Dikirim oleh webmaster, Senin 08 September
2008, kategori Fiqh
Penulis: Al Ustadz Qomar ZA, Lc
.:
:.
Ramadhan bulan penuh berkah, rahmat, dan
keutamaan adalah kesempatan emas bagi setiap muslim yang mendambakan ampunan
Allah dan surga-Nya, yang mengharap jauhnya diri dari murka Allah dan siksaNya.
Merupakan karunia Allah pada kita ketika Allah panjangkan umur kita sampai pada
bulan mulia ini, karena dengan itu berarti Allah memberikan kepada kita peluang
besar untuk menggapai maghfirah (ampunan) dan surga-Nya. Serta peluang bagi
kita untuk berusaha menyelamatkan kita dari neraka-Nya, dimana pada bulan ini
di setiap malamnya Allah membebaskan sekian banyak orang yang mestinya menghuni
neraka.
Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
عن
أبي هُرَيْرَةَ قال قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه... وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ من
النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ
(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata,
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “...Dan Allah memiliki
orang-orang yang yang dibebaskan dari neraka, dan itu pada tiap malam
(Ramadhan)”. [Shahih, Hadits Riwayat Tirmidzi:682. Shahih Sunan Tirmidzi]
Dalam hadits lain seorang sahabat bernama Abu
Umamah berkata kepada Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam:
يَا
رَسُولَ اللهِ فَمُرْنِي بِعَمَلٍ أَدْخُلُ بِهِ الْجَنَّةَ قَالَ عَلَيْكَ
بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ
(artinya) : Wahai Rasulullah maka
perintahkanlah kepadaku sebuah amalan yang aku akan masuk surga dengannya. Nabi
menjawab: “Hendaknya kamu puasa, tidak ada yang seperti puasa”. [HR Ibnu
Hibban. Lihat Mawarid Dhom’aan:1/232]
Dua keutamaan di atas menggambarkan kepada
kita tentang besarnya urusan puasa, keduanya merupakan puncak dari keutamaan
puasa, dan selain itu masih banyak lagi dari berbagai macam keutamaan
sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits. Namun karena pembahasan kali ini
bukan dalam rangka menyingkap keutamaan puasa, sehingga apa yang di atas cukup
sebagai isyarat kepada yang lain bahwa yang kita akan bahas disini justru
bagaimanakah kita dapat menggapai segala keutamaan tersebut. Saya menganggap
hal itu yang lebih penting untuk dibahas kali ini mengingat kita telah memasuki
bulan Ramadhan dan mengingat banyaknya orang-orang yang melalaikan hal ini.
Nah, untuk menggapai keutamaan tersebut tentu
bukan dengan sembarang puasa, bahkan harus dengan puasa yang sesuai dengan
aturannya, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala yang mensyariatkan
puasa. Disamping keikhlasan dalam mengamalkan ibadah ini, dorongan iman dan
mengharap pahala yang itu merupakan syarat diterimanya segala amalan, juga pada
garis besarnya seorang yang berpuasa harus menjauhi dua hal penting, apa itu?
Pertama, pembatal puasa
Kedua, pembatal pahala puasa
Poin kedua inilah yang akan kita bahas
sekarang, mengingat banyaknya orang-orang yang berpuasa dan masih
melalaikannya, dan mengingat bahayanya yang besar pada ibadah puasa karena ini
dapat membatalkan pahala puasa atau paling tidaknya dapat mengurangi pahala
puasa seukuran pelanggaran yang dia lakukan, dalam kondisi seorang yang
melakukanya sering kali tidak menyadarinya. Ini tentu suatu ancaman.
Hal ini dikarenakan puasa bukan sekedar
menahan dari lapar dan dahaga atau dari pembatal yang lain, seperti sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam :
لَيْسَ
الصِّيَامُ مِنَ اْلأَكْلِ وَ الشُّرْبِ
(artinya) : Bukanlah puasa itu sekedar
menahan dari makan dan minum. [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan
Al-Hakim]
Yakni lebih dari itu, ada hal-hal lain yang
ia harus menahan diri darinya sebagai bagian dari ibadah puasanya.
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menerangkan: Seorang
yang berpuasa adalah orang yang anggota badanya berpuasa dari
perbuatan-perbuatan dosa, lisannya berpuasa dari kata dusta, kata keji, dan
ucapan palsu, perutnya berpuasa dari makanan dan minuman, kemaluannya berpuasa
dari bersetubuh. Bila dia berbicara, tidak berbicara dengan sesuatu yang
mencacat puasanya, bila berbuat, tidak berbuat dengan suatu perbuatan yang
merusak puasanya, sehingga seluruh ucapannya keluar dalam keadaan baik dan
manfaat.
Demikian pula amalannya, amalannya bagai bau
harum yang dicium oleh seorang yang berteman dengan pembawa minyak wangi misk,
semacam itu pula orang yang berteman dengan orang yang berpuasa, ia mendapatkan
manfaat dengan bermajlisnya bersamanya, aman dari kepalsuan, kedustaan,
kejahatan dan kedhalimannya. Inilah puasa yang disyariatkan, bukan sekedar
menahan dari makan dan minum terdapat dalam hadits yang shahih:
من
لم يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ و الجهل فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ في
أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
(artinya) : Barangsiapa yang tidak
meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah
tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya. [Shahih, HR
Al-Bukhari]
Dalam hadits yang lain:
وَرُبَّ
صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ والعطش
(artinya) : Bisa jadi seorang yang
berpuasa, bagiannya dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga [Shahih, HR Ibnu
Hibban:8/257]
Maka puasa yang sebenarnya adalah puasanya
anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa, puasanya perut dari minum dan
makan, maka sebagaimana makanan itu akan memutus puasa dan merusaknya, demikian
pula perbuatan-perbuatan dosa akan memutus pahalanya dan merusak buahnya,
sehingga menjadikan orang yang berpuasa seperti yang tidak puasa.
[Al-Wabilushayyib:43]
Menengok kepada realita ibadah puasa yang
dilakukan oleh manusia, Ibnu Qudamah membagi puasa menjadi tiga:
- Puasa orang awam, yaitu sekedar menahan
perut dan kemaluan dari keinginannya.
- Puasa orang khusus, yaitu menahan
pandangan, lisan, tangan, kaki, pendengaran, penglihatan dan seluruh anggota
badan dari perbuatan-perbuatan dosa.
- Puasa orang yang lebih khusus, yaitu
puasanya kalbu dari keinginan-keinginan yang hina, pemikiran-pemikiran yang
menjauhkan dari Allah dan menahan kalbu dari selain Allah secara total.
[Mukhtashar Minhajul Qashidin:58]
Demikian yang terjadi pada pengamalan manusia
terhadap ibadah puasa ini, tentu semestinya semua orang, baik yang awam atau
yang berilmu agar menjadikan puasanya ini pada tingkatan yang tertinggi. Dan
disinilah lahan untuk berpacu bagi semua orang yang berjalan menuju Allah dalam
ibadah ini, semoga Allah memberikan taufiq-Nya kepada kita semua untuk
berlomba-lomba dalam meraih yang terbaik.
Selanjutnya untuk menuju puasa yang terbaik
sebagaimana dikehendaki Allah, maka tentu kita perlu meruju kepada bimbingan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengamalan ibadah ini, sungguh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kepada kita rambu-rambu untuk
kita berhati-hati dari beberapa hal sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits
berikut ini:
من
لم يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ و الجهل فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ في
أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
(artinya) : Barangsiapa yang tidak
meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah
tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya. [Shahih, HR Al
Bukhari]
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ
الصِّيَامَ لَيْسَ مِنَ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ فَقَطْ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ
اللَّغُوِ وَالرَّفَثِ فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّي
صَائِمٌ
(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya puasa itu
bukan menahan dari makan dan minum saja, hanyalah puasa yang sebenarnya adalah
menahan dari laghwu (ucapan sia-sia) dan rafats (ucapan kotor), maka bila
seseorang mencacimu atau berbuat tindakan kebodohan kepadamu katakanlah:
‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa’.” [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban,
dan Al-Hakim, lihat kitab Shahih Targhib]
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه يقول قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قال الله
وإذا كان يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فلا يَرْفُثْ ولا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ
أَحَدٌ أو قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إني امْرُؤٌ صَائِمٌ
(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah berfirman :
…maka bila pada hari puasanya seseorang di antara kalian janganlah ia melakukan
rafats dan janganlah ia yashkhab (berteriak, ribut), bila seseorang mencacimu
atau mengganggumu maka katakanlah: ‘Saya ini orang yang sedang berpuasa…’.”
[Shahih, HR Al-Bukhari]
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لا تَسَابَّ وَأَنْتَ
صَائِمٌ وَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ فَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ وَإِنْ كُنْتَ قَائِمًا
فَاجْلِسْ
(artinya) : Dari Abu Hurairah dari Nabi ia
bersabda: “Janganlah kamu saling mancaci (bertengkar mulut) sementara kamu
sedang berpuasa maka bila seseorang mencacimu katakana saja: ‘Sesungguhnya saya
sedang berpuasa’, dan kalau kamu sedang berdiri maka duduklah.” [Shahih, HR
Ibnu Khuzaimah: 3/241, Nasa’i dalam Sunan Kubra: 2/241 Ibnul Ja’d: 1/411, tanpa
kalimat terakhir. Imam Ahmad dalam Musnad:2/505 dan Ath-Thayalisi dalam
Musnad:1/312. Lihat Shahih Targhib]
Dari hadits-hadits di atas maka dapat kita
simpulkan bahwa pembatal pahala puasa atau yang akan menguranginya adalah
sebagai berikut:
1. Qauluz-zur yakni ucapan dusta [Fathul
Bari:4/117]
2. Mengamalkan qouluz-zur yakni perbuatan
yang merupakan tindak lanjut atau konsekuensi dari ucapan dusta [Fathul
Bari:4/117]
3. Jahl yakni amalan kebodohan [Fathul
Bari:4/117]
4. Rafats yakni seperti dijelaskan
Al-Mundziri: Terkadang kata ini disebutkan dengan makna bersetubuh, dan
terkadang dengan makna, ‘kata-kata yang keji dan kotor’ dan terkadang bermakna
‘pembicaraan seorang lelaki dan perempuan seputar hubungan sex’, dan banyak
dari ulama mengatakan: ‘yang dimaksud dengan kata rafats dalam hadits ini
adalah ‘kata kotor keji dan jelek’. [Shahih Targhib:1/481] dengan makna yang
terakhir ini maka punya pengertian yang lebih luas dan tentu mencakup
makna-makna yang sebelumnya disebutkan. –Wallahu A’lam’-
5. Laghwu yakni ucapan yang tidak punya
nilai atau manfaat [lihat An-Nihayah:4/257 dan Al-Mishbahul Munir:555] dan
–wallahu a’lam- mencakup juga amalan yang tidak ada manfaatnya [lihat semakna
dengannya kitab Faidhul Qodir:6228]
6. Shakhab yakni bersuara keras dan ribut
dikarenakan pertikaian [An-Nihayah:3/14, Lisanul Arab:1/521] Asy-Syaikh
Al-Albani mengatakan: Yakni jangan berteriak dan jangan bertikai [catatan kaki
Mukhtashar Shahih al-Bukhari:443]
7. Bertengkar mulut
Demikian beberapa hal yang mesti dijauhi saat
seseorang sedang berpuasa agar pahalanya tidak berkurang atau batal, disamping
menjauhi hal-hal yang akan membatalkan puasanya. Dan diantara yang akan
mensucikan puasa seseorang dari Laghwu dan rafats diatas adalah ia menunaikan
zakat fitrah, sebagaimana tersebut dalam hadits.
عَنِ
بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه
وسلم زَكَاةَ الفِطْرِ طُهْرَةً للِصَّياَمِ مِنَ اللّْغْوِ وَالرَّفَثِ
وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ
مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ
الصَّدَقَاتِ
(artinya) : Dari Ibnu Abbas ia berkata:
“Rasulullah mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi puasa dari laghwu dan
rafats dan sebagai pemberian makan untuk orang-orang miskin, maka barangsiapa
yang menunaikannya sebelum shalat maka itu zakat yang diterima. Dan barangsiapa
yang menunaikannya setelah shalat, maka itu adalah sebagai sedekah dari
sedekah-sedekah yang ada” [HR Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak dan beliau
mengatakan: Shahih sesuai syarat Al-Bukhari namun Al-Bukhari dan Muslim tidak
meriwayatkannya]
Semoga bermanfaat, Wallahu a’lam…
(Dikutip dari tulisan al Ustadz Qomar ZA,
Lc, judul asli Pembatal Pahala Puasa, dikirimkan ke redaksi via email beliau)
0 komentar:
Posting Komentar
Tulis saran dan kritik anda di sini. Harus menggunakan login akun @yahoo, @gmail, @hotmail atau yang lainnya