Oleh
Abu Muhammad 'Ishom bin Mar'i
Bagian Pertama dari Dua Tulisan [1/2]
[A]. PENGERTIAN AQIQAH
Imam Ibnul Qayyim rahimahulloh dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud”
hal.25-26, mengatakan bahwa : Imam Jauhari berkata : Aqiqah ialah “Menyembelih
hewan pada hari ketujuhnya dan mencukur rambutnya.” Selanjutnya Ibnu Qayyim
rahimahulloh berkata :
“Dari penjelasan ini jelaslah bahwa aqiqah itu disebut demikian
karena mengandung dua unsur diatas dan ini lebih utama.”
Imam Ahmad rahimahulloh dan jumhur ulama berpendapat bahwa apabila
ditinjau dari segi syar’i maka yang dimaksud dengan aqiqah adalah makna
berkurban atau menyembelih (An-Nasikah).
[B]. DALIL-DALIL SYAR'I TENTANG AQIQAH
Hadist No.1 :
Dari Salman bin ‘Amir Ad-Dhabiy, dia berkata : Rasululloh bersabda :
“Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan
hilangkanlah semua gangguan darinya.” [Shahih Hadits Riwayat Bukhari (5472),
untuk lebih lengkapnya lihat Fathul Bari (9/590-592), dan Irwaul Ghalil (1171),
Syaikh Albani]
Makna menghilangkan gangguan adalah mencukur rambut bayi atau
menghilangkan semua gangguan yang ada [Fathul Bari (9/593) dan Nailul Authar
(5/35), Cetakan Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, pent]
Hadist No.2 :
Dari Samurah bin Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda : “Semua anak
bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan
(kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” [Shahih, Hadits Riwayat Abu
Dawud 2838, Tirmidzi 1552, Nasa’I 7/166, Ibnu Majah 3165, Ahmad 5/7-8, 17-18, 22,
Ad Darimi 2/81, dan lain-lainnya]
Hadist No.3 :
Dari Aisyah dia berkata : Rasulullah bersabda : “Bayi laki-laki
diaqiqahi dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing.”
[Shahih, Hadits Riwayat Ahmad (2/31, 158, 251), Tirmidzi (1513), Ibnu Majah
(3163), dengan sanad hasan]
Hadist No.4 :
Dari Ibnu Abbas bahwasannya Rasulullah bersabda : “Menaqiqahi Hasan dan
Husain dengan satu kambing dan satu kambing.” [HR Abu Dawud (2841) Ibnu Jarud
dalam kitab al-Muntaqa (912) Thabrani (11/316) dengan sanadnya shahih
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Daqiqiel ‘Ied]
Hadist No.5 :
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah bersabda :
“Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran
bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk
perempuan satu kambing.” [Sanadnya Hasan, Hadits Riwayat Abu Dawud (2843),
Nasa’I (7/162-163), Ahmad (2286, 3176) dan Abdur Razaq (4/330), dan shahihkan
oleh al-Hakim (4/238)]
Hadist No.6 :
Dari Fatimah binti Muhammad ketika melahirkan Hasan, dia berkata :
Rasulullah bersabda : “Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak kepada
orang miskin seberat timbangan rambutnya.” [Sanadnya Hasan, Hadits iwayat Ahmad
(6/390), Thabrani dalam “Mu’jamul Kabir” 1/121/2, dan al-Baihaqi (9/304) dari
Syuraiq dari Abdillah bin Muhammad bin Uqoil]
Dari dalil-dalil yang diterangkan di atas maka dapat diambil hukum-hukum
mengenai seputar aqiqah dan hal ini dicontohkan oleh Rasulullah para sahabat
serta para ulama salafus sholih.
[C]. HUKUM-HUKUM SEPUTAR AQIQAH
HUKUM AQIQAH SUNNAH
Al-Allamah Imam Asy-Syaukhani rahimahulloh berkata dalam Nailul Authar
(6/213) : “Jumhur ulama berdalil atas sunnahnya aqiqah dengan hadist Nabi :
“….berdasarkan hadist no.5 dari ‘Amir bin Syu’aib.”
BANTAHAN TERHADAP ORANG YANG MENGINGKARI DAN MEMBID'AHKAN AQIAH
Ibnul Mundzir rahimahulloh membantah mereka dengan mengatakan bahwa :
“Orang-orang ‘Aqlaniyyun (orang-orang yang mengukur kebenaran dengan akalnya,
saat ini seperti sekelompok orang yang menamakan sebagai kaum Islam Liberal,
pen) mengingkari sunnahnya aqiqah, pendapat mereka ini jelas menyimpang jauh
dari hadist-hadist yang tsabit (shahih) dari Rasulullah karena berdalih dengan
hujjah yang lebih lemah dari sarang laba-laba.” [Sebagaimana dinukil oleh Ibnu
Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.20, dan Ibnu Hajar
al-Asqalani dalam “Fathul Bari” (9/588)].
WAKTU AQIQAH PADA HARI KETUJUH
Berdasarkan hadist no.2 dari Samurah bin Jundab. Para
ulama berpendapat dan sepakat bahwa waktu aqiqah yang paling utama adalah hari
ketujuh dari hari kelahirannya. Namun mereka berselisih pendapat tentang
bolehnya melaksanakan aqiqah sebelum hari ketujuh atau sesudahnya. Al-Hafidz
Ibnu Hajar rahimahulloh berkata dalam kitabnya “Fathul Bari” (9/594) :
“Sabda Rasulullah pada perkataan ‘pada hari ketujuh
kelahirannya’ (hadist no.2), ini sebagai dalil bagi orang yang berpendapat
bahwa waktu aqiqah itu adanya pada hari ketujuh dan orang yang melaksanakannya
sebelum hari ketujuh berarti tidak melaksanakan aqiqah tepat pada waktunya.
bahwasannya syariat aqiqah akan gugur setelah lewat hari ketujuh. Dan ini
merupakan pendapat Imam Malik. Beliau berkata : “Kalau bayi itu meninggal
sebelum hari ketujuh maka gugurlah sunnah aqiqah bagi kedua orang tuanya.”
Sebagian membolehkan melaksanakannya sebelum hari ketujuh. Pendapat ini
dinukil dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.35.
Sebagian lagi berpendapat boleh dilaksanakan setelah hari ketujuh. Pendapat ini
dinukil dari Ibnu Hazm dalam kitabnya “al-Muhalla” 7/527.
Sebagian ulama lainnya membatasi waktu pada hari ketujuh dari hari
kelahirannya. Jika tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh maka boleh pada
hari ke-14, jika tidak bisa boleh dikerjakan pada hari ke-21. Berdalil dari
riwayat Thabrani dalm kitab “As-Shagir” (1/256) dari Ismail bin Muslim dari
Qatadah dari Abdullah bin Buraidah :
“Kurban untuk pelaksanaan aqiqah, dilaksanakan pada hari ketujuh
atau hari ke-14 atau hari ke-21.” [Penulis berkata : “Dia (Ismail) seorang rawi
yang lemah karena jelek hafalannya, seperti dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar
dalam ‘Fathul Bari’ (9/594).” Dan dijelaskan pula tentang kedhaifannya bahkan
hadist ini mungkar dan mudraj]
BERSEDEKAH DENGAN DENGAN PERAK SEBERAT TIMBANGAN RAMBUT
Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhoyyan berkata : “Dan
disunnahkan mencukur rambut bayi, bersedekah dengan perak seberat timbangan
rambutnya dan diberi nama pada hari ketujuhnya. Masih ada ulama yang
menerangkan tentang sunnahnya amalan tersebut (bersedekah dengan perak),
seperti : al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Ahmad, dan lain-lain.”
Adapun hadist tentang perintah untuk bersedekah dengan emas, ini adalah
hadit dhoif.
TIDAK ADA
TUNTUNAN BAGI ORANG DEWASA UNTUK AQIQAH ATAS NAMA DIRINYA SENDIRI
Sebagian ulama mengatakan : "Seseorang yang tidak diaqiqahi pada
masa kecilnya maka boleh melakukannya sendiri ketika sudah dewasa".
Mungkin mereka berpegang dengan hadist Anas yang berbunyi : “Rasulullah
mengaqiqahi dirinya sendiri setelah beliau diangkat sebagai nabi.” [Dhaif
mungkar, Hadits Riwayat Abdur Razaq (4/326) dan Abu Syaikh dari jalan Qatadah
dari Anas]
Sebenarnya mereka tidak punya hujjah sama sekali karena hadistnya dhaif
dan mungkar. Telah dijelaskan pula bahwa nasikah atau aqiqah hanya pada satu
waktu (tidak ada waktu lain) yaitu pada hari ketujuh dari hari kelahirannya.
Tidak diragukan lagi bahwa ketentuan waktu aqiqah ini mencakup orang dewasa
maupun anak kecil.
AQIQAH UNTUK ANAK LAKI-LAKI DUA KAMBING DAN PEREMPUAN SATU KAMBING
Berdasarkan hadist no.3 dan no.5 dari Aisyah dan ‘Amr bin Syu’aib.
"Setelah menyebutkan dua hadist diatas, al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam
“Fathul Bari” (9/592) : “Semua hadist yang semakna dengan ini menjadi hujjah
bagi jumhur ulama dalam membedakan antara bayi laki-laki dan bayi perempuan
dalam masalah aqiqah.”
Imam Ash-Shan’ani rahimahulloh dalam kitabnya “Subulus Salam” (4/1427)
mengomentari hadist Aisyah tersebut diatas dengan perkataannya : “Hadist ini
menunjukkan bahwa jumlah kambing yang disembelih untuk bayi perempuan ialah
setengah dari bayi laki-laki.”
Al-‘Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahulloh dalam kitabnya “Raudhatun
Nadiyyah” (2/26) berkata : “Telah menjadi ijma’ ulama bahwa aqiqah untuk bayi
perempuan adalah satu kambing.”
Penulis berkata : “Ketetapan ini (bayi laki-laki dua kambing dan
perempuan satu kambing) tidak diragukan lagi kebenarannya.”
BOLEH AQIQAH BAYI LAKI-LAKI DENGAN SATU KAMBING
Berdasarkan hadist no. 4 dari Ibnu Abbas. Sebagian ulama berpendapat
boleh mengaqiqahi bayi laki-laki dengan satu kambing yang dinukil dari
perkataan Abdullah bin ‘Umar, ‘Urwah bin Zubair, Imam Malik dan lain-lain
mereka semua berdalil dengan hadist Ibnu Abbas diatas.
Tetapi al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh berkata dalam kitabnya “Fathul
Bari” (9/592) : “…..meskipun hadist riwayat Ibnu Abbas itu tsabit (shahih),
tidaklah menafikan hadist mutawatir yang menentukan dua kambing untuk bayi
laki-laki. Maksud hadist itu hanyalah untuk menunjukkan bolehnya mengaqiqahi
bayi laki-laki dengan satu kambing….”
Sunnah ini hanya berlaku untuk orang yang tidak mampu melaksanakan
aqiqah dengan dua kambing. Jika dia mampu maka sunnah yang shahih adalah
laki-laki dengan dua kambing.
[Disalin dan diringkas kembali dari kitab “Ahkamul Aqiqah” karya
Abu Muhammad ‘Ishom bin Mar’i, terbitan Maktabah as-Shahabah, Jeddah, Saudi
Arabia, dan diterjemahkan oleh Mustofa Mahmud Adam al-Bustoni, dengan judul
“Aqiqah” terbitan Titian Ilahi Press, Yogjakarta, 1997]
Oleh
Abu Muhammad 'Ishom bin Mar'i
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan [2/2]
[D]. AQIQAH DENGAN KAMBING
TIDAK SAH AQIQAH KECUALI DENGAN KAMBING
Telah lewat beberapa hadist yang menerangkan keharusan menyembelih dua
ekor kambing untuk laki-laki dan satu ekor kambing untuk perempuan. Ini
menandakan keharusan untuk aqiqah dengan kambing.
Dalam “Fathul Bari” (9/593) al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh
menerangkan : “Para ulama mengambil dalil dari
penyebutan syaatun dan kabsyun (kibas, anak domba yang telah muncul gigi
gerahamnya) untuk menentukan kambing buat aqiqah.” Menurut beliau : “Tidak sah
aqiqah seseorang yang menyembelih selain kambing”.
Sebagian ulama berpendapat dibolehkannya aqiqah dengan unta, sapi, dan
lain-lain. Tetapi pendapat ini lemah karena :
[1]. Hadist-hadist shahih yang menunjukkan keharusan aqiqah dengan
kambing semuanya shahih, sebagaimana pembahasan sebelumnya.
[2]. Hadist-hadist yang mendukung pendapat dibolehkannya aqiqah
dengan selain kambing adalah hadist yang talif saqith alias dha’if.
PERSYARATAN KAMBING AQIQAH TIDAK SAMA DENGAN KAMBING KURBAN [IDUL ADHA]
Penulis mengambil hujjah ini berdasarkan pendapat dari Imam As-Shan’ani,
Imam Syaukani, dan Iman Ibnu Hazm bahwa kambing aqiqah tidak disyaratkan harus
mencapai umur tertentu atau harus tidak cacat sebagaimana kambing Idul Adha,
meskipun yang lebih utama adalah yang tidak cacat.
Imam As-Shan’ani dalam kitabnya “Subulus Salam” (4/1428) berkata :
"Pada lafadz syaatun (dalam hadist sebelumnya) menunjukkan persyaratan
kambing untuk aqiqah tidak sama dengan hewan kurban. Adapun orang yang menyamakan
persyaratannya, mereka hanya berdalil dengan qiyas.”
Imam Syaukhani dalam kitabnya “Nailul Authar” (6/220) berkata : “Sudah
jelas bahwa konsekuensi qiyas semacam ini akan menimbulkan suatu hukum bahwa
semua penyembelihan hukumnya sunnah, sedang sunnah adalah salah satu bentuk
ibadah. Dan saya tidak pernah mendengar seorangpun mengatakan samanya
persyaratan antara hewan kurban (Idul Adha) dengan pesta-pesta (sembelihan)
lainnya. Oleh karena itu, jelaslah bagi kita bahwa tidak ada satupun ulama yang
berpendapat dengan qiyas ini sehingga ini merupakan qiyas yang bathil.”
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya “Al-Muhalla” (7/523) berkata : “Orang yang
melaksanakan aqiqah dengan kambing yang cacat, tetap sah aqiqahnya sekalipun
cacatnya termasuk kategori yang dibolehkan dalam kurban Idul Adha ataupun yang
tidak dibolehkan. Namun lebih baik (afdhol) kalau kambing itu bebas dari
catat.”
BACAAN KETIKA MENYEMBELIH KAMBING
Firman Alloh Ta'ala : “Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu
dan sebutlah nama Allah…” [Al-Maidah : 4]
Firman Alloh Ta'ala : “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang
tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya perbuatan semacam
itu adalah suatu kefasikan.” [Al-An’am : 121]
Adapun petunjuk Nabi tentang tasmiyah (membaca bismillah) sedah masyhur
dan telah kita ketahui bersama (lihat Irwaul Ghalil 2529-2536-2545-2551, karya
Syaikh Al-Albani). Oleh karena itu, doa tersebut juga diucapkan ketika
meyembelih hewan untuk aqiqah karena merupakan salah satu jenis kurban yang
disyariatkan oleh Islam. Maka orang yang menyembelih itu biasa mengucapkan :
“Bismillahi wa Allohu Akbar”.
MENGUSAP DARAH SEMBELIHAN AQIQAH DI ATAS KEPALA BAYI MERUPAKAN
PERBUATAN BID'AH DAN JAHILIYAH
“Dari Aisyah berkata : Dahulu ahlul kitab pada masa jahiliyah,
apabila mau mengaqiqahi bayinya, mereka mencelupkan kapas pada darah sembelihan
hewan aqiqah. Setelah mencukur rambut bayi tersebut, mereka mengusapkan kapas
tersebut pada kepalanya ! Maka Rasulullah bersabda : “Jadikanlah (gantikanlah)
darah dengan khuluqun (sejenis minyak wangi).” [Shahih, diriwayatkan oleh Ibnu
Hibban (5284), Abu Dawud (2743), dan disahihkan oleh Hakim (2/438)]
Al-‘Allamah Syaikh Al-Albani dalam kitabnya “Irwaul Ghalil” (4/388)
berkata : “Mengusap kepala bayi dengan darah sembelihan aqiqah termasuk
kebiasaan orang-orang jahiliyah yang telah dihapus oleh Islam.”
Al-‘Allamah Imam Syukhani dala, kitabnya “Nailul Aithar” (6/214)
menyatakan : “Jumhur ulama memakruhkan (membenci) at-tadmiyah (mengusap kepala
bayi dengan darah sembelihan aqiqah)..”
Sedangkan pendapat yang membolehkan dengan hujjah dari Ibnu Abbas
bahwasannya dia berkata : “Tujuh perkara yang termasuk amalan sunnah terhadap
anak kecil….dan diusap dengan darah sembelihan aqiqah.” [Hadits Riwayat
Thabrani], maka ini merupakan hujjah yang dhaif dan mungkar.
BOLEH MENGHANCURKAN TULANGNYA [DAGING SEMBELIHAN AQIQAH]SEBAGAIMANA
SEMEBLIHAN LAINNYA
Inilah kesepekatan para ulama, yakni boleh menghancurkan tulangnya,
seperti ditegaskan Imam Malik dalam “Al-Muwaththa” (2/502), karena tidak adanya
dalil yang melarang maupun yang menunjukkan makruhnya. Sedang menghancurkan
tulang sembelihan sudah menjadi kebiasan disamping ada kebaikannya juga, yaitu
bisa diambil manfaat dari sumsum tersebut untuk dimakan.
Adapun pendapat yang menyelisihinya berdalil dengan hadist yang dhaif,
diantaranya adalah :
[1]. Bahwasannya Rasulullah bersabda : “Janganlah kalian
menghancurkan tulang sembelihannya.” [Hadist Dhaif, karena mursal terputus
sanadnya, Hadits Riwayat Baihaqi (9/304)]
[2]. Dari Aisyah dia berkata : “….termasuk sunnah aqiqah yaitu
tidak menghancurkan tulang sembelihannya….” [Hadist Dhaif, mungkar dan mudraj,
Hadits Riwayat. Hakim (4/283]
Kedua hadist diatas tidak boleh dijadikan dalil karena keduanya tidak
shahih. [lihat kitab “Al-Muhalla” oleh Ibnu Hazm (7/528-529)].
DISUNNAHKAN MEMASAK DAGING SEMBELIHAN AQIQAH DAN TIDAK MEMBERIKANNYA
DALAM KEADAAN MENTAH
Imam Ibnu Qayyim rahimahulloh dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud”
hal.43-44, berkata : “Memasak daging aqiqah termasuk sunnah. Yang demikian itu,
karena jika dagingnya sudah dimasak maka orang-orang miskin dan tetangga (yang
mendapat bagian) tidak merasa repot lagi. Dan ini akan menambah kebaikan dan
rasa syukur terhadap nikmat tersebut. Para
tetangga, anak-anak dan orang-orang miskin dapat menyantapnya dengan gembira.
Sebab orang yang diberi daging yang sudah masak, siap makan, dan enak rasanya,
tentu rasa gembiranya lebih dibanding jika daging mentah yang masih membutuhkan
tenaga lagi untuk memasaknya….Dan pada umumnya, makanan syukuran (dibuat dalam
rangka untuk menunjukkan rasa syukur) dimasak dahulu sebelum diberikan atau
dihidangkan kepada orang lain.”
TIDAK SAH AQIQAH SESEORANG KALAU DAGING SEMBELIHANNYA DIJUAL
Imam Ibnu Qayyim rahimahulloh dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud”
hal.51-52, berkata : “Aqiqah merupakan salah satu bentuk ibadah (taqarrub)
kepada Alloh Ta'ala. Barangsiapa menjual daging sembelihannya sedikit saja maka
pada hakekatnya sama saja tidak melaksanakannya. Sebab hal itu akan mengurangi
inti penyembelihannya. Dan atas dasar itulah, maka aqiqahnya tidak lagi sesuai
dengan tuntunan syariat secara penuh sehingga aqiqahnya tidak sah. Demikian
pula jika harga dari penjualan itu digunakan untuk upah penyembelihannya atau
upah mengulitinya” [lihat pula “Al-Muwaththa” (2/502) oleh Imam Malik].
ORANG YANG AQIQAH BOLEH MEMAKAN, BERSEDEKAH, MEMBERI MAKAN, DAN
MENGHADIAHKAN DAGING SEMEBELIHANNYA, TETAPI YANG LEBIH UTAMA JIKA SEMUA
DIAMALKAN
Imam Ibnu Qayyim rahimahulloh dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud”
hal.48-49, berkata : “Karena tidak ada dalil dari Rasulullah tentang cara
penggunaan atau pembagian dagingnya maka kita kembali ke hokum asal, yaitu
seseorang yang melaksanakan aqiqah boleh memakannya, memberi makan dengannya,
bersedekah dengannya kepada orang fakir miskin atau menghadiahkannya kepada
teman-teman atau karib kerabat. Akan tetapi lebih utama kalau diamalkan
semuanya, karena dengan demikian akan membuat senang teman-temannya yang ikut
menikmati daging tersebut, berbuat baik kepada fakir miskin, dan akan memuat
saling cinta antar sesama teman. Kita memohon taufiq dan kebenaran kepada Alloh
Ta'ala”. [lihat pula “Al-Muwaththa” (2/502) oleh Imam Malik].
JIKA AQIQAH BERTETAPAN DENGAN IDUL QURBAN, MAKA TIDAK SAH KALAU
MENGERJAKAN SALAH SATUNYA [SATU AMALAN DUA NIAT]
Penulis berkata : “Dalam masalah ini pendapat yang benar adalah tidak
sah menggabungkan niat aqiqah dengan kurban, kedua-duanya harus dikerjakan.
Sebab aqiqah dan adhiyah (kurban) adalah bentuk ibadah yang tidak sama jika
ditinjau dari segi bentuknya dan tidak ada dalil yang menjelaskan sahnya
mengerjakan salah satunya dengan niat dua amalan sekaligus. Sedangkan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah dan Alloh Ta'ala tidak pernah
lupa.”
TIDAK SAH AQIQAH SESEORANG YANG BERSEDEKAH DENGAN HARGA DAGING
SEMBELIHANNYA SEKALIPUN LEBIH BANYAK
Al-Khallah pernah berkata dalam kitabnya : “Bab Maa yustahabbu minal
aqiqah wa fadhliha ‘ala ash-shadaqah” : “ Kami diberitahu Sulaiman bin Asy’ats,
dia berkata Saya mendengar Ahmad bin Hambal pernah ditanya tentang aqiqah :
“Mana yang kamu senangi, daging aqiqahnya atau memberikan harganya kepada orang
lain (yakni aqiqah kambing diganti dengan uang yang disedekahkan seharga
dagingnya) ? Beliau menjawab : “Daging aqiqahnya.” [Dinukil dari Ibnul Qayyim
dalam “Tuhfathul Maudud” hal.35 dari Al-Khallal]
Penulis berkata : “Karena tidak ada dalil yang menunjukkan bolehnya
bershadaqah dengan harga (daging sembelihan aqiqah) sekalipun lebih banyak,
maka aqiqah seseorang tidak sah jika bershadaqah dengan harganya dan ini termasuk
perbuatan bid’ah yang mungkar ! Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad .”
ADAB MENGHADIRI JAMUAN AQIQAH
Diantara bid’ah yang sering dikerjakan khususnya oleh ahlu ilmu adalah
memberikan ceramah yang berkaitan dengan hukum aqiqah dan adab-adabnya serta
yang berkaitan dengan masalah kelahiran ketika berkumpulnya orang banyak
(undangan) di acara aqiqahan pada hari ketujuh.
Jadi saat undangan pada berkumpul di acara aqiqahan, mereka membuat
suatu acara yang berisi ceramah, rangkaian do’a-do’a, dan bentuk-bentuk seperti
ibadah lainnya, yang mereka meyakini bahwa semuanya termasuk dari amalan yang
baik, padahal tidak lain hal itu adalah bid’ah, pent.
Perbuatan semacam itu tidak pernah dicontohkan dalam sunnah yang shahih
bahkan dalam dhaif sekalipun !! Dan tidak pernah pula dikerjakan oleh Salafush
Sholih rahimahumulloh. Seandainya perbuatan ini baik niscaya mereka sudah
terlebih dahulu mengamalkannya daripada kita. Dan ini termasuk dalam hal
bid’ah-bid’ah lainnya yang sering dikerjakan oleh sebagian masyarakat kita dan
telah masuk sampai ke depan pintu rumah-rumah kita, pent !!
Sedangkan yang disyariatkan disini adalah bahwa berkumpulnya kita di
dalam acara aqiqahan hanyalah untuk menampakkan kesenangan serta menyambut
kelahiran bayi dan bukan untuk rangkaian ibadah lainnya yang dibuat-buat.
Sedang sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad . Semua kabaikan
itu adalah dengan mengikuti Salaf dan semua kejelekan ada pada bid’ahnya
Khalaf.
Wallahul Musta’an wa alaihi at-tiklaan.
[Disalin ringkas kembali dari kitab “Ahkamul Aqiqah” karya Abu
Muhammad ‘Ishom bin Mar’I, terbitan Maktabah as-Shahabah, Jeddah, Saudi Arabia,
dan diterjemahkan oleh Mustofa Mahmud Adam al-Bustoni, dengan judul “Aqiqah”
terbitan Titian Ilahi Press, Yogjakarta, 1997]
BOLEHNYA ORANG LAIN MENGURUSI SEMBELIHAN NASIKAH (AQIQAH)
Oleh
Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah
Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah.
Diperbolehkan selain wali anak, untuk mengurusi sembelihan nasikah dan
tidak ada larangan dalam hal itu. Dalilnya adalah ucapan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dari hadits Samurah Radhiyallahu ‘anhu.
“Artinya : Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih
pada hari ketujuh kelahirannya…”
Berkata Al-Allamah Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (5/133) : “Ucapan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “disembelih untuknya” ada dalil di
dalamnya bahwa boleh bagi orang lain untuk mengurusi penyembelihan nasikah
tersebut, sebagaimana bolehnya kerabat mengurusi kerabatnya dan seseorang
mengurusi dirinya”
Kami katakan :
Perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk dalil yang
terbesar atas kebolehan tersebut di mana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah mengaqiqahi kedua cucunya Al-Hasan dan Al-Husain.
WALIMAH NASIKAH (AQIQAH)
Tidak ada hadits marfu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
meriwayatkan tentang walimah nasikah ini, akan tetapi ada riwayat dari sahabat
beliau yang meunjukkan hal tersebut.
[1]. Muawiyah bin Qurrah berkata : “Ketika lahir Iyyas [1] aku
mengundang sekelompok sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku
menjamu mereka, lalu mereka berdo’a. Aku katakana : “Kalian telah berdo’a maka
semoga Allah memberkahi kalian dalam apa yang kalian doakan”. Jika aku berdo’a
dengan satu do’a maka mereka mengaminkan”.
Muawiyah berkata : “Maka aku mendo’akan Iyyas dengan do’a yang banyak
untuk kebaikan agamanya dan akal’ [2]
[2]. Bilal bin Ka’ab Al-Akki’ berkata : “Kami yakni aku, Ibrahim
bin Adham, Abdul Aziz bin Qarir dan Musa bin Yasar, mengunjungi Yahya bin Hasan
Al-Bakri Al-Filisthini di kampungnya. Maka Yahya datang pada kami dengan
membawa makanan. Musa tidak ikut memakan hidangan karena ia sedang puasa. Maka
berkata Yahya : “Telah mengimani kami di masjid ini selama 40 tahun seorang
lelaki dari Bani Kinanah dari sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
kunyahnya Abu Qurshafah. Kebiasan Abu Qurshafah ini adalah puasa sehari dan
berbuka sehari. Lalu lahir anaknya ayahku maka ayahku mengundangnya bertetapan
dengan hari puasanya, maka ia berbuka”
Ibrahim berdiri lalu menyapunya dengan bajunya dan Musa berbuka dari
puasanya [3]
Dengan demikian disyari’atkan walimah nasikah dan bagi yang diundang
hendaklah memenuhinya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Bila salah seorang dari kalian mengundang saudaranya
maka hendaklah ia memenuhinya apakah undangan nikah atau semisalnya” [4]
Berkata Imam Syafi’i dalam Al-Umm : “Mendatangi undangan walimah adalah
wajib”.
Dan beliau berkata :
“Dan aku tidak memberikan keringanan pada seorangpun untuk
meninggalkannya”
Tentunya dikecualikan jika ada kemungkaran di dalam acara tersebut maka
ketika itu wajib untuk tidak menghadirinya.
[Disalin dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah edisi
Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, Penulis Salim bin
Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah dan Muhammad bin Khalifah bin Muhammad
Ar-Rabah, Penerjemah Ummu Ishaq Zulfa bint Husain, Penerbit Pustaka Al-Haura]
__________
Foote Note
[1]. Iyyas adalah putra Muawiyah bin Qurrah, ia seorang qadhi
yang masyhur dengan kepandaian, ia tsiqah, sebagaimana disebutkan dalam
At-Taqrib.
[2]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (1255)
dan sanadnya shahih, di dalamnya ada Hazm bin Abi Hazm, kata Syaikh Al-Albani
(dalam) Ash-Shahihah (3/418) : “Dia diperbincangkan tanpa hujjah”.
Dan ini yang benar maka ia (Hazm) tsiqah sebagaimana dikatakan oleh
Ahmad, Ibnu Main dan selain keduanya, dan tidak perlu menoleh pada ucapan Ibnu
Hajar dal At-Taqrib.
[3]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (1253)
dan sanadnya dlaif. Di dalam sanadnya ada Muhammad bin Abdul Aziz Al-Umari :
“Ia suhuduq sering wahm” seperti yang dinyatakan dalam “At-Taqrib”. Dan rawi
yang bernama Bilal bin Kaab kata Al-Hafidzh ia maqbul yakni jika ada yang mengikutinya
dalam periwayatan.
[4]. Shahih dikeluarkan oleh Musim (10/246-Nawawi) dan
selainnya.
0 komentar:
Posting Komentar
Tulis saran dan kritik anda di sini. Harus menggunakan login akun @yahoo, @gmail, @hotmail atau yang lainnya