Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly,
Syaikh Ali Hasan Abdul Hami
.:
:.
1. Pensyari'atannya
Shalat tarawih disyari'atkan secara
berjama'ah berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha : "Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam keluar dan shalat di masjid,
orang-orang pun ikut shalat bersamanya, dan mereka memperbincangkan shalat
tersebut, hingga berkumpullah banyak orang, ketika beliau shalat, mereka-pun
ikut shalat bersamanya, mereka meperbincangkan lagi, hingga bertambah banyaklah
penghuni masjid pada malam ketiga, Rasulullah Shallalalhu 'alaihi wa sallam
keluar dan shalat, ketika malam keempat masjid tidak mampu menampung jama'ah,
hingga beliau hanya keluar untuk melakukan shalat Shubuh. Setelah selesai
shalat beliau menghadap manusia dan bersyahadat kemudian bersabda (yang
artinya) : “ Amma ba'du. Sesungguhnya aku mengetahui perbuatan kalian semalam,
namun aku khawatir diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu
mengamalkannya". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dalam
keadaan tidak pernah lagi melakukan shalat tarawih secara berjama'ah"
[Hadits Riwayat Bukhari 3/220 dan Muslim 761]
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam menemui Rabbnya (dalam keadaan seperti keterangan hadits diatas) maka
berarti syari'at ini telah tetap, maka shalat tarawih berjama'ah disyari'atkan
karena kekhawatiran tersebut sudah hilang dan ‘illat telah hilang (juga).
Sesungguhnya 'illat itu berputar bersama ma'lulnya, adanya atau tidak adanya.
Dan yang menghidupkan kembali sunnah ini
adalah Khulafa'ur Rasyidin Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu sebagaimana
dikabarkan yang demikian oleh Abdurrahman bin Abdin Al-Qoriy[1] beliau berkata
: "Aku keluar bersama Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu suatu malam
di bulan Ramadhan ke masjid, ketika itu manusia berkelompok-kelompok[2] Ada
yang shalat sendirian dan ada yang berjama'ah, maka Umar berkata : "Aku
berpendapat kalau mereka dikumpulkan dalam satu imam, niscaya akan lebih
baik". Kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu jama'ah dengan imam
Ubay bin Ka'ab, setelah itu aku keluar bersamanya pada satu malam, manusia
tengah shalat bersama imam mereka, Umar-pun berkata, "Sebaik-baik bid'ah
adalah ini, orang yang tidur lebih baik dari yang bangun, ketika itu manusia
shalat di awal malam".[Dikeluarkan Bukhari 4/218 dan tambahannya dalam
riwayat Malik 1/114, Abdurrazaq 7733]
2. Jumlah raka'atnya
Manusia berbeda pendapat tentang batasan
raka'atnya, pendapat yang mencocoki petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
adalah delapan raka'at tanpa witir berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha
(yang artinya) : “ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam
di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka'at" [Dikeluarkan
oleh Bukhari 3/16 dan Muslim 736 Al-Hafidz berkata (Fath 4/54)]
Yang telah mencocoki Aisyah adalah Ibnu Umar
Radhiyallahu anhuma, beliau menyebutkan, "Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam menghidupkan malam Ramadhan bersama manusia delapan raka'at kemudian
witir [Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya 920, Thabrani dalam
As-Shagir halaman 108 dan Ibnu Nasr (Qiyamul Lail) halaman 90, sanadnya hasan
sebagaimana syahidnya.]
Ketika Umar bin Al-Khaththab menghidupkan
sunnah ini beliau mengumpulkan manusia dengan sebelas raka'at sesuai dengan
sunnah shahihah, sebagaimana yang diriwayatkan ole Malik 1/115 dengan sanad
yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata : "Umar
bin Al-Khaththab menyuruh Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Daari untuk mengimami
manusia dengan sebelas raka'at". Ia berkata : "Ketika itu imam
membaca dua ratus ayat hingga kami bersandar/bertelekan pada tongkat karena
lamanya berdiri, kami tidak pulang kecuali ketika furu' fajar" [Furu'
fajar : awalnya, permulaan].
Riwayat beliau ini diselisihi oleh Yazid bin
Khashifah, beliau berkata : "Dua puluh raka'at".
Riwayat Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi
yang lebih shahih), karena Muhammad bin Yusuf lebih tsiqah dari Yazid bin
Khashifah. Riwayat Yazid tidak bisa dikatakan ziyadah tsiqah kalau kasusnya
seperti ini, karena ziyadah tsiqah itu tidak ada perselisihan, tapi hanya
sekedar tambahan ilmu saja dari riwayat tsiqah yang pertama sebagaimana (yang
disebutkan) dalam Fathul Mughits (1/199), Muhashinul Istilah hal. 185,
Al-Kifayah hal 424-425. Kalaulah seandainya riwayat Yazid tersebut shahih, itu
adalah perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adalah perkataan, dan
perkataan lebih diutamakan dari perbuatan sebagaiman telah ditetapkan dalam
ilmu ushul fiqh.
Abdur Razaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf
7730 dari Daud bin Qais dan lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid
: "Bahwa Umar mengumpulkan manusia di bulan Ramadhan, dengan dua puluh satu
raka'at, membaca dua ratus ayat, selesai ketika awal fajar"
Riwayat ini menyelisihi yang diriwayatkan
oleh Malik dari Muhamad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, dhahir sanad Abdur Razaq
shahih seluruh rawinya tsiqah.
Sebagian orang-orang yang berhujjah dengan
riwayat ini, mereka menyangka riwayat Muhammad bin Yusuf mudhtharib, hingga
selamatlah pendapat mereka dua puluh raka'at yang terdapat dalam hadits Yazid
bin Khashifah.
Sangkaan mereka ini tertolak, karena hadits
mudhtarib adalah hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi satu kali atau
lebih, atau diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dengan lafadz yang
berbeda-beda, mirip dan sama, tapi tidak ada yang bisa menguatkan (mana yang
lebih kuat). [Tadribur Rawi 1/262]
Namun syarat seperti ini tidak terdapat dalam
hadits Muhammad bin Yusuf karena riwayat Malik lebih kuat dari riwayat Abdur
Razaq dari segi hafalan. Kami ketengahkan hal ini kalau kita anggap sanad Abdur
Razaq selamat dari illat (cacat), akan tetapi kenyataannya tidak demikian
(karena hadits tersebut mempunyai cacat, pent) kita jelaskan sebagai berikut :
1. Yang meriwayatkan Mushannaf dari Abdur
Razaq lebih dari seorang, diantaranya adalah Ishaq bin Ibrahim bin Ubbad
Ad-Dabari.
2. Hadits ini dari riwayat Ad-Dabari dari
Abdur Razaq, dia pula yang meriwayatkan Kitabus Shaum [Al-Mushannaf 4/153]
3. Ad-Dabari mendengar dari Abdur Razaq
karangan-karangannya ketika berumur tujuh tahun [Mizanul I'tidal 1/181]
4. Ad-Dabari bukan perawi hadits yang
dianggap shahih haditsnya, juga bukan seorang yang membidangi ilmu ini [Mizanul
I'tidal 1/181]
5. Oleh karena itu dia banyak keliru dalam
meriwayatkan dari Abdur Razaq, dia banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq
hadits-hadits yang mungkar, sebagian ahlul ilmi telah mengumpulkan
kesalahan-kesalahan Ad-Dabari dan tashif-tashifnya dalam Mushannaf Abdur Razaq,
dalam Mushannaf [Mizanul I'tidal 1/181]
Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa
riwayat ini mungkar, Ad-Dabari dalam meriwayatkan hadits diselisihi oleh orang
yang lebih tsiqah darinya, yang menentramkan hadits ini kalau kita nyatakan
kalau hadits inipun termasuk tashifnya Ad-Dabari, dia mentashifkan dari sebelas
raka'at (menggantinya menjadi dua puluh satu rakaat), dan engkau telah
mengetahui bahwa dia banyak berbuat tashif [Lihat Tahdzibut Tahdzib 6310 dan
Mizanul I'tidal 1/181]
Oleh karena itu riwayat ini mungkar dan
mushahaf (hasil tashif), sehingga tidak bisa dijadikan hujjah, dan menjadi
tetaplah sunnah yang shahih yang diriwayatkan di dalam Al-Muwatha' 1/115 dengan
sanad Shahih dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid. Perhatikanlah.[3]
Footnote:
[1] Dengan tanwin ('abdin) dan (alqoriyyi)
dengan bertasydid -tanpa dimudhofkan- lihat Al-Bab fi Tahdzib 3/6-7 karya Ibnul
Atsir.
[2]Berkelompok-kelompok tidak ada bentuk
tunggalnya, seperti nisa' ibil ... dan seterusnya
[3]Dan tambahan terperinci mengenai
bantahan dari Syubhat ini, maka lihatlah
a. Al-Kasyfus Sharih 'an Aghlathis Shabuni
fii Shalatit Tarawih oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
b. Al-Mashabih fii Shalatit Tarawih oleh Imam
Suyuthi, dengan ta'liq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, cetakan Dar 'Ammar
0 komentar:
Posting Komentar
Tulis saran dan kritik anda di sini. Harus menggunakan login akun @yahoo, @gmail, @hotmail atau yang lainnya