Dikirim oleh webmaster, Senin 08 September
2008, kategori Fiqh
Penulis: Redaksi Ma'had As Salafy
.:
:.
1. Ta’rif (Definisi) Ash-Shaum
Secara Etimologi / Lughawi
Secara lughowi (bahasa) Ash-Shaum (الصَّوْمُ) bermakna (الإِمْسَاكُ) yang artinya menahan. Atas dasar itu berkata Al-Imam
Abu ‘Ubaid dalam kitabnya Gharibul Hadits :
كُلُّ
مُمْسِكٍ عَنْ كَلاَمٍ أَوْ طَعَامٍ أَوْ سَيْرٍ فَهُوَ صَائِمٌ
“Semua orang yang menahan diri dari
berbicara atau makan, atau berjalan maka dia dinamakan Sha`im (orang yang
sedang bershaum).” [1])
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman
Allah Ta'ala :
)
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ
الْيَوْمَ إِنْسِيًّا ) مريم: ٢٦
“Sesungguhnya aku telah bernadzar shaum
untuk Ar-Rahman, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada
hari ini” [Maryam : 26]
Shahabat Anas bin Malik dan Ibnu ‘Abbas
radiyallahu 'anhuma berkata : صَوْمًا maknanya adalah صَمْتًا yaitu menahan diri dari berbicara. [2])
Secara Terminologi / Ishthilah
‘Ibarah (ungkapan) para ‘ulama berbeda
dalam mendefinisikan ash-shaum secara tinjauan syar’i, yang masing-masing
definisi tersebut saling melengkapi. Sehingga kami pun sampai pada kesimpulan
bahwa definisi ash-shaum secara syar`i adalah :
إِمْسَاكُ
الْمُكَلَّفِ عَنِ اْلمُفَطِّرَاتِ بِنِيَّةِ التَّعَبُّدِ للهِ مِنْ طُلُوعِ
اْلفَجْرِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ
Usaha seorang mukallaf untuk menahan diri
dari berbagai pembatal ash-shaum disertai dengan niat beribadah kepada Allah,
dimulai sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.
Penjelasan definisi
1. Pernyataan “al-mukallaf” menunjukkan
bahwa ash-shaum secara syar’i adalah yang dilakukan oleh para mukallaf yaitu
orang-orang yang telah terkenai kewajiban ibadah, dari setiap muslim yang sudah
baligh dan sehat akalnya. [3]
2. Pernyataan “dengan disertai niat
beribadah kepada Allah” menunjukkan bahwa ash-shaum harus disertai dengan niat
shaum sebagai sebuah bentuk ibadah kepada Allah Ta'ala.
3. Pernyataan “dimulai sejak terbitnya
fajar sampai terbenamnya matahari”
)وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ( البقرة: ١٨٧
Dan makan minumlah kalian hingga jelas bagi
kalian benang putih dari benang hitam, yaitu (cahaya) fajar. Kemudian
sempurnakanlah shaum itu sampai (datangnya) malam. [Al-Baqarah : 187]
Footnote :
[1] Gharibul Hadits (I/325-326, 327). Lihat
Subulus Salam karya Ash-Shan’ani, awal Kitabush Shiyam.
[2] Lihat Tafsir Ibni Katsir tafsif surat Maryam ayat 26.
[3] Lihat hukum shaum bagi anak-anak yang
belum baligh pada halaman
(http://www.assalafy.org/mahad/?p=232)
2. Sejarah Turunnya Perintah Shaum Ramadhan
Awal turunnya kewajiban shaum Ramadhan adalah
pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyah, atas dasar ini para ulama berijma’
bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menunaikan ibadah shaum Ramadhan
selama hidupnya sebanyak sembilan kali. ([1])
Ibnul Qayyim mengatakan dalam Zadul Ma’ad,
bahwa difardhukannya shaum Ramadhan melalui tiga tahapan :
1. Kewajibannya yang bersifat takhyir
(pilihan).
2. Kewajiban secara Qath’i (mutlak), akan
tetapi jika seorang yang shaum kemudian tertidur sebelum berbuka maka
diharamkan baginya makan dan minum sampai hari berikutnya.
3. Tahapan terakhir, yaitu yang berlangsung
sekarang dan berlaku sampai hari kiamat sebagai nasikh (penghapus) hukum
sebelumnya.([2])
Tahapan awal berdasarkan firman Allah Ta'ala
:
) وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا
فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ(
البقرة: ١٨٤
Artinya : ”Dan wajib bagi orang yang berat
untuk menjalankan ash-shaum maka membayar fidyah yaitu dengan cara memberi
makan seorang miskin untuk setiap harinya. Barang siapa yang dengan kerelaan
memberi makan lebih dari itu maka itulah yang lebih baik baginya dan jika
kalian melakukan shaum maka hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian
mengetahuinya.” [Surat
Al-Baqarah 184]
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir :
“Adapun orang yang sehat dan mukim (tidak
musafir-pen) serta mampu menjalankan ash-shaum diberikan pilihan antara
menunaikan ash-shaum atau membayar fidyah. Jika mau maka dia bershaum dan bila
tidak maka dia membayar fidyah yaitu dengan memberi makan setiap hari kepada
satu orang miskin. Kalau dia memberi lebih dari satu orang maka ini adalah
lebih baik baginya.”([3])
Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma ketika membaca
ayat ini فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
mengatakan : “bahwa ayat ini mansukh (dihapus hukumnya-pen)”.([4])
Dan atsar dari Salamah ibnu Al-Akwa’ tatkala
turunnya ayat ini berkata :
“Barangsiapa hendak bershaum maka silakan
bershaum dan jika tidak maka silakan berbuka dengan membayar fidyah. Kemudian
turunlah ayat yang berikutnya yang memansukhkan (menghapuskan) hukum tersebut
di atas.” ([5])
Secara dhahir, ayat ini وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
mansukh (dihapus) hukumnya dengan ayat فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ sebagaimana pendapat
jumhur ulama ([6]).
Tetapi dalam sebuah atsar Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata :
“Ayat ini bukanlah mansukh melainkan
rukhshoh (keringanan) bagi orang tua (laki-laki maupun perempuan) yang lemah
supaya memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.” ([7])
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir :
“Kesimpulan bahwa mansukhnya ayat ini وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ adalah benar yaitu
khusus bagi orang yang sehat lagi mukim dengan diwajibkannya ash-shaum atasnya.
Berdasarkan firman Allah فَمَنْ شَهِدَ
مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه Adapun orang tua yang lemah dan tidak
mampu bershaum maka wajib baginya untuk berifthor (berbuka) dan tidak ada
qadha` baginya”.([8])
Dan inilah tahapan kedua. Tetapi jika
seseorang bershaum kemudian tertidur di malam harinya sebelum berbuka maka
diharamkan baginya makan, minum dan jima’ sampai hari berikutnya.
Tahapan ini kemudian mansukh (dihapuskan)
hukumnya berlandaskan hadits Al Barra’ radiyallahu 'anhu:
كَانَ
أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ rإِذَا كَانَ
الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ اْلإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ
يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلاَ يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ
الأَنْصَارِي كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ اْلإِفْطَارُ أَتَى اِمْرَأَتَه
فَقَالَ لَهَا : أَعِنْدَكِ طَعَامٌ ؟ قَالَتْ : لاَ لكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ
لَكَ - وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ- فَجَاءَتْ اِمْرَأَتُهُ
فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ : خَيْبَةً لَكَ ! فَلَمَّا اِنْتَصَفَ النَّهَارُ
غُشِيَ عَلَيْهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِي
rفَنَزَلَتْ هَذِهِ اْلأَيَةُ : )
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ)
فَفَرِحُوا بِهَا فَرْحًا شَدِيْدًا فَنَزَلَتْ (وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى
يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ
الْفَجْرِ) [رواه البخاري وأبو داود]
Artinya :
“Dahulu Shahabat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam jika salah seorang di antara mereka shaum kemudian tertidur
sebelum dia berifthar (berbuka) maka dia tidak boleh makan dan minum di malam
itu dan juga siang harinya sampai datang waktu berbuka lagi. Dan (salah seorang
shahabat yaitu), Qois bin Shirmah Al Anshory dalam keadaan shaum, tatkala tiba
waktu berbuka, datang kepada istrinya dan berkata : apakah kamu punya makanan ?
Istrinya menjawab : “Tidak, tapi akan kucarikan untukmu (makanan).” - dan Qois
pada siang harinya bekerja berat sehingga tertidur (karena kepayahan)- Ketika
istrinya datang dan melihatnya (tertidur) ia berkata : ” Rugilah Engkau (yakni
tidak bisa makan dan minum dikarenakan tidur sebelum berbuka- pen) !” Maka ia
pingsan di tengah harinya. Dan ketika dikabarkan tentang kejadian tersebut
kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka turunlah ayat :
)أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ
الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ(
“Telah dihalalkan bagi kalian pada malam
hari bulan shaum (Ramadhan) untuk berjima’ (menggauli) istri-istri kalian.”
dan para shahabat pun berbahagia sampai
turunnya ayat yang berikutnya yaitu :
)وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى
يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ
الْفَجْرِ(
“Dan makan serta minumlah sampai jelas bagi
kalian benang putih dari benang hitam, yaitu Fajar.”
[HR. Al-Bukhari dan Abu Dawud] ([9])
Footnote :
[1] Lihat Kitab Taudhiihul Ahkam, Kitabush
shiyam Jilid 3 hal 123 (secara makna).
[2] Lihat Zadul Ma’ad Kitabus Shiyam jilid
2 hal.20
[3] Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, hal. 180
(Surat Al-Baqarah ayat 184)
[4] Al-Bukhari Kitabut Tafsiir hadits
no.4506.
[5] Al-Bukhari Kitabut Tafsir hadits
no.4507; Muslim Kitabush Shiyam hadist no. 149 - [ 1145 ] dan Abu Dawud
Kitabush Shiyam, bab 2, hadist no.2312
[6] Lihat Syarh Shahih Muslim An-Nawawi :
Kitabush Shiyam hadits no. 149 - [ 1145 ]
[7] Al-Bukhari Kitabut Tafsir hadits no.
4505
[8] Lihat Tafsir Ibnu Katsir (II/281) dalam
menafsirkan QS Al-Baqarah : 183 -185.
Peny : Sehingga dengan ini, ayat (…وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيْقُونَهُ فِدْيَةٌ) masih tetap berlaku hukumnya orang
yang lanjut usia dan tidak mampu untuk bershaum, dengan cara membayar fidyah.
Namun bagi orang yang muda belia yang muqim (tidak musafir) tetap wajib atasnya
ash-shaum.
[9] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no.
1915 dan Abu Dawud Kitabush Shiyaam, bab 1, hadits no. 2311.
(http://www.assalafy.org/mahad/?p=233#more-233)
(Dikutip dari tulisan redaksi Ma'had As
Salafy, Jember. Judul asli Ta’rif (Definisi) Ash-Shaum, Sejarah Turunnya
Perintah Shaum Ramadhan.
0 komentar:
Posting Komentar
Tulis saran dan kritik anda di sini. Harus menggunakan login akun @yahoo, @gmail, @hotmail atau yang lainnya