Penulis: Al-Ustadz Abu 'Abdillah Mustamin
Musaruddin
.:
:.
1. Pendahuluan
Puasa pada bulan Ramadhan adalah kewajiban
bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan dan merupakan salah satu rukun
Islam dan bangunannya yang agung.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, telah
diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kalian agar kalian bertakwa”. (Q.S.Al Baqarah : 183).
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi
wa sallam bersabda :
بُنِيَ
الْإِسْلاَمُ عَلىَ خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ
وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
“Islam itu dibangun atas lima perkara,
syahadat Laa ilaaha illallah waa anna Muhammadan abduhu warasuluhu, menegakkan
shalat, mengeluarkan zakat, haji ke Al-Bait (Ka’bah) dan puasa Ramadhan.” Muttafaqun
‘alaih.
Beliau shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
menyebutkan Puasa Ramadhan sebagai salah satu rukun Islam yang tidak akan tegak
agama itu kecuali dengannya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka
seorang yang telah mencapai masa baligh dan memenuhi syarat-syarat taklif
(pembebanan syari’at) padanya, wajib untuk melaksanakan perintah puasa Ramadhan
ini, baik laki-laki maupun perempuan. Dan bagi seorang perempuan, kewajibannya
untuk melaksanakan puasa Ramadhan sebagaimana halnya seorang laki-laki, adalah
ketika telah mencapai masa baligh yang mana masa ini tidak ditentukan oleh usia
semata, melainkan oleh beberapa faktor :
Pertama : haidh, yaitu keluarnya darah kotor
dari kemaluannya. Bila seorang anak perempuan telah mengalami haidh, meskipun baru
berumur 10 tahun, maka telah wajib baginya untuk berpuasa Ramadhan.
Kedua : Tumbuhnya bulu di sekitar kemaluan.
Ketiga : Umur/usia 15 tahun sebagai batas
maksimal seorang anak digolongkan telah baligh jika dua tanda baligh di atas
belum muncul. Maka seorang anak yang telah berusia 15 tahun walaupun belum
haidh dan belum tumbuh bulu di sekitar kemaluannya, dia telah wajib untuk
berpuasa Ramadhan.
Dan adalah juga kewajiban orang tua untuk
memperhatikan keadaan perkembangan anaknya, sehingga jika anak perempuan telah
haidh walaupun dalam usia sekitar 10 tahun misalnya, orang tua tersebut segera
menyuruh anaknya untuk berpuasa.
Wanita muslimah mukallaf yang terkena
kewajiban puasa jika bulan Ramadhan telah tiba adalah wanita muslimah yang
sehat (tidak sakit) dan muqim (berada di negerinya dan tidak dalam keadaan
bersafar). Dan jika dia dalam keadaan sakit atau musafir (sedang dalam
perjalanan) di dalam bulan Ramadhan maka boleh baginya berbuka puasa, dan wajib
baginya untuk meng-qodho` (mengganti) pada hari-hari yang lain (di luar
Ramadhan) sebanyak hari berbukanya.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Barangsiapa di antara kalian hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain”. (Q.S. Al Baqarah : 185).
Demikian pula halnya seseorang yang menjumpai
(mendapati) bulan Ramadhan sedang usianya telah sangat lanjut dan telah lemah
sehingga tidak kuat lagi untuk berpuasa atau seorang yang sakit tidak ada
harapan lagi untuk sembuh dari penyakitnya pada waktu kapan pun, maka dia boleh
berbuka puasa dan untuk setiap hari berbukanya dia berkewajiban untuk memberi
makan seorang miskin. Dan ini dinamakan fidyah. Allah subhanahu wa ta'ala
berfirman :
وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi
makan seorang miskin”. (Q.S.Al Baqarah : 184).
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25)
2. Wanita yang terkena pengecualian dari
kewajiban puasa Ramadhan
a. Wanita haidh dan nifas
- Wanita haidh
* Wanita yang sedang mengalami masa haidh
dikecualikan dari kewajiban berpuasa bahkan wajib baginya untuk meninggalkan
puasa ketika sedang haidh dan puasa yang dikerjakan oleh wanita haidh batal
dengan datangnya haidh. Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam
bersabda :
أَلَيْسَ
إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا
“Bukankah juga seorang wanita mengalami
haidh, dia tidak shalat dan tidak berpuasa. Itulah (bentuk) kurangnya diennya
(agamanya)”. Hadits riwayat Bukhary-Muslim dari shahabat Abu Sa’id Al Khudry
radhiyallahu ‘anhu.
Dan telah ada ijma’ ‘ulama bahwa wanita yang
haidh yang meninggalkan shalat dan puasa, sebagaimana yang dinukil oleh Imam
An-Nawawy dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab 2/351 katanya : “Ummat
telah sepakat bahwasanya diharamkan atas wanita yang haidh shalat wajib maupun
sunnah dan mereka (ummat) sepakat akan jatuhnya (hilangnya) kewajiban shalat
atas wanita haidh tersebut. Maka dia tidak perlu mengganti shalatnya jika telah
bersih. Berkata Abu Ja’far Ibnu Jarir di dalam kitabnya Ikhtilaful Fuqoha` :
“Ummat telah sepakat bahwa wajib bagi wanita haidh untuk meninggalkan semua
shalat baik yang fardhu (wajib) maupun yang sunnah, dengan (meninggalkan) semua
puasa baik yang fardhu maupun yang sunnah dan meninggalkan thowaf baik yang
fardhu maupun yang sunnah, dan bahwa jika wanita haidh tersebut mengerjakan
shalat atau berpuasa atau thowaf, maka dia tidak akan mendapatkan pahala dari
amalan fardhunya maupun sunnahnya sama sekali””. Dan hal yang serupa juga
dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam Al-Minhaj 1/637.
* Wajib bagi wanita tersebut untuk
meng-qodho` (mengganti) puasa yang ditinggalkannya di bulan Ramadhan pada
hari-hari yang lain dan tidak perlu meng-qodho` shalatnya. Ketika Ummul
Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya oleh seorang wanita yang bernama
Ma’adzah katanya : “Kenapa wanita yang haidh meng-qodho` puasanya dan tidak
meng-qodho` shalatnya ?” Beliau menjawab :
كُنَّا
نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
“Kami diperintahkan untuk mengganti puasa
dan tidak diperintahkan untuk mengganti shalat”. Muttafaqun ‘alaihi.
Beliau radhiyallahu ‘anha menjelaskan bahwa
perkara ini adalah termasuk perkara tauqifiyah dimana pada perkara tersebut
nashlah yang mesti diikuti.
* Seorang wanita yang haidh mulai berhenti
berpuasa sejak keluarnya darah haidh dan sejak itu pula kalau dia sedang
berpuasa maka puasanya batal dan tidak boleh diteruskan meskipun tinggal
beberapa saat waktunya dari waktu tenggelamnya matahari (berbuka puasa).
* Jika haidhnya sudah selesai maka dia
mulai berpuasa dengan ketentuan :
Kalau haidhnya berhenti sebelum terbitnya
fajar (bukan matahari), maka dia berniat untuk berpuasa lalu mulai berpuasa,
meskipun dia belum sempat mandi bersih sampai terbitnya fajar dan sejak itu
puasanya terhitung, sebagaimana hal ini dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullah dalam Fathul Bary 4/192 dari jumhur ahli ilmu, demikian pula
Al-Qurthuby rahimahullahu dalam kitab Tafsirnya ketika menjelaskan tafsir
firman Allah subhanahu wa ta'ala :
فَالْآنَ
بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ
“Maka sekarang campurilah mereka dan
carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu”. (Q.S.Al Baqarah : 187).
Jika berhentinya haidh pada pertengahan hari
puasa, maka yang harus dilakukan adalah menahan diri dari yang membatalkan
puasa sejak waktu berhentinya haidhnya sampai terbenamnya matahari, yang mana
hal ini dilakukan dalam rangka pemuliaan dan penghargaannya terhadap waktu
(hari “puasa”), kemudian dia wajib meng-qodho’ puasanya untuk hari itu.
* Tidak dianjurkan bagi wanita untuk
mengkonsumsi obat-obatan pencegah dan penahan haidh, sebab haidh adalah sesuatu
yang Allah subhanahu wa ta'ala telah tetapkan bagi wanita, dan para wanita pada
zaman Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam tidaklah memaksakan
diri mereka untuk mencegah/menahan datangnya haidh, bahkan tidak diketahui
salah seorang dari mereka ada yang pernah melakukannya. Akan tetapi, jika ada
yang melakukannya dan obat tersebut tidak membahayakan kesehatannya dan dapat benar-benar
menghentikan darah, maka puasanya sah dan tidak perlu meng-qodho`nya. Tetapi
jika wanita tersebut ragu apakah darahnya benar-benar berhenti/tertahan atau
masih ada yang keluar maka wanita tersebut masih dalam keadaan haidh, wajib
untuk berbuka dan meng-qodho` puasanya. Berkata Syaikh Sholeh Al-Fauzan :
“Diperbolehkan bagi wanita untuk mengkonsumsi tablet yang bisa menghalangi
haidh agar dia bisa berpuasa (lengkap) jika tablet (obat-obat) ini tidak
membahayakan kesehatannya”. Al-Muntaqa Min Fatawa Fadhilah Asy-Syaikh Sholeh
Al-Fauzan 3/148.
- Wanita yang sedang nifas
Wanita yang sedang nifas hukumnya sama dengan
wanita haidh. Sebagaimana ijma’ nya para ahul ilmi bahwa wanita yang sedang
nifas tidak halal untuk berpuasa dan wajib baginya untuk berbuka dan
meng-qodho` puasanya pada hari-hari yang lain. Berkata Al-Imam An-Nawawy (dalam
Al Minhaj 1/637) : “Kaum muslimin telah sepakat bahwa wanita haidh dan nifas
tidak wajib shalat dan puasa atas mereka.”
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=2)
3. Beberapa hal yang berkaitan haidh dan
nifas sehubungan dengan puasa Ramadhan :
* Wanita haidh yang telah lengkap (cukup
bilangan hari haidh menurut kebiasaannya), kemudian dia mandi dan melaksanakan
puasa. Jika kemudian dia melihat sesuatu dari farjinya (kemaluannya) maka hal
ini tidak menghalanginya untuk terus shalat dan puasa berdasarkan perkataan
Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anhuma :
كُنَّا
لاَ نَعُدُّ الصُفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا
“Kami tidak menganggap kekuningan dan
keputihan setelah suci sama sekali”. Hadits riwayat Bukhary dan Abu Daud dan
ini lafazh Abu Daud.
* Jika darah haidhnya berhenti sebelum
genapnya hari-hari kebiasaan haidhnya kemudian dia mandi lalu shalat dan
berpuasa lalu setelah itu dia kembali melihat darah dari kemaluannya maka darah
itu dianggap darah haidh dan dia masih dalam keadaan haidh sampai selesai
masanya dan puasa yang telah dilakukannya dalam selang waktu antara berhentinya
darah yang pertama dengan keluarnya darah untuk kedua kalinya, tidak
diperhitungkan dan dia harus meng-qodho` nya.
* Ada
sebagian wanita yang bisa mengalami haidh selagi hamil. Kalau memang itu adalah
kebiasaan wanita tersebut maka ia dianggap haidh.
* Wanita nifas, demikian pula halnya jika waktu
nifasnya telah genap 40 hari kemudian dia mandi lalu setelah itu ada darah lagi
yang keluar setelah lewat 40 hari tadi maka hal ini tidaklah berpengaruh dan
tidak dianggap darah nifas lagi dan sudah boleh shalat dan puasa, kecuali kalau
selesainya waktu nifas bersambung dengan waktu haidhnya.
* Jika belum genap 40 hari darahnya
terhenti, sehingga dia mandi lalu shalat dan berpuasa lalu tidak ada darah lagi
setelah itu maka berarti masa nifasnya tidak sampai 40 hari dan hal ini mungkin
saja terjadi.
* Jika setelah mandi lalu shalat dan
berpuasa kemudian setelah itu ada lagi darah yang keluar maka dia harus segera
menghentikan shalat dan puasanya dan ia dianggap masih dalam keadaan nifas.
* Darah yang keluar dari seorang wanita
setelah keguguran (secara sengaja ataupun tidak) apakah juga mengharuskan dia
untuk berbuka (tidak berpuasa)?
Jawab :
Jika janin yang keluar dari kandungan itu
sudah berusia 4 bulan atau sudah bisa dibedakan anggota-anggota tubuhnya
seperti kaki, lengan dan kepalanya maka wanita yang keguguran tersebut dianggap
mengalami nifas dan padanya berlaku hukum wanita nifas, tidak boleh shalat dan
puasa. Tetapi jika janinnya kurang dari 40 hari dan anggota-anggota tubuhnya
masih belum berbentuk, maka tidaklah dia dianggap nifas.
4. Wanita hamil dan menyusui
Wanita hamil dan menyusui mendapatkan rukhsah
(keringanan) berupa bolehnya berbuka di bulan Ramadhan.
Diriwayatkan oleh Imam Abu ‘Isa no.715, Abu
Daud no.2408 dan Ibnu Majah no.1667 dari hadits Anas bin Malik Al-Ka’by bahwa
Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
إِنَّ
اللهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ
الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala meletakkan puasa
dan seperdua shalat dari seorang musafir dan (meletakkan) puasa dari wanita
yang hamil atau menyusui”.
Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat)
dikalangan para ‘ulama tentang bolehnya wanita menyusui dan hamil jika
mengkhawatirkan dirinya atau mengkhawatirkan janinnya atau anaknya untuk
berbuka.
Jika wanita hamil atau menyusui berbuka pada
bulan Ramadhan karena mengkhawatirkan dirinya dan atau anaknya, maka wajib
baginya untuk membayar fidyah berupa memberi makan untuk setiap harinya satu
orang miskin, dan tidak meng-qodho` puasanya, kecuali kalau dia tidak khawatir
terhadap dirinya dan atau anaknya jika ia berpuasa untuk mengganti puasanya
(meng-qodho`nya) dan dia sanggup untuk itu, maka dia boleh meng-qodho`nya dan
tidak usah membayar fidyah. Dalilnya adalah pengecualian/pengkhususan bagi
laki-laki dan perempuan tua, orang sakit yang tidak diharapkan lagi
kesembuhannya dan wanita hamil serta wanita menyusui yang mengkhawatirkan
dirinya atau anaknya dari Firman Allah subhanahu wa ta'ala :
وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan bagi orang-orang yang mampu untuk
berpuasa (boleh bagi mereka untuk membayar) fidyah (berupa) memberi makan bagi
orang miskin”.
Sebab penunjukan makna yang umum yang
terdapat pada ayat ini dijelaskan pada ayat lainnya.
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa diantara kalian mendapati
bulan puasa maka hendaklah ia berpuasa”.
Dan ditetapkan bagi laki-laki/wanita tua yang
tidak sanggup lagi untuk berpuasa, orang sakit yang tidak lagi diharapkan bisa
sembuh (karena penyakitnya yang berat dan berlangsung lama) demikian pula
wanita hamil dan menyusui yang jika keduanya mengkhawatirkan diri dan atau
anak-anaknya.
Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :
“Diberikan rukhsah (keringanan) bagi
laki-laki tua dan wanita tua pada masalah ini (puasa) sementara keduanya mampu
berpuasa untuk berbuka jika mau, atau untuk memberi makan setiap hari seorang
miskin dan tidak wajib qodho` atas mereka, kemudian (hukum tersebut) diganti dengan
(hukum) di dalam ayat ini :
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa diantara kalian mendapati
bulan puasa maka hendaklah ia berpuasa”.
dan ditetapkan bagi laki-laki dan wanita tua
jika tidak sanggup berpuasa demikian pula wanita hamil dan wanita menyusui jika
khawatir, untuk berbuka dan memberi makan setiap hari seorang miskin”.
(Dikeluarkan oleh Al-Baihaqy 4/230) dan Abu Daud 2318. Berkata Syaikh Salim
Hilaly dan ‘Ali bin Hasan bin ‘Abdul Hamid : Sanadnya shohih (lihat : Sifat
Puasa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam Dalam Ramadhan hal.80).
Peringatan/catatan Penting tentang wanita
mustahadhah
Wanita yang mengalami istihadhah yaitu wanita
yang kedatangan darah yang tidak bisa digolongkan darah haidh.
Wanita yang mengalami istihadhah ini wajib
untuk melaksanakan puasa dan tidak boleh baginya meninggalkannya (berbuka)
karena sebab darah istihadhah.
Berkata Syaikh Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah : “Berbeda dengan istihadhah, Istihadhah (bisa) mencakup pada
seluruh waktu (artinya bisa terjadi pada setiap waktu) dan tidak ada waktu
khusus yang diperintahkan untuk berpuasa (melainkan seluruh waktu), dan tidak
mungkin baginya untuk menghindari istihadhah seperti tidak mungkinnya dia
mencegah muntah dan keluarnya darah karena luka dan mimpi dan semisalnya yang
tidak ada waktu-waktu yang tertentu sehingga bisa dihindari. Maka istihadhah
ini (seperti juga yang lainnya) tidaklah meniadakan puasa seperti darah haidh
(Majmu’ Al- Fatawa 25/251).
(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Abu
'Abdillah Mustamin Musaruddin "Hukum-Hukum yang berkaitan dengan wanita di
bulan ramadhan".
Seputar fiqh kewanitaan di bulan Ramadhan
(2)
Dikirim oleh webmaster, Ahad 31 Agustus 2008,
kategori Fiqh
Penulis: Al-Ustadz Abu 'Abdillah Mustamin
Musaruddin
.:
:.
I. HUKUM-HUKUM YANG BERHUBUNGAN DENGAN
HAL-HAL YANG MERUSAK PUASA.
1. Dibolehkan bagi wanita yang berpuasa
mencicipi makanan untuk mengetahui rasanya dan mengetahui panasnya untuk
disuapkan pada bayinya, selama makanan tersebut tidak masuk ke dalam
kerongkongannya (ditelan).
Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu :
“Tidak mengapa baginya untuk mencicipi cuka atau sesuatu (makanan) selama tidak
masuk kedalam kerongkongannya, dan dia dalam keadaan berpuasa”. Diriwayatkan
oleh Al-Imam Bukhary secara mu’allaq. (Fathul Bary 4/154 ) dan sanadnya
disambungkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah di dalam Musnadnya (3/47).
2. Wanita yang sedang berpuasa
diperbolehkan mencium suaminya atau untuk dicium oleh suaminya, jika keduanya
yakin dapat menguasai diri untuk tidak sampai melakukan jima’ (hubungan intim).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata :
“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mencium istrinya dalam
keadaan berpuasa dan menyentuh (tanpa hubungan intim) dalam keadaan puasa, akan
tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menguasai diri (hajat) nya.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhary (4/131) dan
Muslim (1106).
Berkata Syaikh ‘Abdullah Al-Bassam: “Berkata
penulis kitab Al-Iqna’ (karya Ibnu Muflih Al-Hambaly-ed.) : Makruh hukumnya
mencium karena syahwat semata, dan jika dia memperkirakan (menduga) akan
keluarnya mani, maka mencium diharamkan atasnya tanpa ada khilaf (perbedaan
pendapat dikalangan ‘ulama).
3. Jika dia dengan terjadinya ciuman sampai
mengeluarkan mani berarti dia telah berbuka (batal puasanya) berdasarkan
madzhab Imam yang empat, bahkan Ibnul Mundzir dan Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah
menukil adanya ijma’ ‘ulama muslim tentang hal tersebut.
4. Jika ciuman itu menyebabkan keluarnya
madzi, maka tidaklah membatalkan/merusak puasanya.
5. Jika dua orang wanita saling bersentuhan
(bergesekan) menyebabkan keluarnya mani, maka puasa keduanya menjadi
rusak/batal, wajib untuk di-qodho’ (diganti) dan tidak perlu kaffarah.
6. Jika seorang wanita (yang sedang
berpuasa Ramadhan) disetubuhi oleh suaminya dengan paksaan, maka tidak wajib
atasnya untuk membayar kaffarah.
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=5)
II. SHALAT TARAWIH (QIYAMU RAMADHAN)
Shalat tarawih secara berjama’ah telah
disyari’atkan di dalam ajaran agama Islam dan meliputi laki-laki maupun wanita.
Maka disyari’atkan pula bagi wanita untuk menghadiri shalat jama’ah berdasarkan
hadits Abu Dzar : “Kami telah berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam dan beliau tidak shalat mengimami kami sedikitpun
sejak awal bulan, hingga tinggal tujuh hari (dari bulan Ramadhan), beliau
shalat mengimami kami (pada shalat lail/tarawih) sampai lewat sepertiga malam,
ketika malam ke-6 dari akhir Ramadhan beliau tidak shalat bersama kami, ketika
malam ke-5 beliau mengimami kami sampai lewat pertengahan malam. Maka aku (Abu
Dzar) berkata : “Wahai Rasulullah seandainya engkau menjadikan shalat (tarawih)
pada malam ini sebagai nafilah (sunnah)”, maka Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya seseorang, jika dia shalat bersama Imam sampai dia (Imam itu)
selesai telah dituliskan baginya qiyam (shalat) sepanjang malam itu”. Maka
ketika tinggal 4 malam beliau tidak shalat (bersama kami) dan ketika tinggal 3
malam beliau mengumpulkan anggota keluarganya dan istri-istrinya dan
orang-orang, maka shalatlah Nabi mengimami kami sampai-sampai kami takut tidak
dapat (kelewatan) Al-Falah, berkata seseorang apa itu Al-Falah ? Berkata Abu
Dzar : As-Sahur (makan sahur), kemudian beliau tidak (keluar lagi) shalat
mengimami kami pada hari-hari yang sisa dari bulan Ramadhan”.
Syahid (sisi pendalilan) dari hadits ini
adalah ketika Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam mengumpulkan
istri-istri dan keluarganya untuk shalat lail.
Wanita yang akan hadir di mesjid untuk shalat
tarawih berjama’ah disyaratkan baginya agar aman dari fitnah ; dan wajib
baginya ketika sedang ke mesjid untuk menjaga hijabnya, dalam keadaan tertutup,
tidak berhias, tidak memakai minyak wangi, tidak mengeraskan suaranya dan tidak
menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak darinya, seperti baju luar
dan jilbabnya sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta'ala :
وَلاَ
يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (Q.S. An-Nur : 31).
Disunnahkan bagi wanita untuk menjauh dari
laki-laki dengan cara memulai shof mereka (para wanita) dari belakang, sebab
Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dalam riwayat Muslim bersabda :
خَيْرُ
صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُها وَشَرُّهَا آخِرُها وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ
آخِرُها وَشَرُّها أَوَّلُها.
“Sebaik-baik shofnya laki-laki adalah yang
paling depan dan sejelek-jeleknya adalah yang paling belakang, dan sebaik-baik
shofnya wanita adalah yang paling akhir dan sejelek-jeleknya adalah yang paling
depan”.
Dan dianjurkan bagi wanita untuk segera
keluar dari mesjid begitu selesai salam, dan tidak sampai terlambat kecuali
kalau ada udzur. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha :
“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam jika beliau selesai dari
salamnya beliau diam sejenak ditempatnya sebelum beliau berdiri, saya (Ummu
Salamah) pandang/menilai -Wallahu A’lam- bahwa hal tersebut (dilakukan oleh
Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam) agar supaya para wanita memiliki
kesempatan untuk meninggalkan tempat (pulang) sebelum mereka dijumpai oleh para
lelaki. Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary.
Dianjurkan untuk tidak membawa anak kecil
yang belum bisa membedakan dan berfikir sebab hal ini biasanya akan mengganggu
orang lain.
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=6)
III. I’TIKAF
1. Disyari’atkannya i’tikaf bagi wanita.
I’tikaf disyari’atkan (baca : disunnahkan)
juga bagi wanita, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary (no.2026) dari
hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : ”Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi
wa sallam melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan
sampai Allah subhanahu wa ta'ala mewafatkan beliau, kemudian setelahnya
(setelah beliau wafat) istri-istrinya melakukan I’tikaf”. Dan sebagaimana juga
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary (Fathul Bary 4/289) dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha : “Seorang wanita yang sedang menjalani istihadhah dari istri-istri Nabi
(dalam sebuah riwayat dia adalah Ummu salamah) melakukan I’tikaf bersama
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, dia (kadang-kadang masih)
melihat warna merah dan kuning (dari darah istihadhahnya) bahkan kadang-kadang
kami meletakkan baskom di bawahnya ketika dia sedang shalat.
2. Disyari’atkan bagi wanita yang hendak
melakukan I’tikaf adanya izin dari suaminya atau walinya dan aman dari fitnah
dan aman dari bersunyi-sunyian dengan laki-laki. Karena banyaknya dalil yang
menunjukkan hal ini dan karena adanya kaidah fiqh :
دَرْءُ
الْمَفْسَدَةِ مَقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصْلَحَةِ
“Mencegah kerusakan didahulukan daripada
mengambil kebaikan”.
Diantara dalil yang menunjukkan hal tersebut,
hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi
wa sallam menyebut-nyebut bahwa beliau akan melakukan I’tikaf pada 10 hari
terakhir dari bulan Ramadhan, lalu ‘Aisyah meminta izin, maka beliau
mengizinkan, kemudian Hafshof meminta ‘Aisyah untuk meminta izinkan baginya
(pada Rasulullah) maka ‘Aisyah melakukannya, maka ketika Zainab binti Jahsyin
melihat hal itu dia memerintahkan untuk dibangunkan bangunan (kemah di dalam
mesjid), maka dibangunkan baginya. Kata ‘Aisyah : “Dan adalah Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam jika selesai shalat beliau beranjak
menuju ke bangunannya (kemah), maka (ketika itu) beliau melihat
bangunan-bangunan. Beliau bersabda : “Apa ini ?”. Maka dijawab (ini adalah)
bangunan-bangunannya ‘Aisyah, Hafshoh dan Zainab, maka Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda : “Apakah mereka (para wanita itu)
benar-benar menginginkan kebaikan dengan perbuatan ini ? saya tidak (jadi)
melakukan I’tikaf”. Maka beliau kembali dan tatkala telah selesai berpuasa
beliau melakukan I’tikaf 10 hari di bulan Syawal”.
Syahid (sisi pendalilan) dari hadits di atas
adalah bahwa para istri-istri Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam
meminta izin pada beliau untuk melakukan I’tikaf.
3. Berkata Imam An-Nawawy (Al-Majmu’ 6/526)
: “Wanita yang sedang I’tikaf sama hukumnya dengan laki-laki mu’takif,
diharamkan baginya berhubungan intim dan menyentuh dengan syahwat dan dalam
rusaknya I’tikaf itu dengan keduanya (bersetubuh dan bersentuhan dengan
syahwat) dan dibedakan antara wanita yang tahu, ingat dan atas kemauan sendiri
dengan wanita yang lupa, tidak tahu dan terpaksa, sebagaimana telah lalu.
Wallahu A’lam”.
4. Diperbolehkan bagi wanita haidh untuk
menyisir rambut suaminya yang sedang I’tikaf. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha :
“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menjulurkan kepalanya
kepadaku sementara beliau tinggal di mesjid, maka aku menyisirnya dalam keadaan
hamil”. Diriwayatkan oleh Imam Bukhary, hadits no.2029.
5. Wanita yang mengalami istihadhah
diperbolehkan untuk melakukan I’tikaf. Sebagaimana hadits yang telah lalu yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhary yaitu hadits ‘Aisyah tentang I’tikafnya salah
seorang dari istri Rasulullah yang sedang mengalami istihadhah.
6. Diperbolehkan bagi wanita untuk
mengunjungi suaminya yang sedang I’tikaf. ‘Ali bin Al-Husain rahimahullah
ta’ala berkata bahwa Shofiyah istri Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
mengatakan padanya bahwa dia datang kepada Rasulullah shollallahu 'alaihi wa
alihi wa sallam untuk menjenguknya di mesjid pada sepuluh hari terakhir dari
bulan Ramadhan. Dia (Shofiyah) berbincang-bincang dengan Nabi beberapa saat
lamanya kemudian dia bangkit untuk kembali (ke kamar/rumahnya), maka bangkitlah
Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersamanya untuk mengantarkannya
sampai ketika tiba di pintu mesjid (yaitu) pintu Ummu Salamah lewatlah 2 orang
dari kaum Anshor, keduanya memberi salam kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wa alihi wa sallam, maka berkata Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam :
“Pelan-pelanlah kalian (tenanglah), dia itu adalah Shofiyah binti Huyai”, maka
keduanya berkata : “Maha suci Allah, wahai Rasulullah” dan keduanya merasa
bersalah besar, maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya syaithan itu bisa masuk ke anak cucu adam ke dalam darahnya dan
aku tahu dia (syaithan) akan melemparkan ke dalam hati kalian berdua sesuatu”.
7. Juga di perbolehkan untuk melamar
seorang wanita yang sedang I’tikaf bahkan boleh melakukan aqad nikah untuknya,
sebab tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang.
8. Seorang wanita yang ditinggal mati oleh
suaminya sedang dia dalam keadaan I’tikaf, dia berhak untuk meneruskan dan
menggenapkan I’tikafnya.
9. Seorang wanita yang diceraikan oleh
suaminya, ketika dia sedang beri’tikaf, maka sebaiknya dia keluar dari
I’tikafnya dan menyelesaikan masa ‘iddahnya di rumah suaminya. Allah subhanahu
wa ta'ala berfirman :
وَاتَّقُوا
اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا
أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
“Dan bertaqwalah kalian pada Allah
subhanahu wa ta'ala Rabb kalian dan janganlah kalian mengeluarkan mereka
(istri-istri kalian) dari rumah-rumah mereka dan janganlah sekali-kali mereka
keluar, kecuali kalau mereka melakukan perbuatan keji yang jelas”. (Q.S.
Ath-Thalaaq : 1).
Demikianlah hukum-hukum yang khusus bagi
wanita yang berhubungan dengan bulan Ramadhan. Mudah-mudahan tulisan ini
bermanfaat bagi kaum muslimin.
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=7)
(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Abu
'Abdillah Mustamin Musaruddin. Judul asli "Hukum-Hukum yang berkaitan
dengan wanita di bulan Ramadhan".
0 komentar:
Posting Komentar
Tulis saran dan kritik anda di sini. Harus menggunakan login akun @yahoo, @gmail, @hotmail atau yang lainnya