur’an itu dengan memperoleh upah sebagaimana yang dilakukan kebanyakan manusia pada hari ini, mereka memberi upah kepada para penghafal Al-Qur’an untuk membacakan Al-Qur’an bagi mayit mereka, kemudian mereka membacanya karena upah itu, maka pahala bacaannya tidak akan sampai karena memang mereka tidak memiliki pahala yang bisa dikirimkan. Hal itu karena haramnya mengambil upah bacaan Al-Qur’an meskipun demikian tidak diharamkan mengambil upah karena mengajarkannya.” (Ruhul Ma’aani; 14/66)
Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, saat membahas perkara-perkara bid’ah menyatakan,”Mengupah seseorang atau lebih untuk membaca Al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang sudah meninggal dunia atau yang masih hidup adalah amalan bid’ah. Pahala bacaan itu tidak didapat oleh orang yang membacanya, sebab ia sudah mengharapkan dunia dari apa yang dikerjakannya. Orang yang mengupah pun tidak mendapatkan apa-apa, karena hal itu adalah amalan bid’ah. Nabi SAW telah bersabda,”Barangsiapa mengadakan sesuatu yang bru di dalam urusan kami yang bukan termasuk bagiannya, maka itu tertolak.(HR.Bukhari, Muslim, Ahmad, Adu Daud dan Ibnu Majah) (Panduan Tazkiyah Sesuai Sunnah : 194-195)
Syaikh Sayyid Sabiq salah satu pakar hukum Islam mengatakan,“Segala apa yang dilakukan orang-orang pada masa sekarang ini berupa kumpul-kumpul untuk ta’ziyah, mendirikan tenda-tenda, membentangkan hamparan, menghambur-hamburkan harta yang banyak demi gengsi adalah merupakan hal-hal baru dan “bid’ah munkaroh” yang wajib dijauhi oleh semua orang muslim, dan “haram” melakukannya, apalagi sering di barengi dengan hal-hal yang bertentangan dengan petunjuk al Qur’an dan as Sunnah serta berjalan sesuai dengan adat jahiliyah seperti melagukan Al-Qur’an, tidak memperhatikan adab-adab tilawah, ramai dan menyibukkan diri dengan merokok dari mendengarkan al Qur’an. Tidak cukup sampai disitu saja, mereka tidak hanya terbatas melakukannya di hari-hari pertama saja, tapi mereka menjadikan hari 40 sebagai hari pengulangan kemunkaran-kemunkaran dan bid’ah ini. Dan juga mereka mengadakan peringatan tahunan (haul istilah orang Indonesia, pen). Pertama, kedua, dan seterusnya hal-hal yang tidak sesuai dengan akal sehat dan dalil yang kuat”.(Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid I, halaman 564)
Hamud bin Abdullah Al-Mathar mengutip perkataan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin beliau berkata,”Berkumpul di kediaman ahli mayit untuk membacakan Al-Qur’an serta membagi-bagikan kurma dan daging termasuk perbuatan-perbuatan bid’ah yang harus dihindari. Dalam hal ini mungkin terjadi ratapan, tangisan, kesedihan, dan mengenang mayit sehingga musibah tersebut tetap membahana di hati keluarganya dan tidak sirna. (Ensiklopedia Bid’ah : 216)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin beliau juga berkata,"Al-Ma'tam seluruhnya adalah bid'ah, baik itu tiga hari, satu pekan, atau empatpuluh hari, karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh salafussholeh radhiyallahu 'anhum. Jika sekiranya perbuatan itu baik, tentulah mereka sudah mendahului kita mengerjakannya. Juga karena perbuatan tersebut termasuk pemborosan harta, penyia-nyiaan waktu, dan bisa jadi akan mendatangkan kemunkaran dan niyahah yang termasuk yang dilaknat." (Fataawaa Al-Aqidah wa arkanul Islam : 385)
Mengutip perkataan Syaikh Abdul Aziz bin Baz tentang upacara kematian,"Sama sekali tidak ada riwayat dari Nabi SAW, tidak dari para sahabat ra. Dan tidak pula dari para as-salafush Shalih tentang penyelenggaraan pesta untuk mayit, baik ketika meninggalnya, seminggu setelahnya, empat puluh hari setelahnya ataupun setahun setelahnya, bahkan ini merupakan bid'ah dan kebiasaan buruk yang dahulunya dilakukan oleh orang-orang Mesir purbakala dan kaum kafir lainnya." (Al-Mathar : 2008, 228)
Syaikh bin Baz ditanya bolehkah membacakan Al-Qur’an untuk mayat, yaitu dengan menempatkan mushaf di rumah si mayat, lalu para tetangga dan berdatangan, kemudian masing-masing membacakan satu  juz umpamanya, setelah itu kembali kepada pekerjaan masing-masing, namun untuk bacaan itu mereka tidak diberi upah. Selesai bacaan, si pembaca mendoakan si mayat dan menghadiahkan pahala bacaannya kepada si mayat. Apakah bacaan doa itu sampai kepada si mayit dan mendapat pahala ?
Maka beliau menjawab,”Perbuatan ini dan yang serupa itu tidak ada asalnya, tidak diketahui bahwa itu berasal dari Nabi SAW dan tidak diriwayatkan pula dari para sahabat beliau ra bahwa mereka membacakan Al-Qur’an untuk mayat, bahkan Nabi SAW telah bersabda,”Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Disebutkan dalam Ash-Shahihain, dari Aisyah ra, dari Nabi SAW, bahwa Nabi SAW bersabda,”Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam Shahih Muslim disebutkan, dari Jabir ra, dalam salah satu khutbah Jum’at, Nabi SAW bersabda,”Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad SAW, seburuk-buruk  perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dan setiap hal yang baru adalah sesat.” An-Nasa’i  menambahkan pada riwayat ini dengan isnad yang shahih,”Dan setiap yang sesat  itu (tempatnya) di neraka.”
Adapun bersedekah atas nama si mayit dan mendoakannya, bisa berguna baginya dan sampai kepadanya menurut ijma’  kaum muslimin. Hanya Allah-lah yang kuasa memberi petunjuk dan hanya Allah-lah tempat meminta.” (Fatwa-Fatwa Terkini : 2/474-475)
Muhammad Ahmad Abdul Salam berkata,”Suatu hal yang dibenci (munkar) pula dalam agama ialah mengadakan tahlilan-tahlilan seperti yang digambarkan di atas, karena mereka sesungguhnya  membaru-barui atau membangkit-bangkit kembali kesedihan dengan mengadakan pada setiap hari Kamis sesudah wafatnya sang mayit ingá masa 40 hari, atau hingga hari peringatan satu tahun wafatnya si mayit. Mereka membangun kemah, pondok, atau pelampang  dan mengundang orang-orang untuk berdzikir, bertahlil dan bertasbih, serta menunggu kedatangan orang-orang berta’ziah kepada mereka di tempat itu.”(Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Orang Mati Sampaikah Pahalanya Pada  Mereka ? : 46)
Syaikh Mahmud Syaltut, Syaikhul Azhar (Universitas Al-Azhar Mesir), beliau menambahkan,”…dan ta’ziyah itu tidak ada di abad-abad pertama (Islam) kecuali ketika mengiringi jenazah atau ketika bertemu pertama kali bagi orang yang tidak ikut mengiringi jenazah.” Kemudian dia berkata lagi,”Dari sini, tidak pernah dikenal di dalam ajaran Islam apa yang disebut pada masa sekarang ini dengan nama Kamis kecil atau Kamis besar, apalagi yang namanya ke-40 (matang puluh), temu tahunan (haul) yang mereka gunakan untuk mengingat kesedihan lagi dan mereka mengulang kumpul-kumpul  lagi di hari itu dengan meninggalkan pekerjaan rutinnya yang bermanfaat.” (Tarekat, Tasawuf, Tahlilan dan Maulidan : 130-131)
      Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdurrahman bin Baaz ditanya tentang apakah orang-orang yang sudah meninggal bisa mendapatkan manfaat dari bacaan Al-Qur’an dari orang-orang yang masih hidup ? dan jika ada orang yang meninggal, kemudian orang-orang membaca Al-Qur’an selama tiga hari, menyembelih binatang dan mengadakan jamuan apakah hal ini termasuk perkara yang disyari’atkan ? beliau menjawab,”Bacaan yang ditujukan kepada orang-orang yang sudah meninggal adalah  bid’ah dan mengambil upah dari bacaan  itu adalah dilarang, karena syari’at yang suci tidak menyebutkan hal itu. Sedangkan ibadah adalah taufiqiyah (paket-pen), tidak boleh dilaksanakan kecuali jika Allah mensyari’atkan, sebagaimana sabda Nabi SAW,”Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak.”(Hadits ini disepakati keshahihannya). Begitu pula dengan penyembelihan binatang, penyajian makanan karena adanya orang meninggal semuanya adalah bid’ah munkaroh, tidak diperbolehkan, baik di hari kematiannya, maupun hari-hari (setelahnya), karena syari’at yang suci tidak menyebutkan hal itu, bahkan kegiatan tersebut termasuk perbuatan jahiliyah, sebagaimana ditetapkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda,”Ada empat perkara dalam ummatku yang tidak mereka tinggalkan yang termasuk perkara jahiliyah ; bangga terhadap keturunan, menghina keturunan, meminta hujan dengan bintang dan niyahah (meratap).” Beliau juga bersabda,”Orang yang meratap jika tidak bertaubat sebelum meninggal, maka di hari kiamat akan dibangunkan mengenakan jubah ter dan perisai kudis.” (HR. Muslim dalam shahihnya).
      Dari Jabir bin Abdullah Al Bajalli radhiyallahu ‘anhu berkata,“Adalah kami (para sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah ahli mayit dan mereka menyediakan makanan sesudah mayit di tanam (di makamkan) adalah termasuk perbuatan niyahah  (meratap)” (Diriwayatkan Imam Ahmad dengan sanad shahih. Dan juga sabda Rasulullah ‘alaihisholaatu wassalaam,”Ada empat perkara dalam ummatku yang tidak mereka tinggalkan yang termasuk perkara jahiliyah.” (Hadits yang telah disebutkan sebelumnya). Tidak termasuk yang dikerjakan Nabi SAW dan tidak pula amalan para sahabat ra jika ada orang yang meninggal, membacakan Al-Qur’an, menyembelih binatang-binatang, mengadakan perkumpulan-perkumpulan, jamuan makan, dan pesta-pesta. Semua ini adalah bid’ah maka wajib berhati-hati darinya dan mengingatkan manusia darinya. Lebih khusus lagi bagi para ulama, mereka harus melarang manusia apa yang Allah haramkan atas mereka, mengambil tindakan orang-orang bodoh, ingá mereka dapat istiqomah di jalan yang sama yang disyari’atkan Allah kepada  hamba-hamba-Nya. Dengan begitu, masyarakat akan menjadi baik, hukum Islam menjadi jelas dan perkara-perkara jahiliyah menjadi lenyap. Kita memohon kepada Allah hidayah dan taufiq untuk semuanya. (Majmu’ fataawaa Wa Maqaalaat Mutanawwi’ah : 4/ 346)
            Hadits di atas juga menyatakan bahwa orang yang melakukan niyahah (meratap) tidak bertaubat dari perbuatannya sebelum mati, kelak di hari kiamat ia dibangkitkan dengan memakai tameng dari kudis dan jubah ter.
            As-Sirbaal (pakaian) dan Ad-Dir’u (sesuatu yang menempel pada badan), artinya hádala kulitnya tenderita kudis atau cacar. Yaitu penyakit gatal dan tampak menonjol pada kulit. Oleh karena itu, apabila kulitnya dipenuhi kudis, dengan mengenakan pakaian dari ter akan lebih menéala dalam api neraka-na’udzubillah.
            Namun, jika ia bertaubat sebelum mati, Allah akan menerima taubatnya. Siapa pun yang bertaubat dari dosa sebelum meninggal, Allah akan menerima taubatnya. (Syarah Al-Kabair : 313)
            Abu Luz (2002) berkata,"Barangsiapa mengumpulkan manusia untuk membaca Al-Qur'an bersama-sama kemudian menghadiahkan pahalanya untuk orang-orang yang sudah meninggal, perbuatan ini tidak ada dalilnya dan termasuk bid'ah. Dan setiap bid'ah itu sesat. Ini dari satu sisi.
            Dari sisi lain, apabila para pembacanya diberi upah atas bacaannya, sebagaimana yang sering terjadi di antara mereka, maka perbuatan ini tidak akan mendapatkan pahala, karena mereka membacanya bukan untuk tujuan ibadah kepada Alloh Azza Wajalla, akan tetapi membaca untuk tujuan mendapatkan upah.

Wallahu a’lam bish showab...
           







Posted By Ey-NhA SwEetBluE'S_92_find me to path!01.38

Rabu, 18 Desember 2013

HUKUM BERMAIN CATUR

Label Post:







Satronji atau nardasyir atau yang dikenal di zaman sekarang dengan bermain catur merupakan adat dan kebiasaan orang zaman modern untuk melakukannya. Bentuk permainannya tidak sebagaimana dadu ataupun bermain kartu remi, akan tetapi lebih kepada permainan yang menguras otak dengan mengatur siasat untuk dapat mengalahkan lawan dengan beberapa icon yang diibaratkan sebagai dua buah kerajaan yang sedang melakukan peperangan. Permainan catur ini telah diselenggarakan dalam beberapa pertandingan olah-raga termasuk dalam olah raga tingkat dunia, Olimpiade yang telah dimulai puluhan tahun yang lalu.

Hadits-hadits yang berkeanaan dengan catur

1.      Dari Sulaiman bin Buraidah. Dari bapaknya r.a. katanya Nabi SAW bersabda, "Siapa yang bermain permainan Nardasyir (sejenis catur), maka seolah-olah dia melumuri tangannya dengan daging dan darah babi.".[1] juga hadits yang berarti, "Barang siapa yang bermain dengan dadu berarti ia telah durhaka terhadap Alloh dan rasul-Nya."

2.      "Terkutuk orang yang main catur itu."
Adapun kedudukan hadits ini adalah maudhu'. Dikeluarkan oleh ad-Dailami (IV/63) dari Ibad bin Abdus Shamad dari Anas yang di-marfu'-kannya.
Syaikh La Albani sependapat, sanad ini maudhu' dan kelemahannya karena adanya Ibad ini, yang oleh Imam Bukhari dinyatakan mungkar periwayatannya. Kemudian, Ibnu Hibban menegaskan, "Telah meriwayatkan dari Anas sekumpulan riwayat yang semuanya maudhu'."
Al-Hafizh as-Sakhawi mengatakan dalam kitab Umdatul Muhtaj fi Hukmisy-Syathranj (I/9), "Imam an-Nawawi ditanya tentangnya maka ia jawab tidak shahih."
Yang semisalnya adalah yang dikemukakan oleh imam As-Sayuthi dalam kitabnya al-Jami' dari riwayat Abdan dan Abu Musa serta Ibnu Hazm dari Habbah bin Muslim secara mursal, sambil menambahkan "Dan orang yang melihat kearahnya bagaikan makan daging babi." Al-Manawi mengatakan, "Habbah adalah seorang tabi'in yang tidak dikenal kecuali dengan periwayatan ini," dan didalam kitab al-Mizan dinyatakan, "Ini adalah riwayat mungkar."
Hadits ini, menurut Al Albani, merupakan periwayatan Ibnu Juraij dari Habbah, dikatakan pada salah satu dari kedua jalur sanad yang paling sahih darinya, namun keduanya dhaif. Telah meriwayatkan hadits dari Habbah bin Muslim dan mempunyai dua kelemahan, mursal dan keterputusan sanad.[2]
3.      "Apabila kalian melewati mereka yang tengah bermain undi nasib seperti catur, dadu, dan apa saja yang termasuk lahwun 'main-main' maka janganlah kalian memberi salam kepada mereka. Dan, bila mereka memberi salam kepada kalian, maka janganlah kalian balas salam mereka, karena apabila mereka berkumpul menggelutinya, datanglah iblis --semoga Allah menghinakannya-- dengan membawa tentaranyaseraya mengerumuni mereka. Dan, setiap ada orang yang meninggalkan tempat catur ia memojokkannya, lalu datanglah malaikat dari belakang seraya melotot terhadap mereka, dan merekapun (yakni iblis) tidak lagi mendekati mereka (orang-orang yang berpaling dari permainan). Dan, para malaikat tidak henti-hentinya mengutuk mereka hingga mereka berpisah dan berpencar bagaikan anjing yang berkumpul berebut bangkai, memakannya hingga kenyang perutnya kemudian mereka berpencar."
Hadits ini adalah maudhu'. Dikeluarkan oleh al-Ajri dalam kitab Tahrim an-Nard wasy-Syathranj wal-malahi (II/43-Q) dengan jalur sanad dari Sulaiman bin Daud al-Yamami, dari Yahya bin Abi Katsir, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, dari Abu Hurarirah r.a., ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda ..." (hadits di atas).
Menurut Syaikh Al Albani, sanad riwayat ini sangat dhaif dan penyakitnya karena ada Sulaiman bin Daud al-Yamami. Tentangnya, adz-Dzahabi menegaskan dalam kitab al-Mizan, "Ibnu Mu'in mengatakan, 'Sulaiman bin Daud tidak ada harganya.'" Sedangkan Imam Bukhari menyatakan, "Sulaiman bin Daud mungkar periwayatan haditsnya." Mengenai hal ini telah berulang kali saya jelaskan bahwa makna penyataan Bukhari "mungkar periwayatan haditsnya" berarti tidak dibenarkan meriwayatkan hadits pemberitaannya.
Adapun Ibnu Hibban hanya mengatakan ia sebagai perawi dhaif, sedangkan para pakar hadits lainnya menyatakan bahwa Sulaiman bin Daud ditinggalkan periwayatannya.
Kemudian, kami dapatkan al-Hafizh Ibnul Muhibb al-Maqdisi dengan tulisan tangannya menulis catatan pinggir kitab al-Ajri, "Ini hadits dhaif."
Menurut Al Albani, bahkan hadits ini adalah maudhu'. Dan tanda-tanda kepalsuannya sangat nyata karena penyakitnya, yaitu al-Yamami sebagai perawi tertuduh seperti telah kita ketahui dari pernyataan Imam Bukhari." Wallahu a'lam.[3]


Hukum Bermain Catur
Setiap permainan yang menjadikan satu pihak bisa menang dan pihak lain kalah adalah termasuk judi yang diharamkan, baik menggunakan sarana apa saja seperti catur, dadu dan lain-lainya, yang dijaman kita ini disebut lotere atau adu nasib, baik yang bertujuan untuk kebaikan, seperti dana sosial atau yang semata-mata demi mencari keuntungan, maka semuanya itu termasuk keuntungan yang tidak baik.
Ibnu Sirin berkata bahwa setiap sesuatu yang mengandung bahaya, maka itu adalah judi. Dalam hal ini Al Alusi berpendapat bahwa yang tergolong maisir adalah segala macam permainan judi, seperti dadu, catur dan lain-lain. Adapun permainan dadu, maka telah menjadi ijma atas haramnya sebagaimana sabda Rasulullah SAW: " Barang siapa bermain dadu maka benar-benar telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya"..[4]  
Adapun berkenaan dengan bermain catur sebagaimana disebutkan diatas, maka hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah tersebut adalah maudhu' hanyasaja para ulama mengharamkannya dengan dalil surat Al Maidah ayat 3.
Sufyan bin Waki' bin Jaroh berkata, "kata 'azlam' adalah catur." Imam Mujahid berkata, "Apabila seseorang meninggal dunia, maka akan ditampakan di hadapan teman-teman duduknya. Suatau hari seorang yang suka bermain catur sedang manghadapi ajalnya, lantas ditalkinkan atasnya syahadat, namun orang tersebut berkata, "Skak," lalu ia mati. Lidahnya sudah terbiasa mengucapkan kata-kata itu selagi ia hidup, sehingga ketika ajal datang ia mengganti kalimat Tauhid dengan skak." Demikian juga sebagaimana orang-orang yang duduk bersama para pemabuk.[5]
Adz Dzahabi berkata, "Adapun tentang catur sebagian besar para ulama mengharamkannya, baik dengan taruhan atau tidak. Jika dengan taruhan maka termasuk judi tanpa diperselisihkan lagi. Sedang jika tidak maka diperselisihkan dan para ulama mengangapnya sama."[6]
Termasuk kekeliruan yang dilakukan kaum muslimin dalam menyambut Id adalah dengan begadang di malam hari, asyik duduk menyaksikan film-film atau sinetron, permainan-permainan, seperti kartu remi, domino, catur dan semisalnya.[7]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya Apakah boleh bermain catur dengan syarat-syarat tidak terus menerus (kontinyu) tapi hanya pada waktu luang saja. Tidak saling mengejek Selama pemainan. Tidak melalaikan shalat-shalat wajib ? Beliau menjawab, "Menurut pendapat yang kuat bahwa permainan catur hukumnya adalah haram dengan beberapa alasan, yaitu :
  1. Buah catur tidak ubahnya seperti patung yang memiliki bentuk. Sebagaimana diketahui bahwa memiliki gambar atau patung hukumnya adalah haram, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, "Malaikat enggan memasuki rumah yang didalamnya ada gambar.”[8]
  2. Permainan tersebut telah condong membuat lalai dari mengingat Allah, maka sehala sesuatu yang dapat membuat lalai dari mengingat Allah adalah haram hukumnya, karena Allah telah menerangkan tentang hikmah dilarangnya khamr, berjudi, berhala, dan mengundi nasib dengan firman Alloh SWT :
$yJ¯RÎ) ߃̍ムß`»sÜø¤±9$# br& yìÏ%qムãNä3uZ÷t/ nourºyyèø9$# uä!$ŸÒøót7ø9$#ur Îû ̍÷Ksƒø:$# ÎŽÅ£÷yJø9$#ur öNä.£ÝÁtƒur `tã ̍ø.ÏŒ «!$# Ç`tãur Ío4qn=¢Á9$# ( ö@ygsù LäêRr& tbqåktJZB ÇÒÊÈ (

Artinya, “Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang. Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” [Al-maidah : 91]
Alasan lain yang membuatnya haram adalah bahwa permainan itu berpotensi menimbulkan permusuhan sesama pemain, dimana seseorang bisa saja mengucapkan kata-kata yang tidak sepantasnya ia ucapkan kepada saudaranya sesama muslim. Selain itu, permainan catur dapat membatasi kecerdasan seseorang hanya pada satu bidang saja (hanya dalam permainan catur saja) dan dapat melemahkan akal sebagaimana yang telah saya sebutkan diatas.

Konon dikatakan bahwa orang yang tekun dalam permainan catur, jika mereka terjun ke bidang lain yang membutuhkan kecerdikan dan kecerdasan, maka kita mendapatkan mereka sebagai orang yang paling lemah akalnya. Untuk alasan itulah maka permainan catur diharamkan.
Jika permainan catur tanpa menggunakan uang atau tanpa berjudi saja hukumnya haram, apalagi bila permainan itu disertai dengan perjudian." Demikian pendapat dari Syaikh Utsaimin.[9]
Lepas dari masalah tempat untuk bermainnya apakah di masjid atau ditempat lain, para ulama jauh sebelum kita ini sudah membicarakan sebatas hukum main caturnya saja. Dan sebagaimana biasa dalam masalah yang tidak ada nash yang sorih, maka pendapat mereka para ulama ahli fikih tidaklah sama satu dengan yang lainnya. Secara lebih jauh bisa kita sebutkan beberapa pendapat mereka.
1. Pendapat Pertama : Mereka yang mengharamkan main catur.
Mereka adalah jumhur ulama dari kalangan Al-Hanafiyah, Al-Hanabilah dan sebagian riwayat pendapat Imam Malik ra.
Ulama Al-Hanafiyah menetapkan bahwa permainan catur itu hukumnya makruh baik main dadu atau catur. Sedangkan bila permainan itu bercampur dengan unsur judi, atau dilakukan secara rutin atau bahkan sampai meninggalkan pekerjaan yang wajib, maka hukumnya menjadi haram secara ijma`.
Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa permainan tersebut tidak ada kebaikan di dalamnya, hingga sampai pada titik dimana orang yang bermain catur tidak bisa diterima kesaksiannya.
Al-Hanabilah mengatakan bahwa permainan catur itu hukumnya haram secara mutlak.
2. Pendapat Kedua : Mereka yang mengatakan makruh
Pendapat ini didukung oleh para ulama Asy-Syafi`iyyah dan para pengikutnya. Hanya saja Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa hal-hal tersebut menjadi makruh bila dilakukan secara rutin.
3. Pendapat Ketiga : Mereka yang mengatakan boleh.
Ini adalah pendapat para tabiin besar seperti dan juga riwayat dari Abi Yusuf dari Al-Hanafiyah dan mereka memberikan alasan jika permainan itu dimaksudkan untuk melatih otak.
Al-Hafiz Ibnul-Bar berkata bahwa pendapat jumhur fuqoha tentang catur adalah bahwa orang yang memainkannya tanpa ada unsur judi dan dilakukan secara tertutup bersama keluarga sekali dalam sebulan atau setahun dan juga tidak diketahui oleh orang lain maka hukumnya dimaafkan dan tidak haram atau tidak makruh.
Tapi jika dia melakukannya secara terang-terangan maka muru`ah dan A`dalahnya jatuh sehinggga mengakibatkan kesaksiannya tidak diterima. (Lihat At-Tamhid : 13/183 dan Al-Qurtubi : 8/338).
Diantara orang yang memberikan rukhshah untuk bermain catur selama tidak ada unsur judi adalah : Said bin Musayyab, Said bin Jubair, Muhammad bin Sirin, Urwah bin Zubair, As-Sya`bi, Al-Hasan Al-Bashri, Ali bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Ibnu Syihab, Rabi`ah dan Atho` (Lihat At-Tamhid : 13/181).
Dr. Yusuf Al-Qordhawi dalam kitab Halal dan Haramnya yang masyhur, beliau berkata, "Di antara permainan yang sudah terkenal ialah catur. Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang memandang hukumnya, antara mubah, makruh dan haram. Mereka yang mengharamkan beralasan dengan beberapa hadis Nabi s.a.w. Namun para pengkritik dan penyelidiknya menolak dan membatalkannya. Mereka menegaskan, bahwa permainan catur hanya mulai tumbuh di zaman sahabat. Oleh karena itu setiap hadis yang menerangkan tentang catur di zaman Nabi adalah hadis-hadis batil (dhaif). [10]
Di kalangan para sahabat sendiri berbeda dalam memandang masalah catur ini. Ibnu Umar menganggapnya sama dengan dadu. Sedang Ali memandangnya sama dengan judi. (Mungkin yang dimaksud, yaitu apabila dibarengi dengan judi). Sementara ada juga yang berpendapat makruh.
Ali bin Abi Tholib berkata, Catur itu adalah judinya orang-orang a'jam ( selain Arab ). " Suatu ketika beliau bnerjalan di  hadapan orang yang bermain catur lalu berkata, "Patung-patung apakah yang kalian hadapi ini ? Seandainya kalian menyentuh bara api samapi p[adam adalah lebih baik dari pada menyentuh benda ini, Demi Alloh bukan untuk ini kalian diciptakan."
Sedangkan sahabat Ibnu Abbas pernah diamanahi mengurusi anak yatim dan harta mereka, lalu beliau mendapatkan dalam rumah itu terdapat catur lalu beliau membakarnya, kalalulah boleh tentu beliau tidak akan membakarnya. Abu Musa Al Asy'ari berkata, "Orang yang bermain catur hanyalah orang yang salah."
Ibrohim An Nakho'I berkata, "Bermain catur adalah terkutuk."[11]
Dan di antara sahabat dan tabi'in ada juga yang menganggapnya mubah. Di antara mereka itu ialah: Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Sirin, Hisyam bin 'Urwah, Said bin Musayyib dan Said bin Jubair. Inilah pendapat orang-orang kenamaan dan begitu jugalah pendapat saya. Sebab menurut hukum asal, sebagaimana telah kita ketahui, adalah mubah. Sedang dalam hal ini tidak ada satu nas tegas yang menerangkan tentang haramnya. Dan pada catur itu sendiri melebihi permainan dan hiburan biasa. Di dalamnya terdapat semacam olah raga otak dan mendidik berfikir. Oleh karena itu tidak dapat disamakan dengan dadu. Dan justru itu pula mereka mengatakan: yang menjadi ciri daripada dadu ialah untung-untungan (spekulasi), jadi sama dengan azlam. Sedang yang menjadi ciri dalam permainan catur ialah kecerdasan dan latihan, jadi sama dengan lomba memanah.
Namun tentang kebolehannya ini dipersyaratkan dengan tiga syarat :
1. Tidak boleh menyebabkan tertundanya shalat
2. Tidak boleh bercampur dengan unsur judi
3. Bisa menjaga lisannya ketika sedang bermain untuk tidak bicara kotor atau membicarakan orang dan yang sejenisnya.
Kalau ketiga syarat ini tidak dapat dipenuhinya, maka dapat dihukumi haram.[12]
Imam Asy Syafi'i pernah ditanya oleh seseorang, "Hai Imam Syafi’i, kamu membolehkan manusia bermain catur padahal Rasulullah saw telah bersabda, 'Tidak menyukai permainan catur kecuali seorang penyembah berhala.'[13]
Demikian Imam Asy Syafii, bahkan beliau membolehkan permainan catur dengan syarat-syarat, bila permainan catur tanpa pertaruhan, tanpa omongan yang melampaui batas dan tidak sampai melalaikan shalat, maka tidak haram dan tidak termasuk maisir (judi), karena judi ditandai adanya pembayaran uang atau pengambilan uang, sedang hakekat permainan catur tidak demikian, maka ia tidak termasuk judi.[14]
Imam An Nawawi pernah ditanya tentang boleh dan tidaknya, dosa atau tidak bermain catur, beliau menyebutkan bila dalam permainan menyebabkan hilangnya kesempatan untuk menunaikan sholat, atau disertai dengan taruhan maka hukumnya menjadi haram, jika tidak maka makruh, demikian pendapoat Asy Syafi'I sedang menurut pendapat lainnya tetap haram.[15]
Dengan ketatnya pendapat ulama tentang masalah main catur ini, apalagi para ulama dahulu sering mengaitkannya dengan muruah dan `adalah seseorang, yaitu kehormatan / nama baik dan keadilan. Sehingga bisa menggugurkan level kebolehannya untuk bisa diterima kesaksiannya di depan sidang pengadilan. Terlebih lagi bermain catur di dalam masjid, maka hal ini sangatlah tidak layak karena bermain catur di masjid jelas merusak kehormatan masjid itu sendiri dan lebih baik baiknya untuk dihindari. [16]
Demikian bermain catur secara umum, terlebih dilakukan di masjid. Maka dalam hal ini Alloh SWT telah berfirman :

Îû BNqãç/ tbÏŒr& ª!$# br& yìsùöè? tŸ2õãƒur $pkŽÏù ¼çmßJó$# ßxÎm7|¡ç ¼çms9 $pkŽÏù Íirßäóø9$$Î/ ÉA$|¹Fy$#ur ÇÌÏÈ ×A%y`Í žw öNÍkŽÎgù=è? ×ot»pgÏB Ÿwur ììøt/ `tã ̍ø.ÏŒ «!$# ÏQ$s%Î)ur Ío4qn=¢Á9$# Ïä!$tGƒÎ)ur Ío4qx.¨9$#   tbqèù$sƒs $YBöqtƒ Ü=¯=s)tGs? ÏmŠÏù ÛUqè=à)ø9$# ㍻|Áö/F{$#ur ÇÌÐÈ ãNåkuÌôfuÏ9 ª!$# z`|¡ômr& $tB (#qè=ÏHxå NèdyƒÌtƒur `ÏiB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ä-ãötƒ `tB âä!$t±o ÎŽötóÎ/ 5>$|¡Ïm ÇÌÑÈ

Artinya, "(Mereka yang mendapat pancaran nur Ilahi) adalah bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.. (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya ALlah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas." ( Q.S An Nuur : 36-38 )


Kesimpulan :
            Para Ulama berbeda pendapat dalam hal hukum bermain catur, kebanyakan dari mereka adalah mengharamkannya dengan menyamakannya dengan permainan dadu dan atau selainnya yang baik dilakukannya untuk berjudi atau tidak. Adapun yang membolehkan permainan catur adalahdengan syarat-syarat yang telah disebutkan oleh para ulama diatas.
Wallahu A`lam Bish-Showab,



Daftar Maroji' :

  1. Al-Fiqh al-lslami wa Adillatuh, DR. Wahbah Az Zuhaili, CET 4 TAHUN 1418 / 1997 Darul Fikr wal Ma'ashir, Beirut, Suriyah
  2. Imam Adz Dzahabi, Al Kabaair wa yaliihi Al mahrumat wal manhiyat, cet 4 tahun 1416, Daar Ibnul Mubarok, Saudi Arabia
  3. Imam Adz Dzahabi, Al Kabaair, ( Edisi Arab ), tanpa tahun Dinamika Utama Jakarta & Edisi Indonesia; Dosa-dosa Besar cet 1, pustaka Arofah, Solo
  4. Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Al Halal wal Harom; Edisi Indonesia Halal dan Haram dalam Islam, penerjemah Mu'ammal Hamidy, cetakan tahun 1993 Penerbit PT. Bina Ilmu, Surabaya
  5. Muhammad Nashruddin al-Albani, Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah (Edisi Indonesia; Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu', Penterjemah: A.M. Basamalah, Penyunting: Drs. Imam Sahardjo HM., Cetakan 1, tahun 1994, Gema Insani Press, Jakarta
  6. Imam Muslim An Naisaburi, HADITS SHAHIH MUSLIM (Edisi Indonesia; Terjemahan Hadits "Shahih Muslim", Penterjemah : Ma'mur Daud, Pentashih : Syekh H. Abd. Syukur Rahimy, Cetakan kelima, Thn 2003, Penerbit Fa. Widjaya, Jakarta
  7. Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa    Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-3, Darul Haq Jakarta.
  8. Syaikh Ibn Utsaimin, Al-As’ilah Al-Muhimmah, Mamalakah Aroniyah Su'udiyah, Arab SAudi
  9. Syariahonline.com, Pusat Konsultasi Syariah, Office : TB Simatupang 12 A Lenteng Agung Jagakarsa Jakarta Selatan Indonesia, telp. (62-21) 78847267  fax. (62-21) 78847268
  10. www.al-shia.com
  11. www.assofwa.or.id


[1] Imam Muslim, Sohih Muslim; Edisi Indonesia Terjemahan Hadits "Shahih Muslim" Penterjemah : Ma'mur Daud hadits no. (2107)
[2] Muhammad Nashruddin al-Albani, Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah ( Edisi Indonesia; Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu', penterjemah: A.M. Basamalah,
Hadits No. 1145)

[3] Muhammad Nashruddin al-Albani, Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah ( Edisi Indonesia; Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu', penterjemah: A.M. Basamalah,
Hadits No. 1146

[4] lihat Ruhul Ma'ani, Al Alusi, II halaman 114
[5] Adz Dzahabi, Al Kabair, masalah no.58
[6] ibid
[7] Sumber: Brosur berbahasa Arab tentang Hari Raya, ditulis oleh Hamud bin Abdul Aziz al-Shaigh.www as-sofwa.or.id
[8]  Al-bukhari dalam bab Bad’u Al-Khalqi 2336 ; Muslim dalam bab Al-Libas 85-2106
[9] Syaikh Ibn Utsaimin, Al-As’ilah Al-Muhimmah, hal. 17,

[10]  Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam halaman 410
[11]  Dari kitab Al Kabair bab nard wa nardasyir
[12]  Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam halaman 410
[13]  al-Fiqh al-lslami wa Adillatuh, jld. 5, hal. 566.juga dapat dilihat dalam Al-Umm, asy-Syafi’i, jld. 6, hal. 208.
[14] lihat Ruhul Ma'ani, Al Alusi, II halaman 114
[15] Al Kaba'ir, Adz Dzahabi no.58
[16] email info@syariahonline.com

Posted By Ey-NhA SwEetBluE'S_92_find me to path!05.26

Silahkan berkomentar "anda sopan kami segan"