Sabtu, 30 Agustus 2014

Jernihkan Hati, Gapai Ampunan Illahi

Label Post:

Banyak terdapat kisah para salaf yang menggambarkan kepekaan hati mereka terhadap kebaikan dan kebenaran. Ibarat spons yang selalu menyerap setiap air kebajikan. Satu peristiwa yang nampak sepele (dalam pandangan kita) pun, sanggup membuat mereka mengambil hikmahnya. Hati mereka bersih dan lembut. Air mata mereka berderai. Suara mereka meninggi menembus langit. Kemudian kembali ke bumi dan menyiraminya dengan kebaikan penuh berkah. Pernah, shahabat Ustman bin ‘Affan berdiri menatap kuburan seraya menangis. Ketika ditanya kenapa menangis, beliau menjawab, “Sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda, ‘sesungguhnya kuburan adalah rumah pertama dari rumah-rumah akhirat. Bila seseorang lulus darinya, maka sesudahnya lebih mudah. Namun jika tidak lulus darinya, maka sesudahnya lebih dahsyat lagi’.” Jika kita renungkan lebih dalam, hal ini mestinya membuat kita menjadi malu. Hati kita yang keras membatu, tidak peka terhadap nasihat agama. Sebenarnya, telah banyak nasihat dari kaum arif bijaksana kita dengarkan, banyak ilmu agama telah kita pelajari, banyak ayat-ayat al-Qur’an kita baca, namun semua itu tidak menggerakkan kita untuk segera bertaubat. Tidak melembutkan hati kita yang telah keras. Kotor terpolusi kemaksiatan, tumpul merespon kebenaran. Hidup pun terasa kering dan gersang, meski kita telah berpuasa dan shalat. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, jika dibacakan al-Qur’an kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka seraya bersujud. Mereka berkata, ‘Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi.’ Dan mereka menyungkur atas muka mereka seraya menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. al-Israa’: 107-109). • Ruang Rahasia Menurut Ibnul Qayyim, di dalam hati manusia ada celah kosong yang tidak dapat diisi kecuali oleh Allah. Ada kekusutan yang tidak dapat diurai kecuali dengan mendekatkan diri kepada Allah. Ada penyakit yang tidak dapat disembuhkan kecuali dengan keikhlasan beribadah kepada Allah. Sebuah kamar rahasia yang khusus untuk-Nya saja. Apakah kita mengetahuinya? Sebab hukuman yang paling berat bagi manusia adalah kerasnya hati dan jauhnya dari Allah, maka barangsiapa yang menginginkan hatinya bersih dan lembut, harus mendekatkan diri kepada Allah dan mendahulukan-Nya di atas segalanya. Bukan dengan cara-cara lain yang justru semakin menjauhkannya dari Allah dan semakin membuat hatinya mengeras. Di saat hati mengeras, sulit merasakan lezatnya beribadah kepada-Nya, sulit menerima nasihat, dan sulit meneteskan air mata karena takut kepada-Nya. Padahal, yang demikian ini adalah tanda kehinaan manusia. Seperti diungkapkan Imam ad-Daarani, “Segala sesuatu memiliki tanda, sedang tanda kehinaan adalah tidak mampu menangis karena takut kepada Allah.” • Jangan Kotori Bejana-Nya Kelembutan hati (riqqatul qalbi) adalah sumber kebaikan, sedang kerasnya hati (qaswatul qalbi) adalah sumber bencana. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan agar menjadi hamba yang berhati lembut (raqiiqul qalbi) dan terjauh dari menjadi hamba yang keras hatinya (qaasil qalbi). Hati adalah bejana Allah di bumi. Ia memiliki kepekaan yang bisa digunakan untuk melihat, asalkan senantiasa diasah dan dibina. Menjadikannya bersih dan mengkilat jika kita membersihkannya, dan akan berkerak jika kita mengotorinya. Cara pertama adalah meninggalkan dosa dan maksiat. Sebab dosa itu luka (al jiraahaat) yang akan langsung berpengaruh pada kelembutan atau kekerasan hati. Allah berfirman, “(Tetapi) karena mereka melanggar janji, Kami melaknat mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu.” (QS. Al-Maaidah: 13). Ayat ini menunjukkan bahwa menenggelamkan diri ke dalam dosa dan maksiat adalah sebab langsung mengerasnya hati. Imam Hasan al-Bashri berkata, “Ketahuilah wahai saudaraku, akibat dosa adalah kelalaian, sedang kelalaian mewariskan kerasnya hati. Kerasnya hati mengakibatkan jauhnya seorang hamba dari Allah. Sedang jauh dari Allah mengantarkan seorang hamba ke neraka.” Yang harus diwaspadai dalam hal ini adalah adanya perasaan aman setelah melakukan dosa dan maksiat. Karena kadang, akibat dosa itu tidak langsung terasa, sehingga pelakunya mengira tidak mendapat hukuman dari Allah atas apa yang telah dilakukannya. Ini adalah musibah besar. Pelakunya telah tertipu oleh nikmatnya maksiat dan kegagalannya merasakan akibat buruk perbuatannya. Dia akan mengulangi dosanya karena mengira tidak apa-apa, padahal hal ini sudah merupakan hukuman dari Allah. • Jeratan Manis Dunia beserta kenikmatannya diciptakan untuk kita. Keindahan, kelezatan, kemewahan dan permainannya memiliki pesona dan daya pikat yang luar biasa. Ia ibarat perangkap yang menjerat mangsa. Kemanisannya membuat manusia tidak menyadari ketika di telah terjerat masuk perangkap. Manusia yang hatinya sibuk mencintai dan mengejar perangkap dunia, ingin menghimpun dan menguasai dunia seluruhnya. Dia merasa memang terlahir untuk itu dan tidak merasa rugi mengejarnya seumur hidup. Menyebabkan mereka terlena dari kewajiban beribadah kepada Allah. Bukankah demikian yang kita lihat di sekitar kita? Dengarkan petuah Malik bin Dinar yang sangat berharga, “Sebesar dukamu atas luputnya nikmat dunia, sebesar itu pula telah keluar hasrat ukhrawi dari hatimu. Dan sebesar sedihmu atas kehidupan akhirat, sebesar itu pula telah keluar hasrat duniawi dari hatimu.” Mari luruskan niat dan tujuan, sebagaimana nasihat Ibnul Qayyim, “Ketika hamba yang mendapat taufik menyadari nilai rendah kehidupan dunia dan maqamnya yang hina, mereka padamkan api-api syahwat demi kepentingan akhirat. Saat tersadar dari kelalaian, mereka kembali bersemangat seperti semangat musuh (syetan) menggoda mereka di saat lalai. Ketika perjalanan terasa panjang, mereka tangkap tujuannya sehingga apa yang jauh terasa dekat. Dan ketika hidup terasa pahit, ia menjadi manis dengan mengingat dan merenungkan firman Allah, ‘Haadza yaumudilladzii kuntum tuu’aduuna.’ Inilah hari yang telah dijanjikan atas kalian.” Mari mengurangi frekuensi kesibukan dalam urusan dunia, dan menciptakan keseimbangan dengan beribadah kepada Allah. Kemudian apa yang kita peroleh janganlah membuat jeratan hati yang hanya akan menyibukkan kita dari mengingat Allah. Mari mengingat kematian dan akhirat beserta peristiwa-peristiwa yang mengiringnya. Muraqabah ini adalah sikap batin yang mampu memotivasi kita berbuat kebajikan dan membuat kita lebih terjaga mengontrol diri dalam segala situasi. Rasulullah bersabda bahwa hamba yang paling cerdas adalah Mukmin yang paling banyak mengingat kematian dan paling banyak persiapannya menghadapi hidup setelah mati. • Amaliyah Ragawi Termasuk sarana pelembut hati adalah sejumlah aktifitas ragawi seperti berdzikir, berdoa, qiraah al-Qur’an, melaksanakan sunnah-sunnah rasul, bergaul dengan orang-orang shalih, menangis karena takut kepada Allah dan membekali diri dengan ibadah-ibadah ritual. Keikhlasan dan kesungguhan kita saat mengerjakannya akan mewariskan rasa hati (dzauq) yang lezat. Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya jika hati telah merasakan manisnya ibadah dan keikhlasan kepada Allah, tidak akan ada di dalamnya sesuatu yang lebih manis, lebih lezat, lebih menyenangkan dan lebih baik selain ibadah itu sendiri.” Jika demikian adanya, upaya kita adalah bagaimana beribadah kepada Allah bukan hanya kumpulan amaliyah fisik yang kosong dari ruh penghambaan. Hanya menyisakan kelelahan dan tidak mewariskan kemanisan rasa. Namun kebutuhan kita akan santapan ruhani itu sendiri. • Nasihat Berharga Sebisa mungkin, kita luangkan waktu untuk mendengarkan nasihat dari hamba Allah yang arif bijaksana. Petuah-petuah yang dapat melembutkan hati, melelehkan air mata, mengingatkan kita akan dosa-dosa, menyesali masa-masa jahiliyyah yang kelam dan mengerem kerakusan kita akan dunia. Nasihat dari hamba-hamba Allah yang jujur dan benar ucapan mereka, jauh lebih berharga dari majelis-majelis yang membicarakan gaya hidup hedonis dan menghamba syahwat. Sekalipun ia mendatangkan keuntungan materi dunia. Abu Sulaiman ad-Daarani pernah berkata, “Dosa-dosa mereka sudah sedikit sehingga mereka mengetahui dari mana mereka didatangkan, sedang dosa-dosaku dan kalian sangatlah banyak, maka kita tidak mengetahui dari mana kita didatangkan.” Ibnul Qayyim berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya seorang hamba menempuh jalan menuju Allah dengan hati dan tekad bajanya, bukan dengan fisiknya.” Bukankah hakikat takwa adalah takwanya hati? Jangan salahkan orang lain jika kita gagal menikmati lezatnya iman, karena membiarkan hati kita membatu. Karena hati ibarat rembulan, yang jika awan menutupi sinarnya, akan hilanglah keindahannya. Hitam kelam, gelap pekat. Inginkah kita menyibak awan hitam ini? Semoga Allah memberi kekuatan. Wallahu Musta’an. Sumber : Majalah Ar Risalah

0 komentar:

Posting Komentar

Tulis saran dan kritik anda di sini. Harus menggunakan login akun @yahoo, @gmail, @hotmail atau yang lainnya

Silahkan berkomentar "anda sopan kami segan"